Oleh: Lisagay Hamilton, peserta kapal Women’s Boat to Gaza, aktivis perdamaian, aktris film dokumenter, sutradara, dan pemain drama.
Ahad malam, 18 September 2016, beberapa aktivis perdamaian berkumpul di dermaga nan dingin Ajaccio, Corsica, sebuah kota di sebelah selatan Perancis.
Mereka berkumpul hingga larut malam dan dini hari menunggu kedatangan perahu layar kecil yang disebut dengan Zaytouna-Oliva. Sebuah perahu kecil dalam kampanye kapal perempuan menembus Jalur Gaza (The Women’s Boat to Gaza), yang berangkat dari pelabuhan di Barcelona, Spanyol, pada Rabu (14/9) malam waktu setempat.
Perahu itu pun tiba sekitar pukul 02.00 dini hari. Para penumpang dan awak kapal, yang semuanya adalah perempuan, turun dari kapal.
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
Pelayaran panjang melintasi lautan sejauh 300 km lebih, membuat beberapa penumpang tampak sakit, dan itu terlihat dari wajah pucat mereka.
Seorang perempuan yang terlihat agak sakit parah, segera dibawa ambulans ke rumah sakit setempat. Sebagian memang sakit fisik, tetapi tidak ada wajah putus asa.
Para aktivis perempuan itu berjalan dengan tenang dan tegar menuruni tangga kapal dan menuju dermaga. Sementara mereka menerima sambutan sebagai pahlawan kemanusiaan.
“Dalam dua puluh empat jam ke depan, saya akan bergabung dengan aktivis perempuan di pelayaran ketiga menuju Messina, Sisilia, dan dari sana Zaytouna-Oliva akan melanjutkan ke tujuan akhir Gaza”.
Baca Juga: Tentara Cadangan Israel Mengaku Lakukan Kejahatan Perang di Gaza
Lalu, apa yang membuat saya ingin bergabung dengan melakukan perjalanan sejauh 6.000 mil dan dengan meninggalkan keluarga saya, melintasi Laut Mediterania mematahkan blokade Israel di Gaza?
Pertama, saya di sini adalah perempuan-perempuan biasa yang akan bergabung dengan kaum perempuan lainnya, untuk berjumpa dengan perempuan-perempuan luar biasa di jalur Gaza.
“Saya bangga sebagai perempuan biasa bersama perempuan lain yang sekapal dengan saya”.
Kedua, saya di sini ingin mencoba sedikit membuka mata dunia kembali, akan nasib dari dampak perang dan blokade bagi 1,8 juta warga Gaza, yang terjebak dalam apa yang sering digambarkan sebagai “penjara raksasa terbuka di dunia”.
Baca Juga: Jihad Islam Kecam Otoritas Palestina yang Menangkap Para Pejuang di Tepi Barat
“Saya ingin berjumpa dan berbagi solidaritas dengan anak-anak di sana, dan dengan puluhan ribu kaum perempuan mengandung yang kekurangan pelayanan kesehatan dasar”.
Ketiga, kami memang tidak banyak membawa bantuan kemanusiaan di dalam kapal. Ada beberapa kotak makanan dan obat-obatan. Namun, peningkatan bantuan militer AS ke Israel dari 3,1 miliar dolar AS menjadi 3,8 miliar dolar AS per tahun, selama sepuluh tahun ke depan, tentu membuat situasi di Gaza akan semakin rawan.
“Yang kami bawa adalah “bantuan kontribusi” kepada rakyat Gaza, untuk membuka dunia internasional dalam memecahkan blokade. Dunia harus terbuka bahwa Gaza tidak memerlukan bantuan kemanusiaan semata. Namun yang lebih penting adalah kebebasan.”
Keempat, saya tidak ingin hanya menjadi penonton kapal di dermaga. Saya untuk pertama kalinya dalam hidup merasakan bahwa saya merasa seperti telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada diriku sendiri.
Baca Juga: Israel Larang Renovasi Masjid Al-Aqsa oleh Wakaf Islam
“Saya pikir, betapa luar biasa! Dari perahu kecil ini dengan hanya tiga belas perempuan akan dapat menimbulkan ancaman keamanan yang besar bagi pasukan keamanan Israel, yang pasti akan mencegat kami dan naik ke dalam kapal, serta menangkap para perempuan, dan menghancurkan perahu”.
Di sini, di kapal ini, telah berdiri begitu banyak kaum perempuan aktivis perdamaian dunia. Ada pekerja sosial Kanada Wendy Goldsmith, aktivis politik Israel Yehudit Barbara Llany, legislator Tunisia Latifa Habachi, ginekolog Malaysia Dr Fauziah Hasan, veteran Angkatan Darat AS kolonel Ann Wright, dan atlet dari Australia Madeline Habib.
“Saya bangga menjadi satu-satunya wanita kulit hitam yang berpartisipasi dalam pelayaran menembus blokade Gaza ini.”
Ada juga, seorang perempuan wanita teman baik saya, dramawan Naomi Wallace. Perempuan yang tak kenal takut, yang tak peduli tentang keselamatan fisiknya untuk bekerja dalam kapal solidaritas ini.
Baca Juga: Israel kembali Serang RS Kamal Adwan, Sejumlah Fasilitas Hancur
Naomi Wallace telah mampu mengekspresikan kepeduliannya terhadap Palestina dalam film, televisi, dan teater. Baru-baru ini Public Theater di New York terpaksa membatalkan produksi “The Siege,” sebuah drama tentang lima aktivis Gerakan Solidaritas Internasional yang terpaksa berlindung di sebuah gereja di Bethlehem selama Intifada Kedua pada tahun 2002.
