Myanmar Bentuk Komisi Kofi Annan, NGO Minta Usut Pelanggaran HAM di Rakhine

, 22 Dzulqa’dah 1437/25 Agustus 2016 (MINA) – Pemerintah Myanmar mengumumkan pada Rabu (24/8) pembentukan komisi penasehat beranggotakan sembilan orang yang diketuai oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB untuk mengatasi situasi di Negara Bagian Rakhine.

Langkah itu disambut positif sebagai langkah maju oleh lembaga non-pemerintah (NGO) , sebuah kelompok hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Asia Tenggara dan terdaftar di Swiss dan Amerika Serikat.

Sebagaimana pernyataan resmi lembaga yang dipimpin Matthew Smith itu kepada Miraj Islamic News Agency (MINA), Fortify Rights menyambut pembentukan Komisi Annan dan memuji Kantor Penasehat Negara Aung San Suu Kyi atas usaha atau terobosan yang dibuat.

“Ini adalah langkah di arah yang benar untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di Rakhine,” kata Direktur Eksekutif Fortify Rights, Matthew Smith.

Menurut dia, komisi harus berfokus pada totalitas situasi hak asasi manusia di Negara Bagian Rakhine untuk membangun fakta dan mengidentifikasi solusi selama beberapa dekade pelanggaran.

Komisi Annan dijadwalkan akan bersidang untuk pertama kalinya pada tanggal 5 September di Yangon. Ke depan, komisi akan membuat laporan setiap tahun untuk diserahkan kepada pemerintah Myanmar.

Sebelumnya, siaran pers dari kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Selasa (23/8), menjelaskan bahwa komisi baru itu akan mempertimbangkan isu-isu kemanusiaan dan pembangunan, akses terhadap layanan dasar, jaminan hak-hak dasar, dan keamanan warga Rakhine.

Komisi akan terdiri enam warga negara Myanmar dan tiga warga asing, termasuk mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, mantan Menteri Kebudayaan Lebanon dan Penasehat Khusus PBB untuk Sekretaris Jenderal Ghassan Salame, dan mantan Duta Besar untuk Inggris dari Belanda Laetitia van den Assum.

Selain menyatakan apresiasi, Fortify Rights dan sejumlah NGO HAM lain juga menyatakan keprihatinan mereka karena pemerintah gagal untuk menunjuk seorang komisaris .

“Kami kecewa karena tidak dilibatkan satu pun komisaris dari etnis Rohingya,” kata Khin Maung Myint dari Partai Demokrat Nasional untuk Pembangunan (NDPD), sebua partai politik pembela hak-hak komunitas Muslim Rohingya yang berbasis di Yangon.

“Tapi kami akan bekerja sama sepenuhnya untuk membantu memastikan komisi akan membuat dampak positif,” tegasnya.

Fortify Rights menyerukan agar komisi secara objektif mengevaluasi fakta-fakta di lapangan, mengidentifikasi pelaku, dan memberikan rekomendasi tindakan yang jelas agar efektif mengatasi dan mencegah pelanggaran HAM lebih lanjut di Negara Bagian Rakhine.

Lembaga itu mengungkapkan pasukan keamanan Myanmar telah terlibat pembunuhan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, perkosaan, kerja paksa, dan pelanggaran lainnya terhadap etnis Rohingya selama puluhan tahun, memaksa ratusan ribu orang meninggalkan Myanmar.

Pihak berwenang Myanmar telah menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, dan genosida terhadap warga Muslim Rohingya, yang mayoritas menetap di Negara Bagian Rakhine.

Pemerintah Myanmar terus mengurung lebih dari 120.000 orang, sebagian besar Rohingya, di lebih dari 40 kamp di Rakhine, tempat mereka menghadapi perampasan hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan dasar.

Myanmar tidak memasukkan Rohingya sebagai etnik resmi yang diakui negara karena dianggap imigran ilegal dari Bangladesh, padahal mereka sudah menetap di negara itu berabad lamanya.

Karena tidak diakui dan dikecualikan dari sensus nasional 2015 membuat orang-orang Rohingya tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu 2015. (L/P022/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.