KRISIS PENGUNGSI SURIAH DAN KOMITMEN NEGARA ARAB

afta peci putihOleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Krisis kemanusiaan menyangkut jutaan yang mencari perlindungan ke berbagai negara di Eropa, menimbulkan pertanyaan tentang sifat politik dan kepemimpinan negara-negara Arab. Ke mana mereka?

Afzal Ashraf, seorang  peneliti di Royal United Services Institute for Defence and Security Studies (RUSI) mempertanyakan, mengapa beberapa negara Arab tampaknya kurang peduli terhadap nasib pengungsi bangsanya sendiri? Terutama pengungsi Muslim asal , Irak, Afghanistan, Myanmar dan tentu Palestina, yang bertebaran ke berbagai penjuru dunia.

Hal ini bukan karena negara-negara di kawasan Teluk tidak memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah tersebut. Justru negeri-negeri yang dikenal karena minyaknya tersebut memiliki kekayaan yang tak terbayangkan. Dengan minyak itu, dibangun gedung-gedung pencakar langit tertinggi, istana-istana mewah, bangunan-bangunan spektakuler baik tempat ibadah, stadion olahraga, bandar udara, supermarket maupun tempat-tempat hiburan, serta berbagai perguruan tinggi yang begitu besar.

Masih banyak space dan pekerjaan untuk para pengungsi dari seluruh negara-negara sekali pun.Jutaan pengungsi bisa diberikan pekerjaan profesional maupun buruh yang memang dibutuhkan oleh perusahaan di negara-negara itu.

Adapun keterlibatan negara-negara Barat untuk menerima pengungsi, itu hanyalah solusi sementara, sampai menunggu kondisi aman dan nyaman di tanah airnya masing-masing. Di samping jumlah pengungsi yang memang sudah terlalu besar di negara-negara Eropa yang notabene juga sudah padat.

Apakah kasus ini memang dibuat sedemikian rupa menjadi pembiaran dalam status quo atau kedatangan pengungsi hanya akan menjadi ancaman baru tumbuhnya potensi ekstremisme? Bukankah ancaman seperti itu juga tidak kurang dapat saja dihadapi negara-negara Barat yang telah mengambil para pengungsi? Dan para pengungsi itu pun hanya membawa selembar baju di badan dan secuil harapan untuk sekedar hidup aman.

polisi aylan vaguthuEfek Aylan

Sejak publikasi foto Aylan Kurdi, balita pengungsi Suriah yang tewas ditemukan di pantai Turki, dunia internasional semakin mengarahkan perhatian terhadap krisis pengungsi di Eropa.

Gambar seorang anak berusia tiga tahun, rupanya memiliki efek simbolis besar pada Eropa. Paling tidak itu telah mempengaruhi melebihi lebih dari 2.500 pengungsi lainnya dari segala usia yang meninggal atau hilang saat mencoba mendapatkan perlindungan ke Eropa. (Baca juga Berita Duka Bocah Suriah Aylan Kurdi)

Para pemimpin Eropa yang sebelumnya enggan, seperti Perdana Menteri Inggris David Cameron, telah mulai merespon dengan janji-janji untuk mengambil lebih banyak pengungsi Suriah.

Itu baru para pengungsi Suriah yang diperkirakan kini sudah mencapai angka lebih dari empat juta pengungsi. Masih ada hampir dua juta pengungsi lainnya yang melarikan diri karena situasi tindak penganiayaan di negerinya sendiri. Sebut saja misalnya di Afghanistan, Irak dan Somalia.

Belum lagi dampak perang Yaman, yang mengakibatkan hampir 80 persen dari populasi penduduknya jelas membutuhkan bantuan kemanusiaan. Juga konflik lama Libya yang belum juga mampu melepaskan beban orang-orang terlantar. Belum dihitung Muslim minoritas di Myanmar yang menjadi manusia perahu, mengembara di gelombang lautan lepas mencari tempat tinggal hingga ke Aceh (Indonesia). Yang semuanya berpotensi menjadi pengungsi.

Efek Aylan diharapkan menjadi momentum terbaik menyadarkan dunia pada umumnya dan negara-negara Arab pada khususnya untuk ikut menyelamatkan Aylan-Aylan lainnya.

“Anak balita Suriah sungguh telah mengirimkan getaran melalui dunia, tetapi keheningan memekakkan telinga di dunia Arab,” kata seorang penulis Suriah di lamannya.

Bahkan di beberapa website dan jejaring sosial muncul imbauan menyambut pengungsi Suriah adalah tugas negara-negara Teluk.

Namun seperti dikatakan Abed Al-Atwan Beri, editor surat kabar Arab yang berbasis di London Rai Al-Youm, mengkritik negara-negara Teluk yang tidak respon menyerap para pengungsi.

Paradoksnya adalah bahwa negara-negara Teluk yang menyerukan pembebasan rakyat Suriah dari tirani Assad dan telah mengarahkan bantuan miliaran dolar untuk pihak oposisi atau pemberontak, belum juga menampung jutaan pengungsi, korban konflik berdarah itu.

Sementara hanya negara-negara Arab tertentu saja seperti Yordania dan Lebanon, yang telah menerima para pengungsi, ketika negara-negara tersebut bahkan kurang memiliki air bagi warga negaranya sendiri.

“Bendera setengah tiang untuk negara-negara Arab,” kicauan aktor Suriah Durraid Lahham dalam akun tweet-nya. Penulis sendiri menyebutnya sebagai terdamparnya rasa kemanusiaan, seperti Penulis tulis dalam sebuah artikel “Tragedi Aylan Kurdi Terdamparnya Rasa Kemanusiaan.”