Naomi tidak asing dengan jenis sensor film. Dia bermain “Twenty-One Positions,” yang ditulis oleh Abdelfattah Abusrour dan Lisa Schlesinger, dari Teater Guthrie. Film ini kemudian ditolak beredar, karena dianggap terlalu bersimpati kepada Palestina.
“Terus terang, saya tidak bisa berbohong, sebenarnya saya takut mati. Saya juga takut sakit, terbalik, atau hilang di laut. Saya takut sebagai seorang perempuan yang akan mencoba untuk menerobos blokade”.
Namun, saya lebih lebih takut lagi, apa yang mungkin terjadi jika kita semua tinggal diam di rumah masing-masing, diam dan puas dan berpose sana -sini.
Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024
Sementara, pelanggar blokade ada di depan mata, dan kita tahu itu. “Ini adalah awal, dan kami perempuan akan menang. Saya banyak mendapat dukungan dari saudara-saudara saya di Afrika Selatan dalam perjuangan kebebasan”.
Amal dan Zaytouna
Aktivis, politikus, dan seniman dari berbagai belahan dunia berada di dalam dua kapal pelayaran “Freedom Flotilla 4” menuju Jalur Gaza. Kapal bernama “Amal” dan “Zaytouna” itu berlayar dari Barcelona, Spanyol pada Rabu 14 September 2016 malam waktu setempat.
Tujuan dari perempuan aktivis adalah mengadakan untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan dunia memiliki solidaritas dengan perempuan dan warga di Jalur Gaza.
Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel
Israel telah melakukan blokade darat, udara, dan laut warga Jalur Gaza sejak 2007. Kondisi di Gaza pun makin memprihatinkan setelah Otoritas Mesir di Rafah menutup satu-satunya perbatasan dengan Palestina, dan hanya membuka secara tidak permanen.
Pada 2015, Women’s Boat to Gaza pernah berusaha untuk mengirimkan bantuan ke wilayah tersebut, tetapi dicegat oleh Angkatan Laut Israel. Kapal bernama “Marianne” itu kemudian diparkir oleh Angkatan Laut Israel di Ashdod.
Kapal ”Amal” dan “Zaytouna” ini akan menuju ke perairan Jalur Gaza dan akan melewati pelabuhan-pelabuhan di Eropa, diharapkan dapat mem-blowup penderitaan warga Jalur Gaza yang diubah oleh blokade Israel menjadi penjara terbesar di dunia, yang terutama menimbulkan penderitaan bagi perempuan-perempuan Palestina.
Juru bicara media, Sundus Farwanah dalam mengatakan, pelayarannya bersifat damai, bertujuan mengakhiri blokade Gaza yang ilegal dan tak bermoral, membawa pesan yang lebih penting yaitu harapan dan solidaritas bagi penduduk Gaza.
Baca Juga: Parlemen Inggris Desak Pemerintah Segera Beri Visa Medis untuk Anak-Anak Gaza
Menurut rilis panitia pelayaran, Internastional Freedom Flotilla, pihaknya menaruh harapan yang tinggi agar misi tersebut tidak dihalangi oleh Angkatan Laut Israel dan dapat tiba di Gaza dengan selamat.
Disebutkan, misi pelayaran bukanlah ancaman bagi Israel, dan juga tidak menuju ke pelabuhan Israel, dan tidak ada alasan untuk menghalangi misi tersebut.
Tahun 2010, Zionis Israel membangkitkan kemarahan internasional ketika menyerang kapal kemanusiaan flotilla “Mavi Marmara” yang mengakibatkan 10 aktivis dari Turki tewas.
Kini, kapal Amal dan Zaytouna, dalam misi The Women’s Boat to Gaza, membawa 30 aktivis perempuan dari berbagai negara di dunia, yang sebagianya telah mendapatkan penghargaan tingkat dunia, dijadwalkan pekan pertama Oktober ini sudah sampai pelabuhan Gaza.
Baca Juga: Paus Fransiskus Terima Kunjungan Presiden Palestina di Vatikan
Di antara aktivis perempuan internasional yang ikut dalam aksi sosial, politik dan media ini adalah:
1) Mairead MaGuire, Peraih Nobel asal Irlandia Utara,
2) Malin Björk, anggota parlemen Eropa dari Swedia,
3) Kolonel Ann Wright, pensiunan militer AS dan mantan diplomat yang mundur dari jabatannya tahun 2003 saat AS mengagresi Irak,
Baca Juga: Israel Serang Kamp Nuseirat, 33 Warga Gaza Syahid
4) dr. Fauziah Modh Hasan, dokter Malaysia yang ikut dalam sejumlah misi kemanusiaan bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Medis Malaysia sebagai wakil dari konvoi bantuan Miles of Smiles,
5) Samirah Dhawayifah, perwakilan Komite Internasional Anti Blokade Gaza,
6) Hanin Za’bi, anggota parlemen Israel/Knesset,
7) Wendy Goldsmith, pekerja sosial Kanada,
8) Barbara Llany, aktivis politik Israel Yehudit,
9) Latifa Habachi, legislator Tunisia,
10) Madeline Habi, atlet dari Australia.
11) Naomi Wallace, aktris film, televisi, dan teater.
12) Marama Davidson, anggota Parlemen Selandia Baru,
13) Cigdem Topcuoglu, atlet asal Turki.
Ditulis ulang dalam edisi Indonesia dari sumber Freedom Flotilla dan Counter Punch serta dilengkapi dari berbagai sumber, oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency). (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)