KEUTAMAAN ILMU PENGETAHUAN

keutamaan-ilmu-daripada-harta

keutamaan-ilmu-daripada-hartaOleh : Ali Farkhan Tsani *

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَ إِذا قيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kalian berlapang-lapanglah pada majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kalian. Dan jika dikatakan kepada kalian; Berdirilah !”, maka berdirilah. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orangrang yang diberi ilmu beberapa derajat; Dan Allah dengan apapun yang kalian kerjakan adalah Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Mujadalah [58] : 11).

Sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul)

Diriwayatkan oleh ibn Abi Hitam dari Muqatil bin Hibban, ia mengatakan bahwa suatu hari yaitu hari Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada di Shuffah (tempat belajar para sahabat, serambi masjid Nabawi) mengadakan pertemuan di tempat yang sempit, dengan maksud membicarakan penghormatan terhadap pahlawan Perang Badar.

Beberapa pahlawan Perang Badar itu ternyata terlambat datang, di antaranya Shabit dan Qais, dan terpaksa mereka berdiri di luar Shuffah. Mereka mengucapkan salam, lalu Nabi dan para sahabat pun menjawabnya. Para pahlawan Badar itu pun tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka. Tetapi tidak ada yang memperdulikanya.

Melihat kejadian tersebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi kecewa, lalu menyuruh kepada orang-orang di dekatnya untuk berdiri. Di antara mereka ada yang berdiri, tetapi rasa keengganan nampak di wajah mereka. Apalagi orang-orang munafiq saat itu memberikan reaksi dengan maksud mencela Nabi, sambil memprotes, “Demi Allah, Muhammad tidak adil, ada orang yang datang lebih dahulu dengan maksud memproleh tempat duduk, tetapi disuruh berdiri untuk diberikan kepada orang yang datang terlambat”. Lalu turunlah ayat ini….

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَ إِذا قيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu : Berdirilah !”, maka berdirilah…”

Akhlak Sesama Muslim

Ayat ini berbicara tentang akhlak di dalam pertemuan (majelis). Asal mulanya memang para sahabat duduk bersama mengelilingi Nabi karena hendak mendengar ajaran-ajaran dan hikmah yang akan Nabi ajarkan. Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan telah sempit. Niscaya karena sempitnya itu, orang yang datang kemudian tidak lagi mendapat tempat. Lalu dianjurkanlah oleh Rasul agar yang telah duduk terlebih dahulu, melapangkan tempat bagi yang datang kemudian.

Sebab pada hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka. Masih ada tempat lowong, masih ada ternpat untuk yang datang kemudian. Sebab itu hendaklah yang telah duduk lebih dahulu, melapangkan tempat bagi mereka yang baru datang itu. Karena yang sempit itu bukan tempat, melainkan hati. Thabi’at mementingkan diri pada manusia sebagai kesan pertama, enggan memberikan tempat kepada yang baru datang itu.

Sama seperti konsep siapa yang disebut orang kaya? Bukan orang yang banyak harta, lalu orang miskin adalah mereka yang sempit hartanya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Artinya : Bukanlah orang kaya diukur dengan banyaknya harta dunia.Namun orang kaya adalah mereka yang hatinya  selalu merasa cukup. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ibnu Baththol menjelaskan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rezki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh (apakah halal, syubhat atau halal). Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu miskin karena usaha kerasnya untuk terus-menerus memuaskan dirinya dengan harta. Karena itu, hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati, selalu merasa cukup.

Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridha atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).

Ibnu Hajar Al-Atsqolani  menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rezki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridha dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya”.

Keutamaan Ilmu

Kemudian, pada bagian akhir ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat tinggi derajat dan kedudukan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.

Di sini ayat menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman diangkat derajat karena imannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang yang berilmu pengetahuan diangkat derajatnya karena mereka dapat memberikan manfaat (mashlahat) kepada orang lain. Ilmu di sini tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, seperti aqidah/tauhid, tafsir Al-Quran, fiqih ibadah, dsb. Akan tetapi juga termasuk di dalamnya ilmu-ilmu pengetahuan keduniaan, seperti ilmu geografi, fisika, teknik, kedokteran dll.

