KJRI Jeddah Fasilitasi Pemulangan Tiga Pekerja Migran Alami Masalah

Jeddah, MINA – Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah kembali memulangkan tiga Pekerja Migran Indonesia () pada Senin (15/3) yang sebelumnya ditampung sementara di shelter sambil menunggu penyelesaian kasus mereka.

Tiga PMI perempuan tersebut berasal dari berbagai daerah dengan rentang masa kerja dan permasalahan yang berbeda-beda.demikian keterangan pers KJRI Jeddah yang diterima MINA, Rabu (17/3).

PMI berinisial SSAH. Belum genap sebulan bekerja di Jeddah, dia kabur ke KJRI, diantar seorang pemuda yang saat itu sedang berada di sekitar masjid. Saat ditanya tim petugas mengapa kabur, dia menjawab tidak betah.

“Anaknya nakal. Sayanya takut emosi, takut mukul atau gimana. Anaknya umur dua tahun sama tujuh tahun,” ujarnya dalam sebuah berita acara pemeriksaan oleh petugas KJRI,

Perempuan kelahiran 1990 asal Cianjur Jawa Barat ini mengaku nekad berangkat ke pada Desember 2020 untuk membiayai tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Sebelumnya dia bekerja di sebuah pabrik sepatu di daerahnya, tetapi kemudian terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berbeda dengan kasus SSAH, PMI berinisial TWM mengaku berangkat ke Arab Saudi pada 2019 untuk bekerja. Perempuan asal Indramayu Jawa Barat ini mengaku bekerja sebagai asisten rumah tangga di Mekkah dengan gaji 2.000 riyal.

Dia dikembalikan ke agensi yang memberangkatkannya hanya gara-gara pengaduan anak majikan yang berusia delapan tahun.

“Itulah, bertengkar gitu. Yah, anak kecil lah gimana, bandel. Katanya saya nabok pantat, padahal saya gak nabok. Ibunya percaya sama anaknya,” tutur TWM kepada petugas KJRI.

TWM kemudian dipekerjakan lagi oleh agensi. Di rumah majikan kedua ini dia bekerja mengurus anak kecil. Lantaran jarang diberi makan, perempuan kelahiran 1984 ini memutuskan kabur dari rumah majikan, menumpang taksi dari Mekkah menuju KJRI Jeddah.

Lain lagi kasus yang menimpa PMI asal Sumbawa NTB ini. Kepada petugas yang mewawancarainya, perempuan kelahiran 1981 ini mengaku telah sembilan tahun bekerja di Arab Saudi. Bak petualang, PMI berinisial EYHS ini berpindah-pindah kerja sebagai petugas kebersihan (cleaning service) di empat wilayah dengan jarak yang cukup berjauhan.

Semula dia bekerja di Mekkah, lalu pindah ke Riyadh yang berjarak sekitar 1.000 km dari Jeddah. Dia kemudian berpindah lagi ke Madinah yang berjarak sekitar 450 km dari Jeddah. Terakhir, dia menetap dan bekerja di Jeddah sebelum akhirnya dia jatuh sakit dan mengalami bengkak di bagian kaki.

Seperti kata pepatah, habis manis sepah dibuang. Setelah tak lagi menguntungkan pihak yang menampungnya, dia dicampakkan begitu saja. Dalam kondisi sakit sulit berdiri, dia bersusah payah menjangkau KJRI Jeddah dengan naik taksi seorang diri.

Tiga PMI yang sempat menjadi keluarga besar shelter KJRI Jeddah ini diberangkatkan Senin (15/3) dari Jeddah menuju tanah air.

Pelajaran Di balik Kasus WNI/PMI di Arab Saudi

Berkaca dari berbagai kasus yang menimpa PMI, khususnya sektor pekerja rumah tangga, KJRI Jeddah kembali mengingatkan masyarakat agar tidak nekad berangkat bekerja ke luar negeri tanpa persiapan yang cukup, baik fisik maupun mental.

Kepada WNI di Arab Saudi, KJRI Jeddah dalam berbagai kesempatan mengingatkan warga agar menyempatkan pulang usai habis kontrak dan menengok keluarga di kampung halaman.

“Selagi ada kesempatan pulanglah dan tengok keluarga di kampung. Jangan sampai menua di negeri orang dan akhirnya sakit-sakitan. Apalah artinya harta diraih, tapi tak sempat dinikmati karena badan sudah sakit-sakitan,” pesan Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah, Eko Hartono, dalam beberapa kesempatan temu warga.

Konjen juga mengingatkan agar jangan sekali-kali nekad berangkat kerja ke Arab Saudi dengan visa ziarah (kunjungan), apalagi dengan visa umrah, tidak dilengkapi dengan perjanjian kerja.

“Bila terjadi tindakan yang merugikan terhadap WNI oleh pihak majikan, sulit pembelaannya di mahkamah, karena dasar tuntutannya tidak ada. Visa ziarah ini tidak dilengkapi dengan perjanjian kerja yang disahkan oleh Perwakilan RI di Arab Saudi,” kata Konjen.

Konjen Eko Hartono menegaskan, pemerintah hingga saat ini masih berpegang pada kebijakan yang berlaku, yaitu moratorium pengiriman tenaga kerja untuk sektor rumah tangga (domestik).

Pemerintah Indonesia, imbuh Konjen Eko, telah memberlakukan moratorium sejak 2011, dan diperkuat lagi pada 2015 dengan penghentian pengiriman tenaga kerja untuk sektor domestik, seperti pembantu rumah tangga atau sopir pribadi keluarga, ke seluruh negara di timur tengah termasuk Arab Saudi, melalui Permen Tenaga Kerja RI No. 260 Tahun 2015.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)