Jakarta, 16 Ramadhan 1434/24 Juli 2013 (MINA) – Ketua Majelis Ulama (MUI) bidang Kerjasama Internasional, K.H. Muhyiddin Junaidi, MA. mengungkapkan perspektif Islam dalam perobatan bahwa ajaran Islam sangat menekankan bagi orang yang sakit agar diobati dan melakukan usaha yang maksimal untuk mengobati penyakit yang diderita.
Namun pada saat yang sama, Dia menyampaikan tuntunan Islam juga mengingatkan bahkan melarang orang pergi ke dukun atau paranormal untuk mengobati penyakitnya.
“Meminum obat bukan merupakan satu-satunya cara untuk mengobati penyakit. Karena sesungguhnya Allah yang menurunkan penyakit dan Dia pula yang menyembuhkannya, sebagaimana dimaksud dalam makna firman-Nya dalam surah Asy-Syu’ara ayat 80 yang artinya: ‘Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,’” Kata Junadi dalam presentasinya pada sebuah Seminar Internasional Sertifikasi Produk Obat Halal beberapa waktu lalu di Bogor.
Pencegahan pengobatan diri dari penyakit itu, menurut Junaidi pada seminar yang diselenggarakan bersama LPPOM MUI dan UHAMKA tersebut, mencakup dua aspek, yakni pengobatan secara fisik dengan perawatan mengkonsumsi obat, serta pengobatan secara spiritual dengan membaca atau tilawah Al-Quran, mengkaji, dan mentadabburi ayat-ayat suci, serta berdoa, memohon kepada Allah.
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
Hal itu ditandaskan dalam makna surat Al-Isra ayat 82, yang artinya:“Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Berobat Tidak Boleh Dengan Yang Haram
Selanjutnya, Junadi mengatakan bahwa ada pun mengkonsumsi obat dalam perspektif Islam, hanya sebagian untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit serta memulihkan kesehatan dari penyakit yang diderita. Oleh karena itu, mengkonsumsi obat haruslah dengan cara yang sesuai pula dengan tuntunan Islam.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menyatakan, tidak boleh mengkonsumsi obat yang mengandung bahan yang dilarang atau diharamkan dalam agama. “Kita sebagai orang beriman, tidak boleh meminum obat yang mengandung bahan yang haram dan bernajis, kecuali dalam terpaksa, kondisi yang sangat darurat, dan tidak ada alternatif lain,” katanya.
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025
Oleh karena itu, jika kenyataannya saat ini banyak obat-obatan yang sangat diduga mengandung bahan yang diharamkan dalam Islam, maka harus di proses sertifikasi halal.
“Proses sertifikasi halal dengan audit halal oleh LPPOM MUI sangat diperlukan untuk mengetahui kandungan bahan dan proses produksi obat, sedangkan fatwa oleh Komisi Fatwa MUI diperlukan untuk penetapan hukum halal-haramnya sesuai dengan kaidah syariah,” ujarnya.
Sedangkan untuk obat-obatan yang sangat vital, kalau belum ada alternatifnya bisa dianggap sebagai kondisi darurat. Namun, tentu kondisi darurat itu bersifat sementara, tidak boleh berlangsung selamanya.
“Maka menjadi amanah bersama bagi kita, terutama para cendikiawan muslim, untuk mencari alternatif dan mengganti bahan yang diharamkan tersebut, dengan bahan yang halal,” tambahnya. (T/P012/P02)
Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta
Mi’raj News Agency (MINA)