Jakarta, MINA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Ukhuwah Islamiyah, KH Marsudi Syuhud mengatakan, kekerasan terhadap penghina Nabi Muhammad SAW yang terjadi di Eropa dan negara-negara Barat sejatinya seperti bumerang bagi Muslim sendiri.
Hal itudikatakannya merespons provokasi majalah satir Charlie Hebdo dan reaksi kekerasan oknum Muslim di Prancis.
Menurutnya, selama ini Muslim kerap digeneralisasi sebagai teroris dan ekstremis, dan ketika kekerasan itu terjadi, maka wacana Islamofobia semakin menguat.
Ini sebagaimana terjadi pada Sammeul Paty, guru yang dipenggal ekstremis asal Chechnya, Abdoullakh Anzorov (18).
Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman
Marsudimengumpamakan, umat Islam jangan terpancing dalam provokasi kalangan anti-Islam. Ia pun mengibaratkan seperti kepiting yang dipancing ke penggorengan. Ujarnya, dalam siaran tertulis yang diterima MINA, Jumat (6/11)
“Umat Islam seperti dibikin cerita memancing kepiting. Pakai batu diikat di bambu, kemudian kepitingnya dipukul-pukul pakai batu, kemudian kepiting itu mencapit batu keras-keras, setelah itu ditarik ke atas dan masuk ke penggorengan, itulah rezeki yang memancing,” katanya.
Ia melanjutkan, umat Muslim terutama di negara Barat kerap sekali dibikin seperti kepiting itu. Muslim dipancing emosinya dengan berbagai cara, termasuk karikatur Nabi Muhammad, lalu Muslim marah bahkan sampai menggunakan tindakan kekerasan.
“Sayangnya, Barat menjamin kebebasan berpendapat namun tidak menghendaki adanya kekerasan. Bila kekerasan itu terjadi, maka nasib Muslim seperti kepiting yang masuk ke penggorengan dan disantap habis pemancingnya,” ujarnya.
Baca Juga: Pembukaan Silaknas ICMI, Prof Arif Satria: Kita Berfokus pada Ketahanan Pangan
Ia memaparkan, Muslim di Eropa maupun Amerika memang menghadapi masalah berlapis. Satu sisi mereka dihadapkan pada kondisi minoritas, di sisi lain mereka terus ditekan dengan wacana-wacana Islamofobia. Saat mereka melawan dengan kekerasan, catatan Islamofobia itu semakin menguat.
Menurutnya, paling tepat adalah penggunaan cara freedom of speech (kebebasan berbicara) sebagai cara membalas itu, sekaligus akan menunjukkan ke dunia bahwa cara yang ditempuh Muslim lebih berbobot dan variatif.
“Tidak berupa kekerasan atau boikot produk,” paparnya.
Dia mengajak ke depan, umat Islam jangan lagi terjebak pada lubang yang sama dalam merepons kebebasan berpendapat.
Baca Juga: Menteri Yusril Sebut ada Tiga Negara Minta Transfer Napi
“Muslim harus mulai menggunakan kebebasan berpendapat juga untuk melawan,” tegasnya.
Lanjutnya, sebab, bila Muslim terus menggunakan cara-cara kekerasan, hukum di Barat selalu tidak menyetujuinya. Apalagi di dunia Barat, terutama di negara yang menganut kebebasan tinggi seperti Prancis, tidak ada Blasphemy Law (UU Anti Penodaan Agama).
“Kita rata-rata dibuat seperti kepiting itu, dibuat marah dahulu. Kita berharap kita jangan jadi kepiting. Kita harus memahami bahwa hurriyatul ibdair ro’yi (kebebasan menguarakan pendapat), yaitu dibalas yang sama dengan menyuarakan pendapat pula,” katanya. (R/R5/P1)
Baca Juga: ICMI Punya Ruang Bentuk Kader-kader Indonesia Emas 2045
Mi’raj News Agency (MINA)