Mewujudkan Generasi Anti Korupsi Melalui Pendidikan Karakter

Filantropi dan Aktivis Sosial. M. Habibi Adi Cipto. (Istimewa)

Oleh : M. Habibi Adi Cipto/ Filantropi Pendidikan dan Aktivis Sosial

We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character—that is the goal of true education (Martin Luther King Jr.).

Sebuah quote menarik dari Martin Luther King, Jr tersebut menyadarkan kita bahwa intelegensi atau kecerdasan tidak semata-mata menjadi dewa dalam kehidupan manusia namun yang terpenting adalah dari manusia ini sendiri.

Pendidikan menjadi tidak berarti ketika dia hanya menciptakan manusia-manusia yang pintar namun tidak berkarakter, dalam bahasa kita sehari-hari biasa disebut tidak berakhlak atau tidak berbudi pekerti luhur.

​Akhlak atau budi pekerti sebenarnya sudah menjadi pokok bahasan di mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama di jenjang pendidikan 12  tahun. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah mata pelajaran tersebut sudah efektif untuk meningkatkan tingkah laku yang terpuji dan menghilangkan tingkah laku yang tercela? Jawabannya bisa kita lihat di kenyataan saat ini.

Akhir-akhir ini kita justru melihat banyak hal yang negatif justru dilakukan oleh orang-orang terdidik, seperti korupsi yang dilakukan pejabat bertitel S3, plagiarisme yang dilakukan oleh dosen universitas terkemuka, atau kegiatan sontek menyontek yang dilakukan oleh siswa saat ujian negara dan dibantu oleh guru sekolah mereka. Bukti-bukti ini apakah sudah bisa menyatakan bahwa ada yang salah pada Pendidikan Indonesia?

Berdasarkan pemaparan di atas, lalu apakah cara yang harus ditempuh agar pendidikan bisa menghasilkan manusia-manusia yang seharusnya, yaitu pintar dan berkarakter? Jawabannya adalah melalui pendidikan karakter atau biasa disebut dengan character building.

Karakter itu sendiri adalah suatu nilai yang termanifestasikan dalam tindakan (Lickona, 1991). Seorang yang memiliki karakter yang baik, berarti ia memiliki nilai-nilai yang baik dan nilai tersebut diejawantahkan dalam tindakan yang baik pula.

Misalnya saja, seorang siswa yang memegang teguh nilai kejujuran akan tercerminkan dalam tindakannya yang jujur, seperti tidak menyontek saat ulangan, tidak bebohong dengan orang tua atau tidak mengelabui temannya. Maka, pendidikan karakter adalah suatu upaya menghasilkan luaran karakter, yaitu nilai-nilai yang termanisfestasi dalam tindakan siswa-siswa yang mendapatkan pendidikan tersebut.

Mengapa pendidikan karakter menjadi jawaban permasalahan menggerusnya karakter generasi penerus bangsa Indonesia? Jawabannya karena pendidikan karakter bermanfaat untuk mengurangi potensi keterlibatan anak dengan perilaku negatif (Lickona, 1991).

Oleh karena itu, dengan adanya pendidikan karakter anak diharapkan bisa terhindar dari berbagai perilaku negatif, seperti tawuran pelajar, bullying, sontek menyontek, perilaku seksual sebelum menikah, pencurian anak, pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang dan berbagai macam tindakan negatif lainnya.

Pendidikan karakter, dalam buku Education for Character Lickona (1991) menyatakan bahwa ada dua hal penting yang harus diajarkan, yaitu konsep mengenai dan . Kedua konsep ini nantinya dapat menginisiasi konsep-konsep moral lainnya seperti kejujuran, toleransi, dan kedisiplinan. Kedua konsep ini bisa menjawab dan mencegah generasi Indonesia dengan istilah yang dapat menghancurkan bangsa perlahan, yaitu korupsi.

Korupsi sejatinya bermuara pada pribadi individu pelaku korupsi. Nilai yang penting harus dimiliki agar dapat terhindar dari korupsi adalah kejujuran. Jujur terhadap orang lain, jujur tehadap negara, jujur terhadap diri sendiri dan pastinya jujur terhadap Tuhan yang Maha Mengetahui segalanya.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak jujur, terutama faktor situasi, namun saya sangat yakin jika nilai kejujuran sudah tertanam dalam benak seseorang niscaya dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak jujur. Paling tidak, nilai kejujuran yang sudah terinternalisasi dapat menjadi warning saat seseorang melakukan tindak ketidakjujuran, seperti perasaan cemas dan bersalah yang muncul kemudian.

Pentingnya nilai kejujuran dalam upaya pencegahan korupsi bisa disosialisasikan melalui sekolah, setelah disosialisasikan dalam keluarga. Sekolah bisa melakukan upaya pendidikan karakter yang intensif guna menanamkan nilai kejujuran.

Meskipun dalam mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama sudah diwacanakan, namun perlu diperkuat dengan adanya bentuk penyampaian yang lebih kreatif dan inovatif dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang bisa dilakukan dengan metode pelatihan dirasa bisa mudah diterima dan diaplikasikan oleh siswa.

