Kekuatan Ekonomi Umat Dalam Mewujudkan Khoiru Ummah (Bagian 1)

Dr. Legisan Samtafsir M.Ag.; Pendiri Rumah Al-Balad.(Foto: Abdullah/MINA)

Oleh: Dr. Legisan Samtafsir M.Ag.; Pendiri Rumah Al-Balad

Sejarah dunia membuktikan bahwa kemajuan suatu negeri bahkan peradaban, sangat tergantung pada kemampuan bangsa tersebut untuk memobilisasi sumber-sumber daya domestiknya dalam kaitannya dengan integrasinya ke dunia global. Dalam hal itu, kemampuan kepemimpinan nasional yang didukung oleh segenap komponen bangsa, sangat krusial bagi keberhasilan dan kemajuan pembangunannya.

Potensi Umat Islam Indonesia Umat Islam juga memiliki system keyakinan Islam (belief system) yang disebut ‘Api Islam (ruhul jihad)’, yang telah terbukti mampu melahirkan kejayaan peradaban. Terbukti bahwa kontribusi Islam dalam perkembangan khazanah ilmu pengetahuan modern adalah sangat besar.

Kejayaan Islam bahkan merupakan peradaban yang tiada tandingannya dalam hal kuantitas, kualitas dan variasi pencapaian –melampaui Persia, Romawi, India dan China.

Hal itu karena sistem keyakinan Islam adalah ajaran suci (devine) yang mengandung seruan komprehensif pada kemajuan, kebangkitan dan kualitas hidup yang sempurna.

Umat Islam memiliki keberlimpahan kekayaan mineral, minyak dan gas bumi, sumber daya tanah pertanian yang subur dan iklim yang mendukung bagi tanaman pangan dan letak strategis wilayah untuk lalu lintas barang dan manusia dari dan ke berbagai penjuru dunia?

Indonesia, selain merupakan negeri yang kaya sumber alam, juga kaya ragam budaya, dan karena itu kita membutuhkan kemampuan untuk mengolah dan mengelola potensi alam tersebut, dan memobilisasi kekuatan sumber daya manusianya, untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan bukan untuk segelintir oligarki dan kroninya.

Indonesia juga negeri yang menarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya, maka kemampuan yang kita butuhkan adalah kita harus mampu menjadikan modal asing itu menghasilkan kemakmuran bagi seluruh rakyat, meningkatkan teknologi dan skill rakyat dalam negeri; bukan malah memberi jalan bagi mengalirnya keuntungan bagi investor tersebut (imbal hasil), dari domestik ke luar negeri.

Indonesia juga kaya budaya dan agama, maka kemampuan yang kita butuhkan adalah mengelola keberagaman (diversity) dan keberagamaan (religiusitas) kita sebagai modal pembangunan, sebagai pengayaan dan penggerak kemajuan; bukan hanya mempersoalkan radikalisme dan intoleransi secara sempit tanpa memahami hakikatnya.

Indonesia adalah juga negeri yang posisi geografisnya sangat strategis, maka kemampuan yang kita butuhkan adalah mengelola geopolitik kawasan untuk penguatan dan kemanfaatan bagi domestik (dalam negeri), bukan malah pro dan menciptakan pasar bebas bagi rakyat sendiri, yang membiarkan domestiknya didominasi oleh produk dan budaya asing, dan tak mampu kita melindungi produk dan pengusaha anak bangsa (Bumiputera).

Indonesia Masih Tertinggal

Sayang di tengah kekayaan alam dan sumber daya manusia, negeri kita masih tertinggal. Grafik berikut menunjukkan bahwa dalam periode panjang 1970-2018 perkapita Indonesia hanya tumbuh 48 kali dan Turki tumbuh 19 kali; sedangkan Korea Selatan tumbuh 109 kali, China tumbuh 79 kali, Hong Kong 54 kali dan Singapura 61 kali.

Grafik itu juga menunjukkan bahwa tahun 1990 Indonesia hampir 2 kali lebih kaya daripada China, tetapi pada tahun 2018 China hamper 3 kali lebih kaya dari pada Indonesia. Demikian juga tahun 1970 Turki 2 kali lebih kaya
dari pada Korea Selatan, tetapi tahun 2018 Korea Selatan 3 kali lebih kaya dari pada Turki. Sehinga kita bisa menyimpulkan bahwa pertumbuhan perkapita Indonesia dan Turki lebih lamban dari pada negara-negara yang
juga sedang tumbuh.

Perbandingan skor indeks pembangunan (HDI, Human Developmen Index) dengan negara-negara Asia Timur, dalam rentang 1990-2018, Indonesia berada dalam urutan ke 99 dari 189 negara, dan pada tahun 2017 rangkingnya menurun menjadi urutan ke 115 (atau turun 16 tingkat); sebaliknya China yang pada tahun 1990 berada pada urutan 101, masih di bawah Indonesia, pada tahun 2017 justru meningkat berada pada urutan ke 86 (naik 15 tingkat dan meninggalkan Indonesia 29 tingkat).

