Kudeta Militer Myanmar dan Nasib Muslim Rohingya

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan anggota senior lainnya dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa telah ditahan oleh militer Senin (1/2) pagi.

Militer Myanmar menggulingkan pemerintah sipilnya dalam kudeta tersebut, mengakhiri pemerintahan yang dianggap demokratis, dan justru menciptakan masa depan hak asasi manusia yang bahkan lebih tidak pasti di negara itu. Terutama nanti dampaknya bagi yang teraniaya dan etnis minoritas lainnya.

Para pembela hak asasi manusia dan ahli mengatakan bahwa mereka semakin takut dengan apa yang mungkin terjadi pada siapa pun yang menantang militer.

“Pilihan yang tersedia bagi orang-orang Myanmar sangat terbatas karena tidak banyak pengaruh di dalam negeri,” Mabrur Ahmed, pendiri dan direktur Restless Beings, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris. Ini seperti disebutkan Vox pada Selasa (2/2).

Tidak banyak yang dapat dilakukan selain protes, ujar Ahmed. Meskipun protes apapun, kemungkinan besar akan disambut dengan kekerasan dari militer, imbuhnya.

Penderitaan Muslim Rohingya dan etnis minoritas dan agama lainnya di negara mayoritas Budha itu mungkin menjadi lebih genting di tengah kekacauan politik saat ini.

Banyak kelompok minoritas Myanmar tetap sangat terpinggirkan oleh pemerintah selama gerakan negara itu menuju demokrasi, yang dimulai lebih dari satu dekade lalu.

Menurut laporan Jen Kirby, reporter keamanan asing dan nasional media Vox, etnis dan agama minoritas, termasuk Muslim Rohingya, sebagian besar dikecualikan dari pemungutan suara 2015.

Menjelang pemilihan November yang mendahului kudeta ini, banyak kelompok minoritas, sekitar 1,5 juta pemilih, kembali didiskualifikasi untuk berpartisipasi.

Negara bagian juga terus terlibat dalam kekerasan langsung terhadap beberapa kelompok, terutama Muslim Rohingya, kelompok minoritas Muslim di Negara Bagian Rakhine.

Lebih dari 750.000 Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak 2017, ketika militer meningkatkan kampanye brutal terhadap kelompok tersebut, membakar desa-desa dan melakukan pembunuhan serta pemerkosaan dengan apa yang oleh laporan hak asasi manusia PBB disebut sebagai “niat genosida.”

Militer juga menargetkan etnis dan agama minoritas di tempat lain, termasuk di negara bagian Kachin dan Shan.

Sebuah laporan pencari fakta independen yang ditugaskan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan diterbitkan pada tahun 2019 menemukan bahwa “kelompok etnis Myanmar memiliki kesamaan, pengalaman marginalisasi, diskriminasi dan kebrutalan di tangan angkatan bersenjata Myanmar.

Maung Zarni, seorang aktivis Burma dan salah satu pendiri dan sekretaris jenderal Forsea, sebuah kelompok advokasi yang mengkampanyekan demokrasi dan hak asasi manusia di Asia Tenggara, mengatakan dia berpikir situasi hak asasi manusia dapat memburuk setelah kudeta tersebut.

Sementara militer sekarang sepenuhnya bertanggung jawab atas pemerintah.

Selama ininkekejaman terhadap minoritas Muslim Rohingya dan lainnya terjadi selama Myanmar menjalankan demokrasi, masa jabatan Aung San Suu Kyi. Padahal Suu Kyi disebut sebagai ikon demokrasi Myanmar, putri terkenal dari pria yang membantu memenangkan kemerdekaan negara.

Kekhawatiran Pengungsi Rohingya

Ketegangan tinggi di Myanmar setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih menimbulkan kekhawatiran para pengungsi Rohingya.

Penguasa militer Myanmar dipandang akan lebih buruk daripada pemerintah yang dipimpin sipil, Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, mengatakan kepada The Washington Post, Rau (3/2).

“Militer ini sangat brutal, dan Rohingya khawatir militer akan melakukan lebih banyak kekerasan terhadap Rohingya. Kami khawatir lebih banyak orang akan melarikan diri,” kata Khin.

