Jakarta, 7 Safar 1435/10 Desember 2013 (MINA) – Ketua Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) Heri Aryanto mengatakan, Myanmar tidak layak menjadi tuan rumah SEA GAMES (Southeast Asian Games) karena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan pemerintahnya terhadap etnis Rohingya.
“Mereka adalah negara pelanggar HAM berat. Maka seharusnya mereka tidak layak mengadakan ajang sekelas SEA GAMES,” kata Heri kepada Mi’raj News Agency (MINA), Selasa pagi (7/12) di Jakarta.
Menurut Heri, tidak layak pula negara-negara seperti Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim atau mayoritas yang mengakui HAM, datang ke sana.
Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, aksi PIARA di Bundaran Hotel Indonesia adalah salah satu bentuk boikot SEA GAMES.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
“Kita harap pesan ini tidak hanya sampai kepada seluruh rakyat Indonesia, tapi juga ke seluruh ASEAN, bahwasanya negara yang sekarang menyelenggarakan SEA GAMES adalah negara yang tidak mengakui adanya HAM,” tegasnya.
“Fokus kita pada hari ini adalah bagaimana supaya Rohingya diakui sebagai manusia, diakui sebagai warga negara, dikembalikan lagi hak-haknya sebagaimana warga negara Myanmar pada umumnya. Hanya itu keinginan mereka.”
Heri mengaku merasa miris, di mana ketika semua orang mengakui dan begitu mengagung-agungkan HAM, tapi di ASEAN, Indonesia sendiri, tidak ada penghargaan terhadap HAM.
PBB mengatakan, lanjut Heri, etnis Rohingya adalah etnis yang paling tertindas di muka bumi. Karenanya, PBB sangat gencar meminta pemerintah Myanmar untuk mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Namun pada November lalu, secara resmi pemerintah Myanmar menyatakan tidak mau mengakui warga Rohingya. Mereka hanya mengakui orang yang sudah tinggal sejak tahun 1823.
“Ini sangat miris sekali. Faktanya mereka (etnis Rohingya) sudah tinggal sejak abad ke-7,” kata Heri.
Pada Mei 2013, ketika delegasi PIARA datang ke Arakan, komunitas Rohingya sudah terkonsentrasi di pinggir-pinggir pantai, jumlahnya pun sudah sangat berkurang. Diperkirakan tinggal 125.000 orang dari total 3-5 juta orang sebelumnya.
“Artinya, tinggal menunggu waktu saja, Rohingya tinggal sejarah di Myanmar,” kata Heri.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Heri mengungkapkan, yang terbaru di Arakan sudah ada Rohingya Elimination Group, sebuah kelompok khusus yang bertugas mengeliminasi etnis Rohingya. Itu menunjukkan semakin jelasnya bahwa pelanggaran HAM di sana sudah semakin sistematis.
Untuk di Indonesia, PIARA memberikan pembelaan advokasi terhadap beberapa orang Rohingya yang ada di Indonesia. Seperti pendampingan khusus 17 tersangka Rohingya di Medan dan kasus Nasimah, anak Rohingya yang ibunya warga Indonesia, serta lainnya.
Selain itu, PIARA juga mengunjungi penampungan-penampungan pengungsi Rohingya di Medan, Aceh dan Tanjung Pinang. Juga yang ada di Jakarta untuk menyampaikan amanah saudara-saudaranya sesama Muslim.
Ada beberapa negara tujuan pelarian bagi warga Rohingya, yang paling utama adalah Bangladesh, Malaysia dan Australia.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Bangladesh adalah wilayah yang paling dekat dengan Myanmar dan memiliki keikatan etnis dengan Rohingya.
Di Malaysia, populasi etnis Rohingya lebih dari 43.000 orang. Di sana mereka bisa tinggal dan bisa menikah, tapi tidak bisa mendapat pekerjaan, pendidikan dan kesehatan secara resmi.
Adapun Australia, Negeri Kangguru itu sudah mengakui konvensi tetang pengungsi. Jadi dengan ke sana, mereka berharap bisa hidup layak, bisa mendapatkan hak-hak mereka yang selama ini tidak mereka dapatkan.
“Kami mendesak pemerintah Myanmar dan komponen-komponen lembaga internasional seperti PBB, ASEAN, OKI, dan dari kita pemerintah Indonesia, agar lebih keras lagi mendorong pemerintah Myanmar untuk mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar,” himbau Heri. (L/P09/R1).
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Mi’raj News Agency (MINA).