Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Konferensi “Oslo untuk Mengakhiri Penganiayaan Myanmar terhadap Warga Rohingya” (The Oslo Conference to End Myanmar’s Persecution of the Rohingyas) baru saja digelar di Oslo, ibu kota Norwegia, 26-28 Mei 2015 lalu.
Pertemuan yang berlangsung di gedung The Nobel Institute and Voksenaasen, dikoordinir oleh Komite Burma Norwegia dan diikuti oleh beberapa lembaga kemanusiaan internasional, yaitu: Refugees International (RI), Justice for All (USA), the Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI), Harvard Global Equality Initiative (HGEI), International State Crime Initiative Queen Mary University of London (ISCI) dan Den norske Burmakomité.
Agenda yang membahas nasib lebih dari 1 juta warga Muslim Rohingya dari Myanmar (Burma) dan mengeksplorasi cara-cara konkret untuk mengakhiri puluhan tahun penganiayaan terhadap mereka.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Beberapa pembicara dari berbagai latar belakang tingkat dunia turut memberikan pandangan-pandangannya mengenai Rohingya. Mulai dari kapitalis Yahudi George Soros, Tun Dr Mahathir Mohammad (mantan Perdana Menteri Malaysia), Kjell Magne Bondevik (mantan PM Norwegia), perwakilan pengungsi Rohingya, aktivis kemanusiaan Iran Shirin Ebadi, serta peraih Nobel Perdamaian Mairead Maguire, mantan presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta, dan Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu. Namun tanpa kehadiran peraih Nobel Perdamaian dan aktivis demokrasi asal Myanmar, Aung An Suu Kyi.
Khawatir Ekstremis
George Soros, pialang saham yang telah mendukung gerakan demokrasi Myanmar selama lebih dari dua dekade, mengatakan dalam sebuah pesan kepada konferensi bahwa ancaman yang paling cepat untuk transisi Burma adalah meningkatnya sentimen anti-Muslim dan penyalahgunaan secara resmi terhadap orang-orang Rohingya.
“Dari percakapan pribadi dengan pejabat progresif Burma, saya tahu bahwa beberapa penguasa benar-benar ingin melihat semua diperlakukan sama di Burma. Namun para pejabat ini juga takut potensi kekerasan ekstrimis dari kelompok kecil tapi kuat dari sisi radikal agama,” ujar Soros.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Karena itu penguasa memandang kalangan ekstremis dapat menciptakan bom waktu yang bisa meledakkan proses reformasi secara keseluruhan. Maka, pemerintah harus melawan kelompok ekstrim tersebut dan pendukung keuangan mereka.
Tapi pandangan Soros ini tentu berlebihan. Bagaimana dikatakan ekstremis? Jangankan senjata, alat untuk bekerja saja, warga Rohingya masih sangat terbatas. Apalagi jika melihat kondisi fisik mereka yang di pengungsian dan yang mengapung-apung di lautan luas, yang setiap jam meregang nyawa karena tidak ada minuman dan makanan yang memadai.
Mengarah Genosida
Uskup Agung Afrika Selatan dan pemenang Nobel Perdamaian Desmond Tutu (83 th) ikut bersuara tentang nasib etnis teraniaya Rohingya di Myanmar.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
“Tahun 2015 adalah tahun besar bagi Myanmar dengan adanya referendum konstitusi dan pemilihan umum. Namun kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa nasib Rohingya tidak teraniaya,” katanya dalam sambutan lewat pesan rekaman yang disampaikan kepada peserta konferensi.
Ia mendesak untuk segera dan terus diadakan penyaluran bantuan internasional dan regional, termasuk Uni Eropa, untuk membuat dana pembangunan Myanmar bagi pemulihan kewarganegaraan dan hak-hak dasar manusia untuk Rohingya.
Secara khusus kepada ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi, ia mengatakan,”Jika Anda netral dalam situasi ketidakadilan seperti ini, maka Anda telah memilih berpihak ke penindas, karenanya genosida perlahan ini harus dihentikan,” ujar Tutu, yang juga pemimpin gerakan anti-apartheid Afrika Selatan pada tahun 1980-an.
Para peraih Nobel Perdamaian lainnya yang hadir dalam konferensi itu, mendukung pernyataan Desmond Tutu. Sebut saja ada Mairead Maguire dari Irlandia Utara, Jody Williams (AS) , Tawakkol Karman (Yaman), Shirin Ibadi (Iran), Leymah Gbowee (Liberia), dan Adolfo Pérez Esquivel (Argentina).
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Dalam sebuah pernyataan bersama, mereka menyatakan, “Warga Rohingya menghadapi kasus genosida, di mana sebuah komunitas adat sedang dihapuskan secara sistematis oleh pemerintah Burma.”
