Mantan Tahanan Wanita Ungkap Kesadisan Siksaan di Penjara Suriah

Hanada Al-Refai di Jenewa, kamis, 17 Maret 2016. (Foto: MEE/Rori Donaghy)
Hanada Al-Refai di Jenewa, kamis, 17 Maret 2016. (Foto: MEE/Rori Donaghy)

Seorang wanita bernama Hanada Al-Refai pada Kamis (17/3) muncul dalam sebuah forum pada pameran foto di Jenewa, Swiss.

Pameran itu menampilkan foto-foto selundupan dari Damaskus, Suriah, karya mantan fotografer militer yang diberi nama kode “Caesar”.

Refai mengaku sebagai mantan tahanan rezim Suriah selama tujuh bulan. Ia membeberkan rezim yang diterimanya bersama kakaknya yang meninggal di penjara.

Selama di penjara, ia mengaku dipaksa makan dari panci toilet dan diinterogasi di sebuah ruangan penuh muntah dan darah. Lebih parah lagi ia dipukuli selama berhari-hari dan menerima ancaman kematian.

Refai mengatakan, pengobatan yang diterimanya selama di penjara tidak manusiawi.

“Saya ingin menjadi suara bagi para korban perang ini,” katanya kepada Al Jazeera di Jenewa, kota tempat dilaksanakan putaran terakhir pembicaraan damai Suriah. “Kondisi (di penjara) sangat sadis, sangat kriminal,” katanya.

Refai dulunya adalah seorang guru, tapi ketika pemberontakan Suriah dimulai, dia mengambil kesempatan untuk bergabung dalam protes damai.

“Sebelumnya saya hanya seorang istri, ibu dan guru. Pada waktu itu saya tidak tertarik dalam politik, itu adalah garis merah. Tapi kami berharap bahwa kami (rakyat Suriah) memiliki keberanian untuk memiliki sebuah revolusi, seperti Mesir,” katanya. “Saya mulai menjadi seorang aktivis saat revolusi dimulai dari Deraa, kota saya. Kami menyebutnya tempat lahirnya revolusi.”

Dia mengumpulkan video demonstrasi dan diposting secara online untuk menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi di Suriah.

“Saya melihat orang-orang meninggal,” katanya.

Tapi pada tanggal 15 Maret 2012, dia ditangkap saat berusaha melarikan diri dari petugas yang berjaga di sebuah pos pemeriksaan di Nabak. Dia ditahan di Harsata, pangkalan Angkatan Udara Intelijen.

“Saya pikir mereka tidak akan memukuli saya. Saya seorang nenek, seorang guru, seorang wanita. (Tapi) mereka membawa saya ke dalam, menutup mata dan mengikat tangan saya di punggung,” ujar Refai.

Para petugas penjara kemudian memaksanya ke posisi meringkuk.

“Saya terjebak dan tidak bisa bergerak,” katanya. “Mereka membalikkan saya sehingga wajah saya di lantai dan kaki saya di atas. Mereka melepas sepatu dan kaus kaki saya, lalu mulai memukuli kaki saya dengan tongkat. Saya tidak tahu berapa lama. Saya menjerit seperti di neraka. Saya tidak pernah berteriak seperti ini, bahkan ketika saya melahirkan keempat anak saya.”

Sebagian besar tahanan lainnya adalah laki-laki, banyak dari mereka mulai menderita penyakit mental. Refai melihat banyak orang menjadi gila.

Yang lainnya digantung di langit-langit sebagai hukuman karena tidak memberikan informasi.

Ketika petugas penjara memukuli Refai, dikatakan kepadanya, “Kebebasan lebih apa yang kamu inginkan? Kamu tidak harus memakai jilbab, kamu mengendarai mobil, kamu pergi ke universitas. Ini semua kebaikan dari Yang Mulia (Bashar Al-Assad).”

Relawan dokter Inggris, Abbas Khan, meninggal di penjara Suriah. (Foto: PA)
Relawan dokter Inggris, Abbas Khan, meninggal di . (Foto: PA)

Kakak dibunuh

Kakak Refai yang bernama Naef, seorang hakim militer, mengunjunginya dua hari setelah dia dipenjara. Tapi seminggu kemudian, Naef juga ditangkap. Selama dua tahun dua bulan di penjara, hingga akhirnya ia tewas.

“Dia belajar hukum, ia ingin keadilan dan keadilan,” kata Refai tentang kakaknya. “Tapi dia tidak bisa mendapatkan keadilan bagi dirinya sendiri. Saya mencoba segalanya untuk menyelamatkan dia, tapi saya tidak bisa dan dia meninggal. Mereka membunuhnya.”

Hingga saat ini, jenasah Naef belum kembali ke keluarganya.

“Ketika saya berbicara tentang dia (Naef), saya sedang berbicara tentang mereka semua (tahanan politik di Suriah). Kita harus menyelamatkan siapa pun yang masih hidup, membebaskan mereka,” kata Refai. “Saya tidak akan meminta yang tidak mungkin untuk membawanya kembali hidup. Tapi setidaknya saya ingin jenazah kakak saya kembali. Dia layak memiliki sebuah kuburan seperti manusia.”

Tidak ada statistik jelas dan valid tentang berapa banyak orang yang telah dipenjara oleh rezim Suriah sejak perang dimulai pada 2011. Namun, dengan beberapa perkiraan, lebih dari 200.000 orang mungkin telah dipenjara sebagai tahanan politik, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak.

Selama tujuh bulan di penjara, Refai mengaku bertemu 65 wanita berusia 12 hingga 85 tahun. Anak-anak ditahan karena ayahnya melarikan diri dari tentara dan wanita 85 tahun ditahan karena anaknya telah meninggalkannya.

Refai juga bertemu mahasiswa perempuan di penjara dan dia yakin bahwa pemerintah Suriah menggunakan perempuan “sebagai senjata perang”. Ancaman pemerkosaan terhadap perempuan membuat para wanita tidak berani berbeda pendapat dengan pemerintah.

“Mereka (para mahasiswi) takut kepada rezim dan masyarakat. Mereka berpikir, ‘Siapa yang akan mau menikah denganku?’ Bahkan jika tidak ada yang memperkosa mereka, orang lain mungkin berpikir seseorang telah menyentuh mereka,” ujar Refai.

Refai kini telah bersumpah untuk mengkampanyekan pembebasan semua tahanan politik di Suriah, terutama perempuan dan anak-anak.

Ia menegaskan bahwa pihak-pihak yang memerintahkan penyiksaan terhadap tahanan harus dihukum.

“Bagi saya atau mereka yang kerabatnya ditahan, setidaknya kami perlu tahu ada keadilan di planet bumi. Kami tidak ingin menunggu surga untuk penghakiman dari Allah. Mereka harus diadili sekarang, di bumi,” kata Refai. (P001/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)