MEMANDANG PALESTINA ANTARA MIKRO DAN MAKRO

Imam Shmsi Ali. (Foto: Arsip)
Imam Shmsi Ali. (Foto: Arsip)

Oleh: Muhammad Syamsi Ali, Imam di Islamic Center of dan Direktur Jamaica Center*

Akhir-akhir ini terjadi perdebatan hangat dalam negeri perihal permintaan (satu dari dua gerakan bersebarangan di ) untuk membuka kantor perwakilan di . Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Repubrik Indonesia (DPR RI) memberikan angin segar untuk membantu terwujudnya kantor perwakilan tersebut. Sementara pemerintah melalui kementerian luar negeri menolak pendirian kantor perwakilan Hamas di Jakarta. Posisi pemerintah ini juga ternyata, tidak lazimnya, mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa organisasi Islam lainnya.

Tentu pertanyaannya adalah kenapa pemerintah RI menolak dan kenapa pimpinan DPR memberikan angin segar? Apa kira-kira alasan masing-masing kedua pihak dalam posisi mereka? Dan sebagai negara Muslim terbesar, kenapa Majelis Ulamanya juga ikut menolak?

Tentu pertanyaan-pertanyaan di atas tidak sesederhana untuk dijawab. Karena untuk menjawabnya perlu dilihat dari berbagai sudut dan perspektif, dari isu dalam negeri, hubungannya dengan negara-negara tetangga dan Muslim, hingga kepada isu hubungan internasional dan posisi Palestina di mata dunia internasional saat ini.

Kesatuan Nasional Palestina

Terlepas dari penilaian kecurangan pemilu tahun 2006 lalu, terpecahnya bangsa Palestina secara tajam antara gerakan Fatah dan Hamas, menjadikan jalan bagi negara dan bangsa Palestina untuk merdeka semakin tertutup. Tidak ada hambatan terbesar dari proses perjuangan ke arah kemerdekaan bangsa besar dan agung ini dari perpecahan internal antara kedua kubu yang mengklaim sebagai penguasa tersebut.

Oleh dunia luar negara Palestina dilihat sebagai kesatuan nasionalitas (satu negara atau satu bangsa). Tapi dalam negeri realitanya berbeda. Negara yang sudah lebih 50 tahun terkoyak-koyak itu, berhasil diakui oleh dunia internasional sebagian kecil, semakin dikoyak oleh perseteruan antara kubu Hamas dan kubu Ramallah (Ad-dhiffal al-gharbiyah). Pemerintahan nasional Palestina yang diakui oleh dunia internasional memiliki pemerintahan administrasi, tapi Hamas yang mengontrol wilayah di Gaza juga membentuk pemerintahan administrasi, yang secara hukum tidak diakui oleh dunia internasional dan juga tidak memiliki ‘resources’ untuk menjalankan pemerintahannya, kecuali dari donasi-donasi publik dunia Islam.

Apapun rahasia di balik pintu perseteruan itu, perpecahan antara kedua gerakan utama Palestina ini menjadi kendala utama bagi jalan kemerdekaan negara dan bangsa Palestina. Israel tentunya tidak tinggal diam dan mengambil kesempatan tersebut untk semakin menjalankan “devide et empire” atau pecah belah dan taklukkan kepada bangsa Palestina.

Oleh karenanya, penolakan pemerintah RI dan juga MUI dan beberapa organissi besar Islam, tidak sama sekali merupakan kurangnya komitmen terhadap kemerdekaan Palestina, tapi justeru upaya langsung agar bangsa Palestina segera kembali menyadari urgensi kesatuan nasional mereka. Tentunya dalam hal ini Indonesia tidak memihak dan tidak punya kepentingan dengan pertikaian dalam negeri mereka. Tapi Indonesia tidak mau mengambil kebijakan yang justeru semakin memperbesar kemungkinan perpecahan tersebut. Yang sudah pasti semakin menghambat upaya-upaya kepada terealisirnya kemerdekaan Palestina.

Kenyataannya di negara-negara di mana ada kantor perwakilan Hamas juga tidak ada kelebihan apa-apa, bahkan boleh jadi perwakilan pemerintahan Palestina merasa kejanggalan tapi tidak diekspresikan secara publik. Sebaliknya selama ini tanpa kantor perwakilan Hamas pun, partisipasi bangsa Indonesia dalam meringankan beban-beban saudara-saudara kita di Gaza cukup intens.