Fakta menyebutkan, kampanye kekerasan yang dipimpin militer terhadap Rohingya pada tahun 2017, disimpulkan oleh penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2018 memiliki “niat genosidal”.

Sementara militer menolak hasil penyelidikan tersebut, dan mengklaim bahwa mereka telah menghadapi pemberontakan di antara Rohingya, etnis minoritas.

Laporan PBB menyerukan agar para jenderal Myanmar dituntut atas genosida, sebuah kejahatan perang.

Kaamil Ahmed, seorang jurnalis berbasis di Bangladesh yang sedang menulis sejarah pengungsi Rohingya, mengatakan Amerika Serikat dan lainnya di komunitas internasional pada awalnya berusaha untuk melangkah dengan pendekatan lunak di sekitar perlakuan Myanmar yang mayoritas Buddha terhadap Muslim Rohingya dalam masa transisi negara demokrasi.

Namun menurutnya, perhitungan itu, bisa berubah setelah kudeta militer.

Sebelumnya juga, pada tahun 2019, Suu Kyi muncul di hadapan Mahkamah Internasional untuk menjawab pertanyaan tentang penghancuran komunitas Rohingya tahun 2017. Dia bahkan menolak untuk mengucapkan kata “Rohingya” dan membela pemerintah terhadap tuduhan genosida. Dia juga tampaknya mendukung klaim militer bahwa anggota minoritas yang telah lama dianiaya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.

Satu sisi Suu Kyi dijatuhkan. Namun banyak muslim Rohingya yang tetap kecewa karena kondisi di Myanmar tidak membaik.

Sementara muncul pesan dari Bangladesh, yang telah meningkatkan tekanan pada pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar.

Lebih dari 1 juta Rohingya tinggal di kamp pengungsian yang penuh sesak di kota Cox’s Bazar di Bangladesh.

Mereka dilarang membuka sekolah, sementara kondisi ekonomi, kesehatan mental dan fisik, terus memburuk di kamp-kamp di tengah pandemi virus corona.

Miriam Berger, penulis laporan untuk Washington Post mengatakan, bagaimana kondisi Bangladesh yang telah lama memperingatkan bahwa mereka tidak dapat menangani pengungsi sendirian.

Pada bulan Desember, Bangladesh mulai menerapkan strategi yang pertama kali dilakukan pada tahun 2015, yaitu mencoba merelokasi Rohingya ke pulau terpencil Bhasan Char di Teluk Benggala. Meskipun ada keluhan dari kelompok hak asasi manusia bahwa pulau itu tidak cocok untuk menampung orang dan bahwa relokasi dilakukan tanpa izin.

Pecan lalu Bangladesh mengirim kelompok keempat Rohingya, berjumlah sekitar 1.460 ke pulau itu, tempat dengan infrastruktur untuk menampung sekitar 100.000 orang.

Berger menambahkan, dalam hal Rohingya ini, faktanya tidak ada aksi internasional yang nyata.

“Tidak ada tekanan untuk memastikan Myanmar menciptakan kondisi yang lebih aman,” lanjutnya.

Betapa kudeta militer di Myanmar di tengah pandemi virus corona saat ini dapat semakin mempersulit populasi Muslim Rohingya dan meningkatkan risiko terinfeksi.

Kekhawatiran lainnya, proses kemajuan yang dibuat dalam memulangkan Muslim Rohingya akan menjadi sangat terhambat, karena negara sekarang berada di bawah kendali angkatan bersenjata yang dituduh melakukan kejahatan perang terhadap masyarakat.

PBB, komunitas internasional dan aktivis hak asasi manusia, termasuk komunitas Muslim dunia seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) perlu segera mengantisipasi nasib warga yang semakin terjepit situasi di Myanmar. Memastikan militer agar tidak bertindak brutal terhadap warganya, termasuk minoritas Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di negara itu.

Kalau tidak, Myanmar akan mengalami berbagai kecaman, pengucilan dan sanksi yang akan merugikan mereka sendiri. Serta menjadi bukti benar adanya “niatan genosida”. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)