Mengapa Ulama Pakistan Kalahkan Pemerintah Dalam Masalah Penutupan Masjid?

Jamaah salah satu masjid di Islamabad, Pakistan tidak menerapkan jaga jarak selama masa pandemi. (Foto: Asad Hashim/Al Jazeera)

Saat malam tiba, jamaah masuk ke Abdullah bin Masood, di ibu kota Islamabad. Langkah-langkah mereka bergegas untuk menghadiri shalat jamaah yang baru dimulai kembali.

Di dalam, lebih dari 200 orang berkumpul. Antarmereka hanya dipisahkan oleh beberapa kaki untuk menjaga jarak fisik saat melakukan shalat tarawih.

Tidak ada masker wajah atau botol sanitiser tangan yang terlihat karena jamaah lebih banyak berjalan melewati polisi yang piket di luar untuk masuk ke dalam masjid.

Lampu-lampu neon berkelap-kelip dari langit-langit cermin yang berkisi-kisi.

Di sebagian besar negara Muslim, pihak berwenang, dengan dukungan para , menutup semua masjid bagi publik dalam upaya untuk menahan penyebaran virus corona yang sangat menular, yang telah menewaskan lebih dari 247.500 orang di seluruh dunia, menurut data Universitas Johns Hopkins.

Namun di Pakistan, puluhan ribu masjid di seluruh negeri dibuka kembali akhir bulan lalu, setelah para pemimpin agama menang atas pemerintah pimpinan Perdana Menteri Imran Khan sehingga memungkinkan mereka memulai kembali .

Ini adalah keputusan yang unik di antara negara-negara Muslim, bagaimana kekuatan politik dan sosial mengalir di negara yang agama merupakan pusat kehidupan publik, tetapi tidak memiliki peran formal dalam struktur negara.

Hasilnya adalah tarik-menarik antara para pemimpin agama dan politik, seperti yang terlihat dalam keputusan untuk membuka kembali masjid.

Shalat berjamaah di salah satu masjid di Islamabad dengan saf menjaga jarak. (Foto: Asad Hashim/Al Jazeera)

Republik ‘Islam’ vs republik ‘Islamis’

Kasus-kasus virus corona di Pakistan mencapai 20.000 awal bulan Mei, dengan sedikitnya 526 orang meninggal dan lebih dari 6.200 telah pulih. Kasus telah meningkat secara eksponensial dalam beberapa hari terakhir, diperkirakan akan mencapai lebih dari 130.000 kasus pada akhir Mei.

Setidaknya 2.682 kasus, atau 12 persen dari total kasus negara itu, dapat ditelusuri kembali ke pertemuan keagamaan tunggal oleh organisasi Jamaah Tabligh di luar kota timur Lahore pada bulan Maret. Ini adalah kelompok tunggal terbesar di Pakistan yang terinfeksi dalam wabah di negara sejauh ini.

Bagian dari masalah bagi pemerintahan Perdana Menteri Khan yang telah menganjurkan penutupan yang longgar sejak awal wabah, yaitu ketika harus mematuhi para pemimpin agama sebagai pedoman kembali ke dasar negara 1947.

“Pakistan adalah semacam kasus unik,” kata Ahsan Butt, seorang ilmuwan politik di Universitas George Mason di negara bagian Virginia, AS.

“Ini adalah kasus di mana negara dibangun di atas nasionalisme Muslim, jadi Islam dan identitas Muslim sangat penting bagi Negara dan masyarakat luas, dan konsepsi diri kolektif. Tapi itu tidak didirikan secara ketat sebagai negara Muslim atau Islam, seperti Iran atau Arab Saudi,” katanya.

Akibatnya, Butt menjelaskan, para pemimpin dan lembaga keagamaan memegang pengaruh besar dan kekuatan sosial, tetapi tidak secara eksplisit menjadi bagian dari Negara.

Sebagai perbandingan, negara yang otoritas keagamaan dilebur ke dalam pemerintahan adalah Arab Saudi, yang lebih mampu mengendalikan pendirian keagamaan mereka selama wabah virus corona, menutup tempat-tempat ibadah, termasuk situs paling suci dalam Islam, Ka’bah.

“Jadi ini mengarah pada dikotomi: bahwa Islam adalah pusat keberadaan Pakistan, tetapi para pelaku (agama), dalam persepsi mereka, di luar Negara. Para ulama dapat mempengaruhi negara dengan sangat kuat, tetapi mereka bukan yang sebenarnya berkuasa,” kata Butt.

Partai-partai keagamaan tidak pernah memenangkan sejumlah besar kursi dalam pemilihan umum Pakistan. Butt berpendapat bahwa mereka bergantung pada “kekuatan laten, bukan kekuatan yuridis”.

Imbauan untuk mematuhi aturan di masa pandemi ditempel di dinding salah satu masjid di Islamabad, Pakistan. (Foto: Asad Hashim/ Al Jazeera)

Rencana 20 Poin “mustahil ditegakkan”

Ketegangan muncul ke permukaan pada 14 April, ketika aliansi para pemimpin agama dari seluruh spektrum sektarian Muslim Pakistan – suatu kejadian yang jarang terjadi – datang bersama-sama untuk menyatakan bahwa mereka membuka kembali masjid secara sepihak untuk shalat berjamaah, menentang perintah kuncian (pembatasan) pemerintah.

