London, 22 Ramadhan 1437/27 Juni 2016 (MINA) – Muslim Inggris yang tinggal di wilayah London Tower Hamlets telah menyuarakan “kegelisahan” mereka tentang hidup akan seperti apa setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa (UE).
Diputuskannya Inggris keluar dari UE setelah 51,9% warganya memutuskan dalam sebuah referendum akhir-akhir ini telah menimbulkan ketidakpastian bagi komunitas minoritas seperti Muslim.
Pengaruh juga berimbas kepada anjloknya nilai mata uang Pound Sterling di mata dunia hingga terendah dalam 31 tahun terakhir.
“Sebelumnya saya pikir wacana keluar dari UE itu hanya bercanda saja, tapi kemudian BBC dan media lain mulai membahas ini lebih serius, saya khawatir akan keluarga saya,” kata Sajda Khatun, warga Inggris keturuan Bangladesh.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Keluarga Khatun, sebagaimana banyak orang Bangladesh lainnya yang tinggal di Tower Hamlets, datang ke Inggris akhir tahun 70-an setelah pecahnya perang kemerdekaan Bangladesh pada 1971. Tower Hamlets, selain menjadi konsentrasi tertinggi penduduk Muslim di Inggris dan Wales, memiliki penduduk terbesar berbahasa Bangladesh di Inggris.
“Perempuan Muslim sudah didiskriminasi di jalanan, dan sekarang kita bisa lebih menderita jika pemerintah memutuskan mengurangi pelayanan lainnya untuk Muslim,” ujarnya.
Sentimen kekhawatiran dan ketakutan juga disuarakan oleh Muslim lainnya di Tower Hamlets.
Di luar Masjid London Timur setelah shalat Jumat, mantan warga Belanda yang juga pemilik bisnis Tower Hamlets Abdul-Rahman Khalid berbicara tentang konsekuensi ekonomi yang mungkin menimpa pada usaha kecil Muslim. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa bisnis Muslim akan terpukul akibat itu di samping pengaruh dari diskriminasi juga kemerosotan ekonomi paska referendum.
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
“Saya tidak berpikir Muslim Inggris akan menghadapi dampak ekonomi besar akibat meninggalkan Uni Eropa dalam waktu dekat, tapi, sebagai pemilik bisnis Muslim, melihat penurunan nilai pound tidak memberikan banyak harapan,” kata Khalid.
“Kami menjalankan bisnis milik keluarga dan mengekspor banyak barang-barang kami ke Uni Eropa dan [bahkan sebelum ini kami] berjuang,” ungkapnya.’
Kampanye selama referendum juga telah menimbulkan kontroversi, di mana banyak kritikus yang menganggap orang yang tidak ikut kampanye telah memainkan taktik “peluit anjing”. Kampanye begitu memanas bahkan salah satu anggota parlemen Douglas Carswell mengecam partainya karena memposting sebuah poster yang menggambarkan menerima pengungsi/imigran di Eropa sebagai tindakan yang salah. (T/R04/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas