Oleh Sri Astuti, Mahasiswi STAI Al-Fatah
12 Rabiul Awal merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, sosok paling mulia bagi umat Islam. Pada bulan ketiga dari kalender bulan hijriah ini, sebagian umat Islam di Indonesia merayakannya dengan berbagai acara, mulai dari pengajian kecil di kampung-kampung, tablig akbar dengan ustadz kondang hingga ritual tertentu yang diklaim sebagai bentuk dari kearifan lokal.
Perayaan Maulid ini disimbolkan sebagai bentuk syukur atas kelahiran nabi Muhammad SAW dan kehadirannya yang membawa rahmat bagi seluruh alam, juga sebagai bentuk cinta terhadap para nabi yang dengan perjuangannya Islam dapat tersebar luas.
Namun, jika ternyata segala perayaan yang dilakukan itu menyimpang dari syariat yang telah ditetapkan, apakah perayaan tersebut benar-benar menjadi sebuah syukur atau justru membawa pada kesyirikan, sebagai bentuk cinta dan terima kasih atas perjuangannya atau justru merusak yang telah ia perjuangkan?
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Sejarah Maulid Nabi
Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah).
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan, yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu, perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan, yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)
Jika kita telusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad).
Maulid Nabi di Indonesia
Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa, bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Namun, setiap daerah di Indonesia memiliki nama dan perayaan yang berbeda-beda seperti, Grebeg Maulud di Yogyakarta, Kirab Ampyang di Kudus, Maudu Lompoa di Sulawesi Selatan dan beberapa perayaan lainya.
Semua perayaan tersebut diadakan dengan tujuan yang sama yakni, menghormati kelahiran nabi Muhammad SAW. Kebanyakan dari perayaan tersebut adalah tradisi yang diambil dari nenek moyang bangsa Indonesia yang disebut dengan kearifan lokal.
Kalau kita perhatikan, perayaan-perayaan yang ada merupakan pengaruh kepercayaan animisme yang masih melekat di kalangan sebagian masyarakat Indonesia, bahkan banyak di antaranya sebenarnya tidak bersangkut paut dengan nabi Muhammad SAW atau bahkan menyelisihi apa yang beliau ajarkan.
Sangat disayangkan ketika ternyata, niat baik untuk mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad SAW justru tercampur aduk dengan sesuatu yang batil, bahkan kesyirikan. Contohnya Di Banten, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Mereka berziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu, konon katanya, untuk mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut untuk dibawa pulang sebagai obat.
Di Cirebon, tanggal 11-12 Rabiul Awal banyak orang Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari Wali Sanga, penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut memperoleh air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan.
Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan, dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda.
Sebagai “Srono” (Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Semua ini tentu saja adalah bentuk kesyirikan yang harus dihilangkan.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Lalu apakah tradisi yang disebut kearifan lokal ini benar-benar akan membawa pada wujud syukur atas kelahiran nabi, atau justru mengantarkan kita pada jurang kesyirikan.
Allah Swt berfirman :
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat dan mereka berkata, mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah. Katakanlah apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).( QS. Yunus: 18)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Salah satu tradisi jahiliyah sebelum datangnya kenabian adalah bentuk-bentuk kesyirikan dengan menyembah selain kepada Allah, mereka menyembelih hewan-hewan untuk dikorbankan kepada berhala-berhala. Lalu Allah mengutus nabi Muhammad untuk meluruskan tauhid yang bengkok tersebut dan meninggikan kalimat tauhid. Perjuangannya mendakwahkan Islam tidak mudah, ia harus bermusuhan dengan sanak saudaranya, diusir dari kampung halamanya dan tak jarang mendapat penghinaan dan perlakuan yang buruk.
Ketika kini Islam telah sempurna ia sampaikan, kemudian kemusyrikan ia singkirkan akankah kita merusaknya dengan melakukan syukuran atas kelahiranya tapi dengan merusak apa yang telah ia perjuangkan?, kita lebih meyakini apa yang dilakukan nenek moyang kita terdahulu padahal itu hal yang menyimpang dari syariat, kita membenar-benarkannya atas nama kearifan lokal. Allah Swt berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ [٥:١٠٤]
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Padahal Allah memerintahkan kita untuk memasuki Islam secara kafah, yang berarti di dalamnya bebas dari kesyirikan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ [٢:٢٠٨]
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah seitan, karena sesungguhnya setan adalah musuh besar bagi kalian.” (QS.Al-Baqarah:208).
Walaupun kita berkeras menjalankan apa yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi Muhammad, maka terimalah bahwa apa yang kita usahakan adalah sia-sia dan tertolak.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Bukankah syarat dari ibadah itu sendiri adalah ikhlas karena Allah dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)
Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
Tidak Maulid Tidak Mencintai Nabi?
Jika memang Maulid Nabi ditujukan sebagai wujud cinta dan rasa syukur atas kelahiranya, maka ada banyak cara yang dapat kita lakukan tanpa harus menunggu hingga tanggal 12 Rabiul Awal, yang datang hanya setahun sekali.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan cinta kita adalah
1) Mentaati perintah beliau
أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌفَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَلِيمٌ
“Hendaknya takutlah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (An Nur: 63)
2) Membenarkan berita dan kabar yang beliau bawa
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka terimalah.” (al-Hasyr: 7)
3) menjauhi apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang didatangkan oleh Rasul, maka terimalah. Apa yang dilarangnya, maka jauhilah.” (Al Hasyr: 7)4) serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat beliau.
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang bukan syariat kami, amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, dari Aisyah radhiallahu ‘anha).
Berhati-hatilah dalam beramal, termasuk juga cara mengungkapkan rasa cinta kita terhadap nabi, agar rasa cinta dan syukur kita tidak hanya menjadi tradisi dan seremonial belaka. (A/Ast/RS1)
(Dari Berbagai Sumber)
Mi’raj News Agency (MINA)