Langkah itu memaksa pemerintah untuk bernegosiasi dengan komite para pemimpin agama. Mereka menyetujui rencana 20 poin untuk membuka kembali masjid terhitung akhir April. Langkah-langkahnya termasuk menegakkan pedoman jarak fisik antara jamaah, mencegah orang sakit dan orang tua untum menghadiri shalat, menyediakan sanitizer tangan untuk jamaah dan mencegah bersosialisasi di dalam masjid.

Beberapa hari kemudian, dokter-dokter terkemuka Pakistan memperingatkan bahwa keputusan itu dapat mengarah pada lonjakan kasus virus corona.

Namun para pemimpin agama mengatakan, mereka akan bertanggung jawab untuk menerapkan arahan dan bahwa pemerintah dapat bertindak jika aturan tidak dipatuhi.

Dalam kunjungan untuk menyaksikan shalat berjamaah di enam masjid utama di ibu kota Pakistan, Al Jazeera melihat berbagai tingkat kepatuhan dengan arahan keselamatan.

Di beberapa masjid, segelintir jamaah berdiri terpisah lebih dari enam kaki (dua meter) dan hanya mereka yang memakai masker wajah yang diizinkan masuk.

Di tempat lain, ratusan jamaah berkerumun, bahu-membahu, untuk melakukan shalat tanpa tindakan pencegahan keamanan yang terlihat.

“Tidak mungkin untuk menegakkan,” kata Madiha Afzal, akademisi di Brookings Institution yang mempelajari ekonomi politik dan ekstremisme.

“Uang ada di (pemimpin masjid). Siapa yang akan memastikan bahwa ulama melakukan ini? Bisakah ada otoritas yang memastikan ini di seluruh negeri, (lima) kali sehari?”

Lalu, mengapa pemerintah Pakistan sendiri tidak menegakkan aturan-aturan ini lebih ketat, memaksa para pemimpin agama untuk mematuhi pedoman yang diamanatkan pemerintah?

Afzal berpendapat bahwa ini karena bagaimana otoritas keagamaan di Pakistan diorganisasikan, yaitu dalam struktur terdesentralisasi yang tidak dikendalikan oleh Negara.

“Negara Pakistan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi otoriter dalam hal agama,” katanya. “Ini adalah republik Islam, tetapi itu bukan teokrasi. Ini adalah demokrasi dengan hubungan yang sangat rumit dengan agama,” kata Afzal.

Butt setuju dengan pandangan Afzal.

“Pakistan bukan negara yang sepenuhnya demokratis, tetapi tidak seperti Mesir, misalnya, di mana Negara dapat menekan protes dan aksi kolektif dan kebebasan berkumpul dengan mudah, terlepas dari siapa yang melakukannya. Pakistan tidak memiliki struktur yang sepenuhnya otoriter,” katanya.

Namun, kedua pengamat itu dengan cepat menunjukkan bahwa Negara Pakistan memiliki sejarah dalam mengambil tindakan otoriter terhadap jenis aktor lain, seperti kepada mereka yang menentang militer negara yang kuat atau melakukan advokasi untuk alasan yang dianggap merugikan kepentingan keamanan nasional.

Hanif Jallandhri, seorang pemimpin agama Pakistan yang memimpin jaringan lebih dari 20.000 masjid dan sekolah-sekolah agama, mengatakan, rakyat Pakistan perlu mengambil langkah “spiritual” untuk memerangi virus, di samping tindakan pencegahan kebersihan.

“Pemerintah telah membuka banyak sektor untuk memudahkan penguncian,” katanya. “Posisi kami adalah jika Anda membuka bahan makanan, pasar, bank, jenis bisnis lainnya, maka masjid juga harus dibuka kembali.”

Ada juga implikasi finansial yang sangat nyata bagi lembaga keagamaan jika mereka tetap ditutup. Pemerintah Pakistan sebagian besar tidak terlibat dalam mengatur atau membiayai masjid di seluruh negeri, menyerahkannya kepada dewan dan organisasi keagamaan independen.

“(Masjid dan pemimpin agama) ini pada dasarnya adalah freelancer. Ini adalah pasar yang cukup besar, dengan puluhan ribu masjid,” kata Butt. “Mereka membutuhkan sumbangan, itu banyak berasal dari lalu lintas pejalan kaki. Jika Anda memotongnya selama Ramadhan, maka Anda memotong pendapatan mereka secara signifikan untuk tahun ini, bukan hanya bulan itu,” kata Jallandhri.

“Jika saya, sebagai pemimpin sebuah masjid, jangan mengambil posisi paling ekstrem, maka yang (pibak) kedua atau ketiga yang memegang kendali masjid ini akan mencari cara untuk menggantikan saya dan akan memiliki argumen yang lebih kuat,” kata Butt. (AT/RI-1/P1)

Sumber: tulisan Asad Hashim di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.