Begitu juga negara-negara Asia Timur lainnya, dibandingkan tahun 1990 dengan 2017, Hong Kong naik 11 tingkat, Singapore naik 13 tingkat, Korea Selatan naik 13 tingkat, Malaysia naik 8 tingkat dan Thailand naik 8 tingkat; tetapi pada periode yang sama Indonesia justru turun 16 tingkat.

Berbeda dengan Indonesia, skor HDI Turki tahun 1990 sudah dalam posisi lebih tinggi yaitu 0,579, dan kemudian meningkat 39% menjadi 0,806. Hal ini ditopang dengan peningkatan GNI perkapita dari US$2.310 menjadi
US$9.610 tahun 2018 atau meningkat 316%; demikian juga peningkatan GDP dari US$150,68 tahun 1990 menjadi US$771,35 tahun 2018 atau meningkat 412%.

Dengan demikian tampak bahwa Turki lebih dapat mempertahankan pertumbuhannya dibandingkan Indonesia, sehingga ranking HDI-nya meningkat dari urutan 70 tahun 1990 menjadi urutan 59 tahun 2018 urutan, yaitu meningkat 11 peringkat. Hal ini karena perbaikan standart kualitas hidup di Turki sudah dalam posisi yang lebih tinggi dan dalam rentang 1990-2018 bahkan lebih meningkat lagi.

Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan Indonesia (dan Turki) sebagai negara Muslim terbesar di dunia mengalami perlambatan, lebih lambat dibandingkan beberapa negara yang juga sedang berkembang. Meskipun demikian, dibandingkan Indonesia, Turki masih bisa mempertahankan ranking pembangunan manusianya untuk tetap meningkat karena Turki sejak awal 1970-an sudah berada pada posisi yang
jauh lebih tinggi.

Kemampuan yang Harus Kita Miliki

Tentu kita tidak akan meratapi ketertinggalan kita itu. Kita hanya perlu membalikkan ketertinggalan itu untuk kita maju ke depan dan melompat ke atas sehingga kita dapat melampaui negara-negara lain. Bagaimana caranya?

Kita harus mampu mengubah dan membuktikan diri kita sebagai . Kita harus bangkit menjadi super hero di negeri ini. Kita harus mampu membuktikan diri kita sebagai khoiru ummah, yang akan menggerakkan pembangunan di negeri kita, bukan menjadi penonton tapi pemain, bukan menjadi objek tapi subjek, bukan menjadi pengikut umat lain tapi menjadi pemimpin umat lain? Dari mana kita mulai? Ya dari diri kita sendiri. Maka mari kita pastikan, bahwa kita memiliki kemampuan berikut:

Pertama, iman yang produktif. Tuduhan orang asing (opium of the people) bahwa orang yang beragama memble, malas dan nrimo, karena terlalu bersandar kepada Tuhan. Orang yang beragama tidak bergairah terjun ke arena pergulatan social ekonomi produktif, karena setiap kali menemui kesulitan selalu pasrah dan mengharapkan Tuhannya menyelesaikan kesulitannya.

Tuduhan tersebut tidak benar. Islam mengajarkan bahwa beriman kepada Allah berarti menjemput energi dan kekuatan dari Allah untuk kemudian bergulat mengatasi semua kesulitan hidup. Beriman juga berarti optimis, karena pertolongan Allah pasti diberikan kepada mereka yang bersungguhsungguh berusaha. Beriman berarti super produktif, selain upaya yang sungguh-sungguh (haqqa jihaadih) juga adanya bonus pertolongan Allah (nashrullah).

Maka Umat Islam adalah umat yang sangat produktif dalam kancah pergulatan kehidupan ubudiyyah, pada sector pendidikan, social ekonomi, bahkan politik nasional dan global. Umat Islam adalah khoiru ummah yang tampil ke depan menggerakkan perubahan transformative ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih damai. Umat Islam adalah agen-agen perubahan dan penggerak pembangunan. Hal itu adalah perintah Allah kepada mereka sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah.

Dalam mengejawantahkan Iman yang produktif itu, dalam konteks kebangkitan umat dan bangsa kita, maka kita memerlukan pemimpin nasional, pada semua level, yang beriman dan menfungsikan keimanannya dalam semua kebijakan pembangunan. Pemimpin Indonesia haruslah figur yang sholeh, religious, beriman dan bertaqwa kepada Allah (muslim, aslama), sesuai sila Ketuhanan yang Maha Esa.

Religius berarti beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan mengejawantahkan keyakinan agamanya ke dalam upaya berbakti membangun negara dan bangsa. Muslim (aslama) berarti bersikap toleran, menghargai dan mengayomi semua pemeluk agama yang berbeda. Muslim (aslama) berarti bersikap harmonis di antara semua pemeluk agama. Muslim (aslama) berarti menjadikan agamanya dan keberagamaan masyarakat sebagai perekat kebangsaan dan modal dasar bagi pembangunan yang
produktif. (Bersambung) (AK/R1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.