Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA
Pers sebagai pihak yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, hingga kini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Sebab alam pers tak lagi sejuk dan mesti segera diselesaikan secara tepat sejak digulirkannya Undang-Undang (UU) tentang Kebebasan Pers pada tahun 1999 lalu.
Kebebasan pers dalam Bahasa Inggris berarti freedom of the press adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan, seperti menyebarluaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Secara konseptual, kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana dan bersih. Melalui kebebasan pers pula, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, yang kemudian melahirkan mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut juga civil empowerment.
Kebebasan pers juga turut andil dalam menjaga dan mengawasi ketiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif agar dapat menjalani peran dan fungsinya masing-masing. Karena itu, pers dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi lembaga-lembaga tersebut.
Di masa Orde Baru (Orba), hampir semua media dikondisikan sesuai dengan keinginan pihak penguasa di bawah Kementerian Penerangan, sementara media massa yang mbangkang tinggal menunggu waktu pembredelan. Kini, kinerja media massa sudah dijamin dengan adanya UU Kebebasan Pers serta berdirinya Lembaga Dewan Pers.
UU Kebebasan Pers yang menyatakan bahwa setiap media massa harus menyajikan berita dan informasi yang berimbang pada nyatanya hanya menjadi catatan hitam di atas putih. Kepentingan pemilik media-lah, beberapa di antaranya malah seorang politisi, justru mengarahkan para jurnalisnya melanggar kode etik mereka sendiri.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Di langit alam pers Indonesia dewasa ini, dikenal istilah pengelompokan mana media pemerintah, tentu di luar dari TVRI dan RRI, dan mana media oposisi. Hal ini terjadi lantaran terbelahnya sikap dan kepentingan pemilik modal media massa sejak pagelaran Pilpres 2014 lalu.
Ini tentu buruk, di mana ketika media massa tidak lagi dipercaya, maka masyarakat menghukumnya dengan meninggalkan mereka dan beralih ke media sosial, dunia tanpa filter yang bisa diakses oleh semua kalangan. Imbasnya, semua konten informasi mampu didapatkan tanpa peduli apakah itu fakta atau hoaks.
Elit pemerintah bukan tidak menyadari perubahan alam pers ini. Sikap pemerintah yang juga disetujui oleh DPR kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan UU ITE pada 2008 lalu. Meski UU tersebut kurang masyhur di awal terbitnya, akhir-akhir ini justru terkesan menjadi senjata rezim untuk membungkam kritik publik, seperti halnya UU Subversif di zaman Orba.
Dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tanggal 9 Februari, hal ini harus menjadi renungan untuk menyejukkan kembali alam pers sebagai pilar demokrasi yang berpihak kepada kebenaran publik, bukan semata-mata memuaskan syahwat pemilik modal.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Selamat Hari Pers Nasional 2019. (A/R06/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin