Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) diramalkan oleh Israel akan memunculkan kesempatan baru bagi Zionis untuk meninggalkan komitmen pendirian Negara Palestina, seperti ditegaskan kembali oleh menteri senior Naftali Bennett di Yerusalem pada pertengahan November lalu.
Pernyataan Bennett – ketua partai garis keras Partai Rumah Yahudi – yang dilansir oleh kantor berita AP ini merefleksikan sentimen kelompok nasionalis sayap kanan Israel yang meyakini Trump menjadi tanda terbukanya era baru bagi Israel dan AS. Kedua negara memang sejak lama mempunyai hubungan yang erat.
Meskipun ketegangan kedua negara kerap meninggi saat cara pandang Presiden Barack Obama dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berbenturan, namun di era Trump ini, Menteri Pendidikan Israel telah mengungkapkan pandangannya atas terpilihnya pengusaha kaya raya AS itu sebagai Presiden.
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
Bennett kemudian memprediksi bahwa hubungan spesial antara AS dan Israel akan tumbuh semakin kuat. Ini bisa jadi beralasan, karena menurut menteri itu tak ada satu pun platform kampanye Partai Republik tempo hari yang menyebut Negara Palestina. “Era untuk Negara Palestina sudah berakhir.”
Walaupun Bennett terlihat lebih berhati-hati saat bicara ketimbang sebelumnya, karena ada perintah PM Netanyahu agar anggota kabinetnya tidak berbicara tentang hasil pemilu AS di depan umum. Namun, dia mengaku telah mendorong pemerintah Israel untuk memikirkan ulang soal komitmen kemerdekaan bagi Bangsa Palestina.
“Kombinasi perubahan yang terjadi di AS, Eropa dan sejumlah wilayah lain, membuka peluang unik bagi Israel untuk memikirkan ulang segalanya. Bukan rahasia lagi, gagasan mendirikan Negara Palestina di jantung Israel adalah kesalahan yang mendalam. Saya percaya kita harus membawa ide-ide baru, alternatif, dan bukan pendekatan Negara Palestina,” kata Bennet.
Sementara itu, Menteri Kehakiman Ayelet Shaked, juga dari Partai Rumah Yahudi, menyerukan agar Trump memenuhi janjinya memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pemindahan itu menjadi tanda bahwa Trump akan mendobrak kebijakan yang dibuat para pendahulunya baik dari Partai Republik maupun Demokrat.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Seruan pemindahan Kedutaan Besar itu juga disuarakan Wakil Menteri Luar Negeri Tzipi Hotovely dan Wali Kota Jerusalem Nir Barkat. Namun, sejauh ini, belum ada komentar apa pun dari PM Netanyahu. Status Yerusalem adalah satu dari beberapa isu sulit dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina.
Bangsa Palestina melihat Jerusalem Timur sebagai ibu kota negeri itu pada masa depan. Sementara itu, Israel memandang Jerusalem adalah satu kota yang utuh tak terpisahkan.
Pada masa kampanyenya, Donald Trump sudah menyatakan bakal mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel jika terpilih menjadi presiden.
Sementara itu, PM Israel Benjamin Netanyahu cenderung memberi pernyataan lebih lunak. Tentu saja dia mengucapkan selamat kepada Donald Trump dan menyebutnya “teman sejati negara Israel. Saya menunggu bekerja dengan Trump untuk meningkatkan keamanan, stabilitas, dan perdamaian di kawasan kami.”
Baca Juga: Tentara Cadangan Israel Mengaku Lakukan Kejahatan Perang di Gaza
Solusi dua negara
Meskipun Israel berharap terpilihnya Trump merupakan pertanda terbukanya era baru bagi Israel terkait konfliknya dengan Palestina, Kelompok Hamas menyerukan agar presiden AS itu menghentikan dukungannya terhadap Israel yang telah berlangsung sejak lama. Hamas juga mengungkapkan bahwa rezim Israel merupakan beban bagi Washington.
Dalam pidatonya di Istambul, Turki, Kepala Biro Politik Hamas, Khaled Meshaal seperti dikutip Press TV menyebutkan, “sekarang adalah waktu untuk mengakui bahwa Israel telah menjadi beban bagi Anda (AS). Kami meminta Anda untuk bersikap adil pada Palestina dan menghentikan kebijakan Anda dalam menghadapi kejahatan abadi Israel.”
Dia menegaskan, adalah hal yang keliru jika Trump memberikan lampu hijau kepada Israel untuk melakukan apa yang disukainya di Palestina. “Kami menyerukan kepada Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakan negaranya yang sangat bias terhadap Israel. Tidak ada stabilitas di wilayah Timur Tengah tanpa mengakui hak-hak Palestina.”
Baca Juga: Jihad Islam Kecam Otoritas Palestina yang Menangkap Para Pejuang di Tepi Barat
Juru Bicara Hamas Sami Abu Zuhri sebelumnya juga meminta Trump untuk menciptakan keadilan bagi rakyat Palestina. “Rakyat Palestina tak begitu khawatir dengan perubahan dalam kebijakan AS terhadap perjuangan Palestina karena hal tersebut adalah konstan dan didasarkan pada bias dalam mendukung pendudukan Israel. Kami hanya meminta presiden AS mengevaluasi ulang kebijakan itu.”
Seruan para pejabat Palestina itu tampaknya sejalan dengan Perdana Menteri Rusia, Dmitri Medvedev yang mendesak untuk mempercepat dimulainya kembali dialog Palestina-Israel guna menegosiasikan solusi dua negara. Solusi tersebut adalah cara untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina lewat Negara Israel bersama dengan negara merdeka Palestina.