Pelatihan sebagai sebuah metode pendidikan individu dewasa memiliki beberapa pendekatan yaitu brainstorming, case study, role play, games, demonstration (Laird, 2003). Pelatihan, khususnya mengenai konsep kejujuran, tepat disampaikan untuk siswa SMA karena pada usia ini anak sudah dapat berpikir abstrak, berpikir konsep-konsep yang tidak sekedar diindrai. Pada usia ini pula anak sudah dapat memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk, tinggal significant others memberikan pengarahan kepada anak.

Konsep Respect dan Responsibility 

Konsep respect dan responsibility dapat langsung dioperasionalisasikan dalam pendekatan pelatihan. Pertama, konsep respect bisa dilakukan menggunakan pendekatan role play. Siswa diminta untuk melakukan drama yang isinya adalah perilaku tidak respect terhadap orang lain, seperti membuang sampah atau merokok di tempat umum.

Setelah siswa sudah memainkan dramanya, siswa yang lain sebagai observer bisa mengemukakan pendapatnya apa yang salah dari tindakan tersebut dan bagaimanakah sebaiknya. Dua hal ini membuat siswa berpikir pentingnya respect dengan orang lain. Kemudian fasilitator mengarahkan konsep respect dalam konteks kejujuran dan korupsi.

Kedua, setelah role play siswa melakukan brainstorming mengenai pentingnya kejujuran dan upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan anak seusianya agar meningkatkan dan menurunkan kejujuran. Brainstorming akan memicu kreatifitas siswa dalam menungkan ide mulai dari yang mungkin hingga yang paling tidak mungkin.

Metode ini menstimulasi siswa agar siswa memikirkan hal yang sederhana hingga hal yang paling tidak dipikirkan dalam upaya pencegahan korupsi. Fasilitator berfungsi untuk meluruskan konsep kejujuran dan korupsi ini sendiri dan mengevaluasi mana ide yang mungkin cocok atau tidak untuk diterapkan.

Ketiga, adalah setelah dilakukan brainstorming dan pemaparan materi mengenai kejujuran serta korupsi, siswa perlu mengidentifikasi kasus-kasus yang mungkin bisa dikategorikan tindakan yang tidak jujur atau malah sudah mengarah pada tindakan korupsi. Kasus ini bisa memberikan gambaran pada siswa bahwa banyak sekali kasus ketidakjujuran bahkan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

Kasus ini juga bisa memberikan siswa pandangan bahwa tindakan tersebut bisa saja terjadi meskipun ada ketidakmauan dari individu, tapi justru karena faktor lingkungan. Studi kasus ini bisa berbentuk berita dikoran, cuplikan berita di televisi ataupun sebuh film.

Keempat, adalah pendekatan games. Pendekatan yang paling menarik bagi siswa, karena siswa seperti diajak bermain dan memahami segala sesuatu dengan penglaman nyata, yang mereka praktekkan dalam games.

Games bisa berbentuk outbond (di luar lapangan) atau games sederhana di dalam ruangan. Hal yang terpenting adalah insight games harus sesuai dengan nilai yang ingin diiternalisasi, yaitu kejujuran dan anti korupsi. Games bisa mengoperasionalisakan konsep responsibility, yaitu tanggung jawab lebih mudah untuk dipahami karena dipraktekkan secara langsung oleh siswa. Fasilitator disini berperan dalam mengarahkan dan memunculkan insight pada siswa.

Kelima, pendekatan demonstrasi, dilakukan bisa hanya oleh pemandu saja atau dibantu oleh siswa. Pemandu mendemonstrasikan jargon-jargon tertentu yang berbau kejujuran dan anti korupsi, yang kemudian diikuti oleh siswa. Jargon yang mungkin bisa dipakai seperti, “Remaja Gaul, Harus Jujur” atau “No way to cooruption” atau jargon lainnya yang lebih kece dimata siswa.

Jargon harus disampaikan dengan semangat dan mengena, karena sesungguhnya jargon adalah semangat dari pelatihan ini. Diharapkan jargon dapat mengingatkan siswa bahwa sebagai generas penerus bangsa yang baik harus selalu melakukan tindakan yang jujur dan tidak melakukan tindakan korupsi.

Secara keseluruhan, pendidikan karakter diharapkan dapat menjawab permasalahan bagaiamana cara menghasilkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya pintar namun juga berkarakter. Karakter yang diharapkan muncul adalah yang jujur dan dapat menghapuskan tindakan korupsi. Metode pelatihan dengan segala pendekatannya diharapkan dapat menghaslkan tingkah laku baru atau menguatkan tingkah laku yang sudah ada.

Sesungguhnya amanat pendidikan yang terpatri dalam pembukaan UUD 1945 mengenai pendidikan, bahwasanya tujuan berdirinya bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana cerdas bukan hanya dalam tataran kognitif (pikiran), namun juga afektif (perasaan) dan pastinya konatif (tingkah laku). (R07/RS1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.