Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Shalat Tak Menyentuh Jiwa

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 28 detik yang lalu

28 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

KITA berdiri. Takbir. Membaca Al-Fatihah. Rukuk. Sujud. Duduk. Salam. Lalu pergi. Begitu cepat. Begitu biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tak ada rasa haru, tak ada air mata, tak ada getaran batin. Padahal kita baru saja menghadap Tuhan semesta alam. Kita baru saja berdialog dengan Sang Pencipta. Tapi kenapa hati terasa tetap kosong?

Shalat, ibadah paling agung dalam Islam, kini menjadi rutinitas yang sering kehilangan ruh. Sekadar kewajiban yang harus “diselesaikan” lima kali sehari. Seperti daftar tugas harian yang harus dicentang. Padahal, shalat adalah mi’raj seorang mukmin. Sebuah perjalanan spiritual yang semestinya menggetarkan jiwa dan membersihkan dosa.

Namun kenyataannya, berapa banyak dari kita yang shalat tapi tetap mencuri? Shalat tapi tetap berbohong? Shalat tapi tetap menipu? Shalat tapi tetap membuka aurat dan menikmati tontonan haram? Di mana letak keberkahan shalat jika setelahnya kita kembali larut dalam gelimang maksiat?

Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Qs. Al-Ankabut: 45)

Baca Juga: Membangun Rumah Tangga Tanpa Drama

Tapi mengapa shalat yang kita kerjakan tak lagi mampu mencegah itu semua? Karena shalat kita tak menyentuh jiwa. Hanya tubuh yang sujud, sementara hati mengembara ke mana-mana. Kita berdiri di hadapan Allah, tapi yang kita ingat adalah notifikasi ponsel, target bisnis, atau drama semalam.

Inilah saatnya kita bertanya dengan jujur: Untuk siapa aku shalat? Mengapa aku shalat? Dan bagaimana seharusnya aku shalat?

Shalat bukan sekadar gerakan. Ia adalah wujud cinta, rasa tunduk, rindu, dan harap. Shalat adalah percakapan terdalam antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Jika kita melakukannya tanpa hati, berarti kita hanya menghadirkan tubuh, bukan jiwa.

Bayangkan jika hari ini adalah hari terakhir hidupmu. Shalat Zuhur tadi adalah shalat perpisahanmu. Maukah engkau berdiri di hadapan Allah dengan shalat yang terburu-buru, tanpa rasa, tanpa tangis, tanpa harap? Maukah engkau meninggalkan dunia dengan shalat seperti itu?

Baca Juga: Berqurban, Amalan Utama pada Bulan Dzulhijjah

Saudaraku, kita tak tahu kapan ajal menjemput. Tapi kita tahu shalat adalah amal pertama yang akan dihisab. Jika ia rusak, rusak pula seluruh amal. Tapi jika ia baik, maka seluruh amal ikut baik. Karena itu, perbaiki shalatmu. Bukan sekadar perbaiki gerakannya, tapi hadirkan hatimu di dalamnya.

Mulailah dari hal kecil. Tenangkan diri sebelum takbir. Hadirkan kesadaran bahwa engkau sedang menghadap Tuhan yang Maha Besar. Resapi setiap ayat. Renungkan setiap sujud. Biarkan air mata menetes. Biarkan dada sesak oleh haru. Biarkan shalat benar-benar menyentuh jiwa.

Jangan puas dengan shalat yang hanya menggugurkan kewajiban. Kejar shalat yang menghidupkan ruh. Kejar shalat yang menjadikanmu manusia yang lebih lembut, lebih jujur, lebih sabar, dan lebih takut kepada Allah.

Karena sejatinya, bukan hanya kita yang butuh shalat, tapi jiwa kitalah yang sekarat jika jauh darinya. Dan hanya shalat yang khusyuk yang bisa menyelamatkan.

Baca Juga: Teruslah Bersuara untuk Palestina: Membela Palestina adalah Jihad dan Ladang Amal Shalih

Jangan tunggu ajal menjemput baru sadar bahwa shalatmu selama ini hanyalah gerakan kosong. Mulailah hari ini. Bangkitkan kembali shalat yang menyentuh hati—sebelum tubuh ini tak lagi mampu berdiri, dan waktu tak lagi memberi kesempatan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Mengapa Hidup Berjama’ah Adalah Keharusan Ruhani

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Kolom
MINA Preneur