Batam, MINA – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan prihatin tentang penggusuran masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau ini bukti pemerintah gagal melaksanakan mandat konstitusi Pemukiman dan warga tercatat telah ada sejak 1834, tempat tinggal dan pemukiman itulah saat ini terancam digusur.
Menurut, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui penggusuran paksa tersebut, negara mempertontonkan keberpihakan kepada investor yang ingin menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar.
Oleh karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap sebagai berikut, demikian keterangan tertulis diterima MINA, Rabu (13/9).
Pertama, meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 7 tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.
Baca Juga: Jawa Tengah Raih Penghargaan Kinerja Pemerintah Daerah 2024 untuk Pelayanan Publik
Kedua, mendesak Kepala Kepolisian dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.
Ketiga, mendesak Pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai yang mengutamakan kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.
Keempat, mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi, karena akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis.
Kelima, mendesak Kementrian PPN/Bappenas untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi.
Baca Juga: Cuaca Jabodetabek Berawan Jumat Ini, Hujan Sebagian Wilayah
Keenam, mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang, mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.
Ketujuh, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak terdampak brutalitas aparat kepolisian, dan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.
Kedelapan, mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan Hak Asasi Manusia. (R/R4/P2)
Baca Juga: Bedah Berita MINA, Peralihan Kekuasaan di Suriah, Apa pengaruhnya bagi Palestina?
Mi’raj News Agency (MINA)