Kewajiban Berpuasa Ramadhan (Kajian Al-Baqarah ayat 183)

Oleh : , Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Saat ini kita memasuki pekan kedua bulan Sya’ban. Tiga pekan ke depan kita pun bersiap memasuki bulan suci Ramadhan. Insya-Allah.

Untuk itu, sebagai bekal awal persiapan menjelang bulan penuh berkah Ramadhan, alangkah baiknya kita mengilmui dan mengkaji kembali untuk memantapkan diri dalam memahami dan menghayati kewajiban .

Perintah berpuasa Ramadhan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (QS Al-Baqarah/2: 183).

Melalui ayat ini Allah memanggil orang-orang beriman (nida’ul mukminin) dan memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa Ramadhan.

Allah telah memperhitungkan bahwa mereka yang bersedia menjalankan perintah-Nya untuk menjalankan puasa sebulan pada bulan Ramadhan adalah orang-orang yang beriman. Maka, ayat ini diawali dengan kalimat “Yaa ayyuhalladzina aamanuu” (Wahai orang-orang beriman).

Karena itu, setiap orang yang merasa di dalam dirinya ada iman kepada Allah, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, bersedia bangun malam untuk makan sahur. Lalu bersedia menahan diri dari makan, minum, dari berhubungan suami-isteri, sejak terbit fajar hingga maghrib, pada bulan suci bulan Ramadhan.

Ia tentu siap menahan lapar dan dahaga demi menggapai kemuliaan puasa Ramadhan, demi mencapai ridha Ilahi.

Pada perintah puasa Ramadhan tersebut, menggunakan kata “kutiba”, yang diterjemahkan sebagai “diwajibkan”.

Ali Mursyid,M.Ag. Dosen Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) menjelaskan, lafadz “kutiba” berasal dari kata yang dalam bentuk maadhi adalah  “kataba” yang berarti menulis. Jika disebutkan dalam bentuk mabni majhuul  artinya adalah ditulis.

Adapun “kutiba” dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 adalah “furidho”, yang artinya “difardhukan atau diwajibkan”.

Makna serupa terdapat pada ayat :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh…..”. (QS Al-Baqarah/2: 178).

Pada ayat lain juga disebutkan :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu……”. (QS Al-Baqarah/2: 216).

Kata “kutiba” juga dapat bermakna “qudhiya”, artinya telah ditentukan, telah ditetapkan.

Makna ini sama seperti pada ayat :

قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami…..” (QS At-Taubah/9: 51).

Asbabun Nuzul

Sebab-sebab turun (asbabun nuzul) Surat Al-Baqarah ayat 183 tentang perintah berpuasa Ramadhan, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Ketika sampai di Madinah (hijrah) beliau berpuasa di hari Asysyura dan berpuasa tiga hari setiap bulannya”.

Waktu itu umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan puasa wajib tiga hari setiap bulannya.

Setelah hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lalu beliau bertanya tentang sebab musababnya mereka berpuasa pada hari tersebut. Orang-orang Yahudi itu menyatakan bahwa pada hari tersebut Allah telah menyelamatkan Nabi Musa Alaihis Salam dan kaumnya dari serangan Fir’aun. Oleh karena itu Nabi Musa Alaihis Salam melaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram sebagai tanda syukur kepada Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengulas keterangan mereka itu dengan menyatakan, “Sesungguhnya kami (umat Islam) adalah lebih berhak atas Nabi Musa dibanding kalian”. Lalu beliau melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram dan memerintahkan sahabat-sahabtnya supaya berpuasa pada tanggal tersebut.

Beberapa waktu kemudian, pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriyah, Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan menurunkan ayat 183-184 dari surat Al-Baqarah.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh As-Shiyam menjelaskan bahwa kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriyah ini berhubungan erat dengan periodesasi dakwah Islam pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sejarah mencatat, periode Makkah adalah periode wahyu diturunkan dalam rangka penanaman Aqidah serta pemurnian tauhid kepada Allah daripada noda-noda jahiliyah yang mengotori hati, pemikiran dan tingkah laku masyarakat kala itu.

Sedangkan pasca hijrah atau disebut sebagai Fase Madinah, kaum Muslimin telah menjadi kaum yang satu yang memiliki struktur masyarakat yang jelas (masyarakat al-jama’ah), dan dikuatkan dengan pondasi Piagam Madinah. Karena itu pada fase ini disyariatkanlah kepadanya beberapa kewajiban, digariskan beberapa ketentuan dan dijelaskan beberapa hukum termasuk di dalamnya kewajiban puasa Ramadhan.

Setelah itu, maka puasa pada tanggal 10 Muharram dan puasa tiga hari (ayyamul bidh) setiap pertengahan bulannya berubah status menjadi puasa tambahan yang dianjurkan atau sunah. Sedangkan puasa Ramadhan sebulan penuh menjadi wajib.

