Kemenag Akan Jadikan Moderasi Islam Sebagai Arus Utama Pendidikan Islam

Sesditjen Pendis Ishom Yusqi buka Pengembangan Islam Rahmatan Lil’Alamin dalam Perspektif Multikultural . (Foto: Suwendi)

 

Bogor, 19 Jumadil Akhir 1438/18 Maret 2017 (MINA) – Kementerian Agama () akan menjadikan moderasi Islam dan pembelajaran Islam Rahmatan lil ‘Alamin () sebagai arus utama pendidikan Islam di tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

“Pengembangan Islam Rahmatana Lilalamin harus menjadi arus utama di lingkungan Pendidikan Islam,” tegas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Sesditjen Pendis), Kemenag, Ishom Yusqi, saat membuka kegiatan Pengembangan Islam Rahmatan Lil ‘alamin dalam Perspektif Multikultural (Angkatan 1), di Bogor, Jumat (17/3).

Dalam laman Kemenag yang dikutip MINA, ia mengatakan kualitas pendidikan ISRA harus ditingkatkan sehingga terinternalisasi ke seluruh siswa di sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi umum (PTU).

“Jika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengembangkan program deradikalisasi, maka Ditjen akan mengintensifkan pendidikan moderasi Islam,” kata Ishom.

Direktorat Pendidikan Agama Islam, tambahnya, sudah menerbitkan buku PAI Islam Rahmatan lil Alamin. Buku ini menjadi salah satu bahan ajar dalam pendidikan PAI pada sekolah di Indonesia dan akan terus dikembangkan materinya sesuai dinamika umat.

Ishom mengatakan, pengembangan pendidikan ISRA penting, mengingat dalam perkembangan terakhir, ideologi radikalisasi agama kian marak dan memicu upaya politisasi agama. Untuk itu, perlu dilakukan counter-narasi.

“Visi politik itu sangat temporer dan profan, sementara visi agama adalah abadi dan sakral. Menggunakan agama untuk kepentingan politik tentu menjadi bias, kabur, dan mengurangi makna agama,” ujarnya.

Ishom menambahkan, diskurus dan persoalan relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia sesungguhnya sudah selesai. Semua ulama dan tokoh bangsa Indonesia ini telah menyepakati bahwa bentuk NKRI adalah final. Indonesia adalah Indonesia, bukan negara lain.

Namun, ruang demokrasi yang begitu bebas menjadikan diskursus relasi agama dan negara ini kembali mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat yang sama, virus radikalisasi agama mulai masuk ke lingkungan sekolah dan perguruan tinggi umum, dan ini tentu menjadi tantangan para guru dan dosen PAI.

“Jangan sampai dosen atau guru PAI tidak memiliki kualitas agama yang baik sehingga mereka menjadi mudah tergoda dengan virus-virus radikal itu,” pesannya.

Sehubungan itu, selain pengembangan kurikulum PAI Islam Rahmatan lil Alamin, lanjut Ishom, ada dua hal penting yang sedang terus diperjuangkan Ditjen Pendidikan Islam ke depan.

Pertama, melakukan advokasi agar persoalan guru PAI dan dosen PAI menjadi kewenangan Kementerian Agama, mulai dari pengangkatan, pembinaan karir dan kesejahteraan, sertifikasi, hingga pensiun. “Persoalan posisi guru dan dosen PAI harus segera diselesaikan. Sesuai dengan UU 20 tahun 2003 dan PP 55 tahun 2007, semua yang terkait guru dan dosen PAI itu menjadi kewenangan Kementerian Agama. Untuk itu, kita perlu melakukan advokasi itu,” paparnya.

Kedua, pengadaan, penggandaan, hingga penyusunan konten buku-buku PAI, baik untuk sekolah maupun PTU, harus menjadi kewenangan Kementerian Agama. “Dalam sejumlah pertemuan dengan Bappenas dan K/L lain, sudah disampaikan bahwa terkait dengan buku PAI menjadi kewenangan Kemenag dan harus dianggarkan,” tandasnya. (T/R09/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Risma Tri Utami

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.