Sebab semua ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya adalah datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya :

قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُبِينٌ

Artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”. (Q.S. Al-Mulk [67] : 26).

Karena itulah, agar kita mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, kita mestinya minta kepada Allah agar memberikan ilmu pengetahuan. Bahkan Allah sendiri mengajarkan agar sebelum kita menuntu ilmu, atau ketika mencari ilmu, maka kita memohon agar Allah membimbing kita mendapatkan ilmu yag manfaat itu. 

Sebagaimana doa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan :

وَقُلْ رَبِّي زِدْنِي عِلْمًا

Artinya : “Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah untukku ilmu.” (Q.S. Thaha [20] : 114).

اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي، وَارْزُقْنِي عِلْمًا تَنْفَعُنِي بِهِ

Artinya : “Ya Allah, berilah aku manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah untukku ilmu yang bermanfaat bagiku.” (H.R. An-Nasa’i).

Oleh karena itu, manakala orang-orang beriman mendapatkan ilmu atau kemudian memperoleh kedudukan atau keuntungan dengan ilmunya. Hal itu bukanlah menjadi tujuannya, dan tidaklah ia pantas bersombong diri atau merasa lebih dengan yang lainnya. Sehingga ia menyepelekan orang lain.

Padahal tidak ada manusia yang sempurna. Ya, mungkin ia hebat dalam ilmu tafsir Al-Quran sekalipun, namun ketika ia memerlukan pakaian, maka ia memerlukan orang memiliki ilmu membuat pakaian. Demikian pula mungkin ia professor sekalipun di bidang kedokteran. Akan tetapi manakala ia akan membangun rumah, ia tidak bisa membangunnya sendiri dengan keprofesorannya tersebut. Ia pasti memerlukan tukang yang ahli dalam masalah bangunan.

Itulah pentingnya mengedepankan persatuan dan kesatuan, menghargai perbedaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah islamiyyah), hidup berjama’ah (bil jama’ah) dan saling mendamaikan.

Sebagaimana firman-Nya :

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٌ۬ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡ‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ 

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-Hujurat [49] : 10). 

Karena itu, tidak lain ucapan orang-orang beriman dengan ilmunya itu adalah memuji Allah :

سُبۡحَـٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآ‌ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ 

Artinya : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 32).

Sehingga dengan ilmunya itu, ia akan berusaha mengamalkannya dengan cara menshadaqahkannya kepada orang lain yang memerlukan. Sehingga bermanfaatalah ilmu itu, dan menjadi tambahan pahala buatnya.

Di dalam hadits disebutkan bahwa ilmu yang manfaat merupakan harta warisan yang sangat berharga dan akan terus mengalirkan pahala kepada yang punya, walaupun ia telah meninggal dunia.

 إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدصَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya : “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara, yaitu : (1) Shadaqah jariyah, dan (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak yang shalih yang mendoakannya.” (H.R. Muslim).

Takut Kepada Allah

Dengan ilmunya itu pula, akan menambah rasa takutnya dan ibadahnya kepada Allah. Seperti Allah sebutkan tentang siapakah yang disebut ‘ulama’ itu? Bukan semata yang ahli dalam kitab, tilawah atau agama. Tetapi yang takut kepada Allah.

 …إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya : “…..Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘ulama (orang-orang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir [35] : 28).

Maka, pada ujung ayat 11 Surat Al-Mujadalah disebutkan :

وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

Artinya : “Dan Allah dengan apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui”.

Ujung ayat ini berbicara pentingnya iman mengiringi ilmu. Iman jika tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok mengerjakan amal yang disangka rnenyembah Allah, padahal bukan. Sementara ilmu tanpa iman, menjadikan pelakunya jauh dari Allah. Wallahu a’lam.

* ALI FARKHAN TSANI, Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor. Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a Yaman, Redaktur Kantor Berita Islam Mi’raj (Mi’raj Islamic News Agency-MINA). Penceramah Tausiyah Islam Radio Silaturahim (RASIL) 720 AM dan Radio DAKTA 107 FM. HP : 089698194599. BB: 25BF4CA3. Email: [email protected] 

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0