Jika dihitung, hampir sama sebenarnya, kalau dulu tiga hari tiap bulan dikalikan 12 bulan menjadi 36 hari. Ditambah puasa wajib tangal 10 Muharram. Jumlah totalnya menjadi 37 hari per tahun.

Sedangkan bulan Ramadhan sebulan penuh sejumlah 29 atau 30 hari. Tidak jauh berbeda dengan 37 hari. Namun, tentu saja kandungan pahalanya jauh lebih banyak puasa Ramadhan itu

Puasa Umat Terdahulu

Surat Al-Baqarah ayat 183 juga menyebutkan, “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.

Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan juga puasa atas umat-umat sebelum mereka, sebelum umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa.

Di antara umat terdahulu adalah kewajiban puasa tiga hari setiap bulan yang dikerjakan oleh Nabi Nuh ‘Alaihis Salam.

Disebutkan juga Nabi Adam ‘Alaihis Salam pun pernah menjalankan puasa tiga hari ini. Nabi Adam mengerjakannya setelah turun ke bumi.

Ada juga puasa Nabi Dawud ‘Alais Salam, yakni puasa sehari, dan berbuak sehari, sepanjang tahunnya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut Puasa Dawud itu sebagai sebaik-baik puasa, dan itu boleh dikerjakan oleh umat beliau hingga sekarang dan seterusnya. Terbukti pula, banyak di antara orang beriman yang menaksanakan Puasa Dawud ini sebagai puasa sunah, setahun, dua tahun atau beberapa tahun.

Referensi juga menyebutkan, Bangsa Fenisia dan Mesir Kuno juga sudah mengenal dan mempraktikkan puasa untuk menghormati dewa mereka. Demikian pula bangsa Arab pra-Islam telah mengenal puasa.

Bangsa Yahudi dan Nasrani juga telah mengenal puasa dalam agama mereka.

Agar Bertakwa

Ujung Surat Al-Baqarah ayat 183 diakhiri dengan kalimat “la’allakum tattaquun”. Inilah yang merupakan tujuan puasa Ramadhan, yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertakwa kepada Allah.

Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.

Dengan puasa Ramadhan sebulan penuh akan terlatih jiwa pengendalian diri. Bagaimana tidak, kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di bulan Ramadhan, makanan yang halalpun dilarang. Bercampur dengan isterinya yang semula halal pun menjadi terlarang.

Itu semua dilakukan karena kadar imannya yang membimbingnya menjadi manusia terkendali. Walaupun mungkin berada di tempat terpencil, seorang diri, tetapi kadar imannya menahannya agar jangan sampai melanggar aturan-Nya.

Dengan demikian orang-orang beriman mendidik kemauannya serta mampu mengendalikan hawa nafsunya, karena Allah. Nafsu yang dikendalikan yakni nafsu perut dan nafsu syahwat. Kalau keduanya ini tidak terkendali, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah nista, terjerembab ke dalam makanan haram, berbuat maksiat, dan menumpuk dosa.

Maka menjadi sangat jelas bahwa tujuan utama puasa Ramadhan dengan latihan pengendalian diri seperti disebutkan pada ujung akhir ayat 183 surat Al-Baqarah, adalah agar yang melaksanakannya menjadi orang bertakwa.

Dengan makna takwa tersebut maka orang-orang yang berpuasa (shoimun) terdidik untuk senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Makna “la’allakum”, secara bahasa dari kata “la’alla”  yang artinya pengharapan (raja’), keinginan (thama’), serta keraguan.

Adapun di dalam Al-Quran, kata itu berarti “kay” (supaya) atau “asaa” (semoga).

Sedangkan “asaa” dan “la’alla” jika berasal dari Allah maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq).

Jadi, “la’allakum tattaquun”, bermakna orang-orang yang berpuasa Ramadhan dengan baik dan benar, sesuai tuntunan sunnah, bermakna “supaya kalian pasti menjadi orang-orang yang bertakwa”.

Dengan demikian, ayat-ayat yang menggunakan “la’alla” merupakan resep yang diberikan oleh Allah, bagaimana supaya kita bisa secara pasti.

“La’allakum tattaqun” bermakna jika kita mematuhi resep yang diungkap di dalam ayat-ayat yang bersangkutan, yakni kewajiban berpuasa Ramadhan, maka Allah menjamin kita pasti menjadi orang bertakwa.

Penutup

Semoga dengan mengkaji, membaca kembali dan terus menghayati makna penting kewajiban berpuasa Ramadhan, sebagaimana Allah sebutkan di dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, kita dapat berpuasa Ramadhan dan beramal shalih semaksimal mungkin sepanjang bulan suci Ramadhan tahun ini.

Semoga pula dengan puasa Ramadhan ini dapat meningkatkan derajat takwa kita di hadapan Allah. Aamiin. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)