KPAI ke Bandung Koordinasi Penanganan Kasus Video Porno Anak

Bandung, MINA – Dalam rangka melakukan pengawasan terkait video porno anak yang melibatkan perempuan dewasa di Bandung, Komisi Perlindungan Anak Indonesia () melalui Komisioner Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat, Susianah Affandy dan Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime, Margaret Aliyatul Maimunah melakukan koordinasi dengan lintas sektor pada 10-11 Januari 2018 di Bandung.

Dalam kegiatan tersebut, KPAI berkoordinasi dengan Polda  Jawa Barat, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, P2TP2A Propinsi Jawa Barat, dan Pengelola Rumah Singgah di Bandung.

Hasil dari kegiatan Koordinasi dan pengawasan tersebut antara lain:

1. Anak-anak yang terlibat dalam video porno dengan perempuan dewasa adalah anak jalanan. Mereka berasal dari keluarga miskin yang tinggal di samping rel kereta api Kiara Condong Bandung. Orang tua dari ketiga anak tersebut bekerja sebagai pemulung. Dua di antara tiga anak tersebut yakni Rd (9) dan Dn (9) putus sekolah dan hanya Sp (11) yang bersekolah, setiap hari mereka bekerja mengamen. Informasi yang dihimpun KPAI, orang tua anak-anak jalanan di daerah ini banyak yang menuntut anaknya agar membawa uang setiap pulang ke rumah.

2. Polisi telah menangkap Susanti (40) orang tua Dn dan Herni (41) orang tua Rd yang dalam pembuatan video berperan mengantar dan juga turut mengarahkan adegan porno yang dilakukan anaknya. Selain menangkap dua orang tua, polisi juga telah menangkap empat tersangka lainnya yakni FA, CC, IN dan IM dengan perannya masing-masing.

3. Motivasi pelaku IM yang saat kejadian bulan Agustus 2017 silam berusia 17 tahun 10 bulan adalah factor ekonomi. Pengakuan tersangka IM kepada KPAI, ia menjadi anak jalanan sejak kelas VII SMP dan putus sekolah. Menurut IM, di kalangan anak jalanan di Kota Kembang ini, aktivitas seks telah menjadi menu sehari-hari bahkan tidak sedikit dari anak-anak tersebut telah melakukan transaksi seksual dengan orang dewasa.

IM berkenalan dengan CC (penghubung) melalui Facebook dan disepakati adanya pertemuan di antara keduanya. IM mengaku kaget saat mendapat penjelasan dari CC bahwa ia harus menjalankan adegan sex dengan anak-anak namun karena factor ekonomi, ia menerimanya. CC minta IM datang ke hotel M. IM ketemu dengan FA (perekam dan memberi dana) dan ia mendapat penjelasan bahwa ia harus melakukan adegan mesum dengan Rd serta akan direkam.

IM setuju melakukan hubungan intim jika rekaman video tersebut untuk konsumsi pribadi dan tidak disebarkan ke publik. Ia mendapatkan Rp. 1,5 juta dari perannya tersebut dan Rd mendapatkan Rp. 500 ribu. IM mengetahui videonya menyebar pada Desember 2017 dari Ibu dan adiknya.

Ia menemui CC dan meminta FA bertanggung jawab atas tersebarnya video tersebut jika ia tertangkap polisi. FA mengaku tidak tahu dan akan menanyakan kepada ROB (yang mendanai pembuatan video, WNA asal Rusia). FA memberi IM uang sebesar Rp. 500 ribu untuk menghapus tato di paha agar tidak dikenali oleh Polisi serta berjanji akan memberi uang jaminan sebesar Rp. 10 juta sebagai jaminan.

4. Ketiga anak korban kini dilayani di rumah aman P2TP2A Propinsi Jawa Barat dan masih dalam keadaan terisolasi. Petugas Psikolog P2TP2A memberi penjelasan kepada KPAI bahwa semua orang tidak memiliki akses bertemu dengan anak karena dalam tahap trauma healing.

Atas temuan tersebut di atas, KPAI merekomendasikan sebagai berikut :

1. Adanya pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan eksploitasi seksual dan ekonomi yang dilakukan Susanti (40) orang tua Dn dan Herni (41) orang tua Rd, FA, CC, IN dan IM sebagaimana di atur dalam UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yakni ancaman penjara 15 tahun.

2. KPAI minta aparat kepolisian untuk melakukan pendalaman ITE atau digital forensic untuk mengetahui tujuan pembuatan video pesanan WNA. KPAI meminta kepolisian membongkar transaksi antara pemesan video dengan penerima pesanan yakni FA yang diduga dilakukan via facebook. Pendalaman ini bertujuan untuk membongkar sindikat pedofil internasional yang memangsa anak-anak jalanan yang lemah secara ekonomi.

3. KPAI meminta pihak P2TP2A untuk memberikan layanan secara terpadu kepada ketiga korban. Layanan terpadu yang dimaksud adalah mencakup pemenuhan semua kebutuhan dasar anak antara lain trauma healing, kesehatan (jasmani dan mental), sandang dan pangan serta kebutuhan rasa nyaman (spiritual).

Untuk itu, KPAI meminta kepada Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam hal ini P2TP2A agar berkoordinasi lintas sektor terkait pemenuhan hak dasar anak tersebut. KPAI juga meminta agar setelah proses trauma healingnya selesai untuk membuka akses anak kepada proses assessment yang dilakukan oleh Sakti Peksos (Satuan Bakti Pekerja Sosial) Dinas Sosial dan pihak-pihak terkait lainnya dalam upaya pemenuhan hak anak. Saat pengawasan dilakukan, pihak P2TP2A tidak memberikan akses kepada pihak-pihak terkait untuk bertemu dengan anak termasuk dalam hal ini KPAI dan Dinas Sosial (hanya diijinkan melihat dari jarak 10 meter dari ruang berkaca)

4. KPAI meminta kepada Pemerintah agar memberikan pengawasan terhadap anggota masyarakat yang rentan miskin dan merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Karena dari keluarga tersebut mengabaikan pemenuhan hak anak.

5. KPAI meminta Pemerintah untuk memperhatikan kecakapan keluarga dalam pengasuhan anak dan memastikan anak terlindungi dan terpenuhi hak-haknya. Pemerintah juga harus dapat menjamin kesejahteraan keluarga sehingga memiliki kecakapan dalam memberikan perlindungan kepada anak-anaknya.

6. KPAI meminta kepada masyarakat luas agar melakukan pengkondisian tiga anak ini tidak menjadi korban bullying di keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Korban yang dibully akan melahirkan trauma mendalam dan di masa dewasa mereka sangat rentan menjadi pelaku.

Demikian Komisioner Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat KPAI, Susianah Affandy. (R/R09/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.