“Sangat penting untuk mempercepat dimulainya kembali dialog Palestina-Israel guna menyelesaikan masalah koeksistensi dua negara yang sama. Moskow tidak akan pernah meninggalkan posisi prinsip ini,” kata Medvedev dalam artikelnya untuk media Palestina seperti dikutip dari Sputniknews.
Medvedev juga menyebutkan, Rusia mendanai anggaran belanja Palestina sebesar USD 40 juta pada 2009-2013. “Dalam beberapa tahun terakhir, menurut praktek yang dilakukan, Rusia telah mengalokasikan dana yang cukup untuk menutupi pengeluaran anggaran Palestina saat ini: pada tahun 2006, 2008, 2010 dan 2013 dengan total yang telah dialokasikan sebesar USD 40 juta.”
Baca Juga: Israel Larang Renovasi Masjid Al-Aqsa oleh Wakaf Islam
Dia menambahkan, tahun 2015 Palestina diberi Rusia dana tambahan senilai USD5 juta untuk pemulihan Jalur Gaza yang terkena serangan pada bulan Juli dan Agustus 2014.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat bertemu dengan PM Rusia Dimitri Medvedev, juga menyeru presiden AS terpilih itu untuk menerapkan solusi dua-negara dalam rangka mencapai perdamaian di Timur Tengah. “Pemilihan Trump adalah urusan AS dan kita telah mengikuti proses pemilihan lebih dari setahun.”
“Apa yang kita minta untuk dia lakukan adalah menerima dan bekerja melaksanaan solusi dua negara dengan pembentukan negara Palestina yang hidup dalam damai di samping negara Israel,” katanya seperti dikutip dari Xinhua.
Terkait undangan PM Israel Netanyahu kepada Abbas untuk mengadakan perundingan bilateral langsung, dia mengatakan “kami telah dan masih, siap untuk melakukan pembicaraan langsung dengan pihak Israel.”
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Langkah yang mengganggu
Tetapi Abbas menegaskan, “Netanyahu harus memahami bahwa jika ia tidak percaya pada solusi dua negara tidak akan ada perdamaian, dan kami ingin dia mendukung solusi tersebut di perbatasan tahun 1967. Jika ia mengatakan mungkin, maka segala sesuatunya akan mungkin.”
Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah terhenti sejak April 2014. Pembicaraan yang disponsori AS berlangsung selama sembilan bulan tidak mencapai hasil yang nyata.
Anehnya, Trump tidak melihat perampasan lahan Palestina oleh Israel sebagai kendala bagi kedua negara di Timur Tengah itu untuk berdamai. Seperti disampaikan penasihat andalannya, Jason Greenblatt, Presiden AS itu tidak akan mengutuk aktivitas pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat yang dianggap ilegal oleh masyarakat internasional.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
“Trump tidak melihat permukiman sebagai kendala bagi perdamaian,” kata Greenblatt kepada Israel Army Radio. ”Kedua belah pihak akan harus memutuskan bagaimana menangani wilayah tersebut, tapi itu pasti tidak dilihat Trump sebagai kegiatan (pembangunan) permukiman yang harus dikutuk dan penghalang bagi perdamaian.”
Komentar penasihat Trump ini hampir bersamaan dengan rapat kebinet Israel yang menyerukan pembangunan permukiman di tanah Palestina yang diduduki Israel.
Tetapi Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Elizabeth Trudeau agaknya tidak sependapat dengan Trump. Dia menyebut rancangan undang-undang Israel yang memungkinkan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki dan didukung oleh sebuah komite menteri, sebagai langkah yang mengganggu. AS berharap, RUU tersebut tidak disetujui oleh parlemen Israel.
“Kami sangat prihatin dengan kemajuan undang-undang yang akan memungkinkan untuk melegalisasi pos-pos ilegal Israel yang terletak di atas tanah pribadi Palestina,” katanya sambil menambahkan bahwa jika undang-undang tersebut berlaku maka hal itu akan membuka jalan bagi legislasi puluhan pos ilegal di dalam Tepi Barat.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
“Ini merupakan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya serta inkonsistensi Israel yang mengganggu dan juga melanggar kebijakan lama untuk tidak membangun di tanah pribadi warga Palestina,” katanya.
AS menurut Tredeau percaya pemukiman Israel mengancam prospek solusi dua negara dan perdamaian Israel-Palestina. “Kami berharap rancangan itu tidak menjadi undang-undang.”
Sebelumnya, komite menteri Israel menentang PM Netanyahu dan mendukung RUU yang akan dibahas oleh parlemen Israel. Namun, Jaksa Agung Israel, Avihai Mandelblit, menyebut RUU tersebut cacat hukum dan melanggar undang-undang hak milik pribadi. Selain itu, RUU tersebut tidak cocok dengan komitmen hukum internasional Israel.
Ternyata di Israel sendiri kebijakan pencaplokan tanah-tanah orang Palestina oleh Zionis itu untuk dijadikan pemukiman ilegal orang Yahudi, tidak sepenuhnya didukung oleh semua pihak. Bisa jadi juga tidak semua rakyat Israel setuju pada kebijakan Israel dalam menista orang-orang Palestina. (R01/P001)
Baca Juga: Israel kembali Serang RS Kamal Adwan, Sejumlah Fasilitas Hancur
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)