Etnis Paling Teraniaya
Ramos Horta, peraih Nobel Perdamaian 1996, yang juga mengirimkan rekamannya pada peserta konferensi mengatakan, bahwa ia walau bukan ahli tentang Myanmar. Tapi sejak pertama kali ke negera itu tahun 1994, turut memantaunya hingga kini.
Menurutnya, Burma (Myanmar) memang sedang masa transisi dari rezim militer ke arah demokrasi.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Ia memperoleh informasi beberapa rekannya yang sedang melakukan program hak asasi manusia internasional dan pelatihan diplomasi bagi mahasiswa dan aktivis. Banyak dari mereka kembali Yangon, dan sangat banyak terlibat dalam proses di Myanmar.
Menurutunya, Rohingya merupakan bagian dari demokratisasi warga Myanmar itu sendiri. Namun yang terlihat adalah Rohingya tampaknya memiliki sedikit hak, paling tidak hak istimewa sebagai warga Myanmar, atau katakanlah sebagai manusia, ujar Horta.
Karena itu, Horta menambahkan, penganiayaan sesame manusia Rohingya, tidak dapat diabaikan, sebuah pelanggaran terhadap manusia paling teraniaya di muka bumi ini.
“Jika hari ini kita dapat berbicara tentang salah satu orang yang paling diabaikan di dunia, salah satu yang paling terlupakan, adalah Rohingya di Myanmar. Kita semua manusia di planet ini, Myanmar adalah mosaik kelompok etnis, budaya, nilai-nilai, dari pengalaman yang berbeda. Sebuah perempatan dari Asia, dengan banyak pengaruh.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
“Ada pelanggaran luar biasa, penghinaan, pembunuhan, pengusiran Rohingya dari tanah leluhur mereka. Apakah mereka telah ada selama ribuan tahun atau beberapa ratus tahun atau jika mereka berada di sana hanya beberapa generasi yang lalu. Mereka masih memiliki hak sebagai orang Myanmar karena mereka lahir di sana di Myanmar. Mereka telah tinggal di sana selama beberapa generasi,” ujarnya.
Ramos Horta menyebutkan, memang ada proses transisi dari kediktatoran menuju demokrasi yang tentu menghadapi berbagai hal kompleks, berliku-liku, panjang dan tak terduga.
Tetapi, perlu dicatat, kita semua harus berkontribusi untuk menciptakan iklim dialog, saling menerima, dan bergerak menuju peta jalan menuju ke Myanmar dengan politik terbuka, pluralistik, dan yang merangkul semua komunitas etnis dan agama, lanjutnya.
“Namun, saya tahu bahwa ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, karena ada kecurigaan, ada prasangka. Itulah maka para pemimpin di tingkat masyarakat, nasional dan dunia harus saling merangkul satu sama lain, bertindak dengan kasih sayang dan kebijaksanaan, yang menganut semua orang termasuk Rohingya, sehingga Myanmar dapat menjadi contoh yang bersinar di Asia Tenggara dan di Asia pada umumnya,” paparnya.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Ia mengharapkan, adanya kebebasan dan demokrasi, apalagi Myanmar menghadapi pemilihan umum yang bebas. Semua diharapkan akan dapat berpartisipasi, termasuk komunitas Muslim Rohingya, dan semua orang, dalam suasana kebebasan, tidak ada pertanyaan dan tidak ada ancaman. Maka, hasil pemilu mendatang akan menjadi awal baru yang menjanjikan untuk Myanmar, dan menjadi langkah lebih lanjut dalam konsolidasi demokrasi di negara itu.
Myanmar Menolak
Sementara itu, Myanmar seperti diberiutakan Abc News menyatakan menolak pernyataan-pernyataan tidak seimbang yang disampaikan beberapa pemenang Nobel Perdamaian di Oslo, tentang penganiayaan terhadap warga Muslim-Rohingya. Terutama yang menyebut sebagai tindakan genosida.
Kementerian Luar Negeri Myanmar secara tertulis menyatakan komentar yang dipublikasikan itu, menunjukkan bahwa para pemenang Nobel tersebut membutakan mata terhadap upaya Myanmar membangun kembali kepercayaan diantara warga Budha dan Muslim di bagian barat Rakhine. “Termasuk upaya menjamin pemberian kewarganegaraan lewat proses verifikasi nasional atas warga Bengalis yang telah tinggal di Myanmar selama puluhan tahun,” bunyi pernyataan.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan pernyataan para pemenang Nobel itu merupakan hal yang tidak seimbang dan negatif.