Posisi Hamas di Dunia Internasional

Tanpa mengurangi rasa hormat dan takjub atas semangat juangnya Hamas, perlu juga disadari realita yang berkembang dalam percaturan dunia internasional. Kenyataan mengatakan bahwa Hamas semakin termarjinalkan dari dunia internasional, termasuk di dunia Islam, khususnya di dunia Arab. Akibatnya ada dua hal yang bisa terjadi: 1) Jika fokus dukungan diberikan kepada Hamas, maka perjuangan bangsa Palestina untuk meraih kemerdekaannya akan semakin termarjinalkan seiring dengan marjinalisasi gerakan Hamas di dunia internasional. 2). Faksi Fatah akan semakin lebih senang dan enak bersahabat dengan dunia Barat, yang nota benenya sudah menvonis Hamas sebagai organisasi teroris. Selain itu, bantuan pembangunan bagi Gaza akan semakin berat karena semuanya melalui pemerintahan yang diakui sah oleh dunia internasional.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, perjuangan diplomat Palestina di dunia internasional semakin diakui. Adanya beberapa negara, bahkan negara-negara Eropa, mengakui Palestina sebagai negara tidak terlepas dari upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Palestina di bawah komando Presiden Abbas. Dengan demikian, berdirinya kantor-kantor perwakilan Hamas yang nota benenya tidak sejalan dengan pemerintahan Abbas, hanya akan menambah kendala kemungkinan pengakuan terhadap negara Palestina itu.

Oleh karenanya, keputusan pemerintah Indonesia untuk menolak pendirian kantor perwakilan Hamas di Jakarta tidak lain adalah agar proses pengakuan kepada Palestina semakin lancar di dunia internasional. Selain itu, proses pembangunan Gaza yang hancur lebur karena peperangan musim panas lalu, tidak akan terjadi kecuali dengan bantuan resmi dunia internasional. Donasi-donasi pribadi atau organisasi tidak akan mampu membangun kembali ribuah rumah, sekolah dan rumah sakit yang hancur itu. Oleh karenanya, pembukaan kantor perwakilan Hamas di Jakarta hanya akan menghambat karena akan terjadi “overlapping” administrasi tersebut.

Kemerdekaan adalah Ultimate Goal

Saya yakin semua yang punya kepedulian dengan Palestina menyadari bahwa tidak ada tujuan terbesar dan terutama dalam proses ini selain memerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Dan ini hanya akan terjadi ketika ada dua negara yang berhadapan, yaitu Palestina dan Israel. Kalau kepedulian kita masih dibatasi oleh faksi dan friksi yang ada, maka tujuan utama tadi akan tenggelam di tengah jalan.

Hal ini tentunya tidak perlu dipahami sebagai ketidakpedulian dengan saudara-saudara Palestina, khususnya Gaza. Tapi merupakan bentuk kepedulian yang lebih besar dan sekaligus merupakan tembakan kepada sasaran utama dalam perjuangan mereka.

Kalau saya boleh mengibaratkan, upaya-upaya membantu teman-teman Gaza dalam bentuk apa pun, termasuk uang, makanan, obat-obatan, dan lain-lain, semua itu merupakan ‘pain killer’ (menahan sakit sementara) sebagai akibat dari penyakit kankernya. Sementara go beyond faksi dan friksi itu merupakan upaya untuk membunuh penyakit kanker tersebut secara langsung.

Kenyataan ini yang saya maksudkan dengan melihat permasalahan Palestina secara makro vs . Seringkali umat kita dalam melihat permasalahan Palestina memakai penglihatan mikro, makanan, obat-obatan, rumah sakit, pakaian, dan lain-lain. Tapi konsep upaya-upaya pemerdekaan seringkali juga masih tidak jelas. Sehingga kalau sudah ikut hadir dalam demo, atau bahkan terjun langsung memberikan sumbangan pakaian, obat-obatan, dan seterusnya, sesaat serasa menjadi pejuang besar bagi kemerdekaan Palestina.

Di sinilah saya yakin rahasia di balik dari penolakan pemerintah terhadap pembukaan kantor perwakilan Hamas di Indonesia. Bahwa Indonesia tidak lagi ingin terlibat dalam masalah faksi dan friksi ini, tapi pada masanya akan langsung melakukan upaya-upaya praktis dalam memerdekakan Palestina. Dan sekali lagi, hal yang paling krusial adalah ketika bangsa Palestina sendiri sudah menyadari pentingnya membangun kesatuan nasional mereka. Jangan sampai justeru pembukaan kantor perwakilan Hamas itu justeru semakin memperbesar jurang perpecahan antara kedua faksi yang mengaku sebagai pemiliki otoritas di Palestina.

Dan tentunya ini terlepas dari pandangan idiologis masing-masing dalam menilai kedua faksi tersebut. Karena idiologis terutama saat ini adalah idiologi “istiqlal Palestina” (kemerdekaan Palestina). Ini yang seharusnya menjadi pijakan dan landasan bersama dalam upaya membantu teman-teman Palestina kita ke depan. Sekali lagi, bagaimana pun perbedaan pandangan dalam melihat hal seperti ini, mari berpikir makro, dengan tujuan utama: Kemerdekaan negara dan bangsa Palestina. Wallahu a’lam!

New York, 3 Desember 2014

(P007/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timurKota  New York,  Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan itu juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika. 

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0