Yordania, Lebanon dan Turki telah mengambil peran dalam menampung ratusan ribu para pengungsi di negaranya masing-masing. Akan tetapi negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar masih menjadi penonton kah dari pinggir lapangan kemanusiaan?

لاجئون سوريون على الحدود التركية-ارشيف
Pengungsi Suriah (Alakhbar)

Keberatan Negara Arab

Menurut Joshua Landis, Direktur Pusat Studi Timur Tengah di University of Oklahoma, menyebut, negara-negara Arab melakukan sangat sedikit peran. Bahkan, ia mengatakan mereka tidak memiliki kebijakan apapun soal pengungsi.

“Jika ada satu saja pengungsi mencoba menyelinap masuk ke negara-negara tersebut, sudah dapat dipastikan akan langsung dideportasi,” sindirnya.

Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa negara-negara Teluk belum sangat menyambut kehadiran para pengungsi.

Negara-negara Teluk beralasan saat ini sudah kelebihan beban dengan orang-orang asing. Misalnya, 88 persen dari penduduk Uni Emirat Arab adalah orang asing. Qatar 85 persen dan Kuwait 70 persen. Mereka sebagian besar adalah tenaga kerja asing yang bekerja dalam kontrak proyek-proyek pembangunan.

Alasan lainnya, para penguasa negara-negara Arab tampaknya khawatir tentang kedatangan orang-orang asing para pengungsi itu nantinya hanya akan menjadi ancaman bagi stabilitas negara mereka.

Para penguasa sangat cemas bahwa orang-orang asing bisa mengambil alih. Namun di sisi lain mereka tidak cemas dengan adanya orang-orang asing dari negara-negara lain sebagai tenaga kerja megaproyek.

Sementara itu, Amnesti International melaporkan bahwa dari negara-negara Teluk yang tidak dilanda konflik perang seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Oman dan Bahrain, selain negara Eropa dan Asia yaitu Rusia dan Jepang, mereka belum menawarkan untuk tempat-tempat pemukiman.

Padahal negara-negara di kawasan Teluk tersebut tidak hanya dekat dengan Suriah, tetapi termasuk negara sangat kaya raya.

Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch (HRW), menggambarkan sikap negara-negara Teluk terhadap pengungsi Suriah.

Dia memaparkan bagaimana jumlah pengungsi dan telah menawarkan untuk ditampung. Akan tetapi justru ada tekanan yang meningkat dari dalam negara-negara Teluk untuk tidak menerima pengungsi.

Sungguh tragis, negara-negara Teluk dengan kas kekayaan yang luar biasa belum mengeluarkan pernyataan kolektif bagaimana mengatasi krisis. Apalagi tindakan strategis untuk membantu para migran yang mayoritasnya adalah sesama Muslim.

Solusi

Sultan Sooud Al-Qassemi, seorang kolumnis berbasis di Emirat, menyerukan negara-negara Teluk untuk membuka pintu mereka menerima para pengungsi Suriah.

“Dengan kekayaan besar datang tanggung jawab besar. Teluk harus menyadari bahwa sekarang adalah waktu untuk mengubah kebijakan mereka mengenai menerima pengungsi dari krisis Suriah,” imbaunya.

Kalaulah tidak masuk dalam radar kebijakan politik, maka ini adalah langkah moral, etika dan tanggung jawab sosial yang harus diambil.

Solusi mendesak lainnya adalah hentikan investasi dalam perang saudara khususnya di Suriah dan Yaman, berupa kiriman bantuan untuk menambah senjata pemusnah manusia dan penambah potensi pengungsi.

Sementara pula, hapus aturan visa bagi para pengungsi Suriah, jika dianggap sebagai alasan administratif melebihi alasan kemanusiaan. Karena masih ada persepsi luas bahwa banyak negara Teluk memiliki batasan tidak tertulis yang membuat sulit bagi Suriah untuk diberikan visa.

Hanya beberapa negara tertentu yang tidak mempermasalahkan soal visa bagi pengungsi, yaitu Aljazair, Mauritania, Sudan dan Yaman.

Lebih strategis lagi tentunya adalah bagaimana mengubah kebijakan politik dan kepemimpinan negara-negara Arab.

Eropa Barat sudah mulai melepaskan kaitan krisis dengan agama atau identitas rasial. Sementara negara-negara di Eropa Timur telah secara terbuka menyatakan penentangan mereka terhadap mengambil pengungsi Muslim.

Maka, saatnyalah negara-negara Teluk mengambil peran, mengambil saudara-saudaranya sendiri sesama bangsa Arab, sesama manusia, bahkan lebih khusus lagi adalah sesama umat Islam, bukan hanya ditempatkan di negaranya. Akan tetapi ditempatkan sebagai layaknya Muslim dan Manusia.

Sama-sama makan, minum, bekerja, bersosialisasi dan membangun negeri dengan semangat peradaban dan ukhuwwah Islamiyyah menjadi rumah bagi umat yang memerlukan. Secara akidah juga adalah dalam rangka tetap menjaga iman dan Islam, di tengah kabar mulai banyaknya Muslim yang berpindah ke agama Kristen demi untuk mendapatkan perlindungan.

Itulah negeri peradaban di jaman modern, yang melampaui batasan-batasan politis, sekat-sekat kecurigaan dan ambisi kekuasaan. Dan para pengungsi tersebut, kelak suatu saat akan menjadi pahlawan-pahlawan pembangun negeri yang mereka sudah anggap menjadi negerinya sendiri.

‘Hutang nyawa tentu dibayar nyawa’, kata pendekar. Mereka pasti akan membela tanah airnya yang baru, yang itu semua hakikatnya adalah tanah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya. (P4/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0