Pemerintah Myanmar hingga kini tidak mengakui warga Muslim-Rohingya sebagai komunitas etnis mereka, dan merujuk pada lebih dari satu juta warga Muslim-Rohingya di negara bagian Rakhine sebagai Bengalis, julukan bagi imigran yang berasal dari Bangladesh.
Myanmar juga menolak memberi status kewarganegaraan dan hak-hak dasar bagi warga Muslim-Rohingya. Bahkan lebih dari 100 ribu di antaranya dipenjara di beberapa kamp.
Beberapa pekan terakhir ini warga Muslim-Rohingya menjadi krisis di kawasan, setelah ribuan manusia perahu terdampar di wilayah Indonesia, Malaysia dan Thailand, dan lainnya diperkirakan masih terjebak di tengah laut.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Sejarawan menyatakan bahwa Rohingya telah tinggal di negara bagian Rakhine (Arakan) sejak abad ke-8. Namun pemerintah Myanmar menyatakan bahwa di bawah UU Kewarganegaraan 1982, sebagai Rohingya datang ke Myanmar setelah tahun 1823, mereka tidak memenuhi syarat untuk menjadi warga negara Myanmar.
Sementara, ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi yang tidak diundang dalam Konferensi Rohingya di Oslo, karena saat ia masih menjadi tahanan rumah selama 15 tahun. Suu Kyi mengundang rasa kagum dari seluruh dunia karena pidatonya yang berapi-api dan kritikan tajam terhadap rezim militer yang menguasai Myanmar.
Namun kini, para pengritik, pengamat dan aktivis kemanusiaan dunia, mengatakan Suu Kyi rupanya berhati-hati memilih isu mana yang ia tentang. Itu karena karena ia memiliki ambisi menjadi presiden pada pemilihan mendatang, yang tentu memerlukan suara mayoritas Budha di sana.
Dalam beberapa minggu terakhir, ribuan orang Rohingya telah melarikan diri dari penganiayaan tersebut dan mendarat di pantai-pantai Indonesia, Malaysia dan Thailand, seringkali ditelantarkan oleh para penyelundup manusia atau dibebaskan setelah keluarga mereka membayar tebusan. Diperkirakan ada sekitar 1,3 juta Muslim Rohingya.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Desakan Dunia Islam
Saatnya Myanmar dan dunia membuka mata akan nasib saudaranya sesama manusia teraniaya Muslim-Rohingya. Indonesia dan warganya sudah ikut berpartisipasi langsung dengan memberikan santunan kepada mereka yang terdampar di Indonesia. Negeri-negeri Muslim mulai bergerak, Malaysia, Turki, dan lainnya.
Patut dicatat apa yang dinyatakan Pemimpin Dunia Islam saat ini, Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur di Jakarta, dalam pernyataanya, yang juga dikirim langsung kepada Presiden Myanmar Thein Shein melalui Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, Rabu 3 Juni 2015 pekan kemarin.
Di antara isinya adalah bahwa umat Islam di seluruh dunia sangat terluka melihat kondisi etnis Rohingnya yang terusir dari Myanmar dan terpaksa harus mencari keselamatan melalui laut dengan kapal-kapal yang tidak layak berlayar jauh. Mereka selama bertahun-tahun menderita di bawah tindakan teror warga Myanmar yang lain yang secara sengaja mengganggu dan mengancam jiwa dan harta mereka, bahkan sudah membunuh dan membakar tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah ibadah mereka.
Karenanya, Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur, menghimbau agar Pemimpin Negara Myanmar menghentikan semua tindakan teror terhadap etnis Rohingnya baik oleh perseorangan maupun kelompok atau pun lembaga di kalangan warga Myanmar.
“Ketahuilah bahwa etnis Rohingnya memiliki hak untuk hidup di atas bumi yang didaptakan oleh Tuhan untuk ditinggali manusia dengan damai dan saling menghormati,” bunyi desakan pernyataan.
Yakhsyalah Mansur menambahkan, bahwa Islam adalah agama yang mengajak kepada kasih sayang dan kedamaian hidup sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an: ‘Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam ’ (Q.S. Al Anbiya [21]: 107).
Lanjutnya, mayoritas etnis Rohingya adalah kaum Muslimin yang diajarkan agamanya untuk hidup berdampingan dengan siapa pun secara damai. Bahkan diwajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga dan melindungi serta menyantuni dengan baik tetangganya seperti berbuat baik kepada saudara kanding sendiri. Mereka bukan bangsa perusak melainkan kelompok manusia yang siap bekerja sama untuk membangun negeri dan saling menghargai antar sesama hidup. (T/P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)