Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH & SDA MUI)
Krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia. Sains dan teknologi saja tidak akan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan hidup yang mendesak.
Kita memerlukan sistem tata kelola lingkungan baru yang melibatkan seluruh spektrum masyarakat serta penggunaan pendekatan inovatif untuk perlindungan lingkungan hidup berdasarkan perubahan perilaku dan etika tata kelola lingkungan.
Satu asumsi yang dianut para pengamat tingkah laku manusia adalah, respons manusia terhadap kerusakan lingkungan hidup tergantung kepada pengetahuan dan pengalaman mereka tentang lingkungan hidup itu sendiri.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Menilik kondisi sekarang, pengalaman pribadi tidak terlalu banyak memberikan informast mengenal cara penanggulangan kerusakan lingkungan hidup. Informasi terbanyak justru diperoleh masyarakat dari media massa faktual yang melaporkan realitas lingkungan hidup, seperti polusi, penggundulan hutan, pencemaran sampah, kerusakan akibat pestisida, kerusakan akibat penggunaan pupuk yang berlebihan, pencemaran industri, dan sebagainya.
Pembaca lebih tertarik kepada berita yang dihasilkan dari sebuah peristiwa daripada berita yang disusun berdasarkan ide manusia. Rasa ingin tahu mengenai sebuah peristiwa selalu lebih besar dari ide.
Sebuah berita lingkungan hidup perlu menggabungkan unsur pendidikan dan pengawasan, yaitu menyajikan analisis untung-rugi, melaporkan kegiatan lembaga pemerintah dan menaikan reevansi informasi.
Peranan pers dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat; mengangkat isu kemungkinan adanya pencemaran serta bahayanya dan menjadi mediator di antara pihak-pihak terkait dalam terjadinya kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Namun wartawan lebih tertarik memberitakan peristiwa olah raga daripada masalah lingkungan hidup.
Para kolomnis pun ternyata juga tidak suka menulis masalah lingkungan hidup. Setidaknya ada tiga hambatan, pertama, wartawan lebih tertarik dengan peristiwa yang terjadi seketika. Sementara peristiwa lingkungan hidup, seperti tercemarnya air, menurunnya tingkat kesehatan penduduk berlangsung dalam waktu yang lama.
Kedua, wartawan lebih menyukai akibat satu peristiwa ketimbang penyebabnya. Bila mereka bertanya mengenai satu kejadian menyangkut pencemaran industri, sebenarnya mereka ingin tahu siapa saja korban pencemaran itu.
Ketiga, wartawan tidak tertarik menelusuri masalah lingkungan hidup tuntas sampai ke akar penyebabnya. Kendati spesialisasi wartawan adalah bertanya, mereka tidak akan pernah bertanya mengenai hubungan gaya hidup seseorang dengan masalah lingkungan hidup yang ditimbulkannya.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila orang mengatakan bahwa tantangan bagi wartawan lingkungan hidup adalah untuk menjadikan berita lingkungan hidup menarik bagi masyarakat, dan peliputannya juga dapat memperkaya batin wartawan lingkungan hidup sendiri.
Untuk itu, diperlukan pelatihan atau workshop bersama dalam kerangka mewujudkan Persatuan Jurnalis Lingkungan Hidup Indonesia dengan cakupan diharapkan dapat memilih informasi lingkungan hidup yang menyoroti perkembangan ekonomi dan teknologi dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Wartawan lingkungan hidup juga perlu mengetahui teknik menulis informasi lingkungan hidup melalui penerapan kaidah-kaidah jurnalistik umum dipandang dari sudut ekonomi, sosial-budaya atau politik
Selain itu, memilih gaya penulisan informasi lingkungan hidup. menyajikan informasi yang gampang dicerna, menarik, enak dibaca dan memperkaya batin.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Wartawan lingkungan hidup harus Mengetahui dan mengenal hubungan manusia dengan alam (ekologi) sebagai elemen dalam jurnalisme lingkungan hidup.
Praktik Lapangan
Para jurnalis atau wartawan lingkungan hidup dapat menjadikan praktik lapangan untuk bahan peliputan dan pemberitaan yakni Sungai Ciliwung.
Sungai Ciliwung dipilih menjadi praktik pelatihan jurnalistik ini karena Ciliwung merupakan ekosistem sungai yang membelah Ibu Kota Negara Republik Indonesia itu dianggap sebagai penyebab banjir yang melanda ibu kota hampir setiap tahun. Kerugian banjir yang ditimbulkan dalam aspek ekonomi, sosial, kesehatan, dan lingkungan sangat besar.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Berbagai program, proyek, gerakan, dan inisiatif dari para pihak untuk mendukung kelestarian Sungai Ciliwung dirasakan semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan semakin meningkatnya komitmen dan kesadaran para pihak dalam mendukung kelestarian Sungai Ciliwung. Pemerintah daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat juga telah melakukan berbagai program untuk mendukung pelestarian dan pemulihan Sungai Ciliwung tersebut.
Hal ini dikarenakan pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang secara administrasi meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok, memiliki peran strategis dalam pengelolaan Sungai Ciliwung.
Saat ini tercatat sedikitnya ada 21 Komunitas Ciliwung dengan berbagai nama yang ada di sepanjang aliran Sungai Ciliwung. Berbagai kegiatan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem Sungai Ciliwung. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mendukung program- program yang menjadi bagian dari visi dan misi masing-masing wilayah.
Praktik lapangan ini diharapkan dapat: Pertama, daerah dalam upaya pelestarian dan pemulihan Sungai Ciliwung. Kedua, memperkuat kerjasama dan sinergisitas di antara pemerintah daerah dan Komunitas Ciliwung pada wilayah administrasi yang dilintasi Sungai Ciliwung. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat luas akan pentingnya memulihkan dan melestarikan Sungai Ciliwung. (AK/R1/RS2)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Mi’raj News Agency (MINA)