Kurangi Gizi Buruk untuk Wujudkan Generasi Indonesia Emas

. (Foto: dok. Thousanddays)

Jakarta, MINA – Organisasi Kesehatan Dunia () menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.

Sementara di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek.

“Untuk mewujudkan generasi Indonesia emas, orangtua harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, pengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang menjanjikan hal yang berlebihan,” kata Prof. Dr. Dodik Briawan, Pengajar dan Peneliti Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Selasa (23/01).

Menurutnya, berdasarkan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), permasalahan menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan.

“Artinya, permasalahan stunting dan gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat menengah ke atas. Penyebabnya adalah pemahaman masyarakat yang salah terkait kebutuhan nutrisi anak,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI), Dr. Damayanti Rusli mengatakan, stunting disebabkan oleh malnutrisi, yaitu kondisi anak kekurangan gizi atau kelebihan gizi.

“Malnutrisi yang terjadi pada masa 1.000 hari pertama kelahiran dapat berdampak permanen terhadap anak. Anak yang terkena gizi buruk perkembangannya terhambat dan kemampuan kognitifnya berkurang 10 persen,” jelasnya.

Ia juga menyinggung ditemukannya balita yang menderita gizi buruk di Kendari terkait itu, ia berharap agar ke depan produk makanan minuman yang bukan untuk bayi dan anak tidak dipasarkan untuk bayi dan anak. Tugas dari produsen adalah menjelaskan bagaimana pemakaian yang seharusnya kepada masyarakat.

“Kasus-kasus gizi buruk seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah, namun di kota-kota besar seperti Jakarta juga banyak,” ujarnya.

Senada dengan Dr Damayanti, Anggota DPR Komisi IX Siti Masrifah mengatakan, peraturan tentang peredaran makanan dan minuman terutama untuk anak-anak sudah ada, namun yang perlu diawasi dengan lebih ketat adalah penerapannya.

“Seperti halnya dengan susu kental manis, di seluruh dunia juga ada. Hanya saja, di Indonesia yang bermasalah adalah konten dalam beriklan dan berpromosi. Kita tahu, masyarakat Indonesia kecenderungannya lebih percaya kepada iklan. Jika tidak diluruskan, ada semacam pembohongan melalui iklan,” jelasnya. (R/Faris/R10/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)