Nasib Muslim Perancis di Tangan Macron

Marine (kiri), . Foto: Maxppp via ZUMA Press

Oleh: Rina Asrina Jaja

Seorang liberal sentris Emmanuel Macron terpilih sebagai Ahad (7/5) lalu, menang telak di putaran kedua melawan saingannya Marine Le Pen, nasionalis sayap kanan yang mengancam untuk membawa negara itu menarik diri dari Uni Eropa.

Macron menang  dengan perolehan 65 persen suara, jauh mengungguli Le Pen yang hanya 35 persen. Kekalahan Le Pen disebut-sebut karena banyak warga Perancis tidak setuju jika negaranya keluar dari Uni Eropa.

Sementara Macron, seorang mantan bankir investasi Rothschild berusia 39 tahun, pernah menjabat sebagai Menteri Ekonomi selama dua tahun. Dia menjadi pemimpin termuda Perancis sejak Napoleon.

Kemenangan Macron dianggap mengejutkan bagi perancis,  sebagai politisi muda, Macron diremehkan karena disebut masih kurang berpengalaman untuk masuk ke dunia perpolitikan. Bahkan Mantan Perdana Menteri Manuel Valls sempat memandang remeh dan menyebutnya dengan istilah “populis kelas ringan.”

Macron dianggap tak memiliki banyak dukungan, bahkan saat kampanye awal, dia ditertawakan di media sosial karena salah mengutip salah satu band hip hop ternama di Perancis. Sejumlah survei juga menyebut Macron hanya mampu bertengger di posisi ketiga, di bawah Le Pen dan Fillon yang didukung partai-partai mapan.

Namun, Macron tampil sebagai ‘anti mainstream’ di dunia elit sehingga menjadi harapan baru bagi warga pendukungnya dan akhirnya berhasil mengantarkan pria dengan dompet berisi jutaan euro itu menuju Istana Elysee.

Macron mengkampanyekan program yang memberikan pengaruh positif bagi Perancis, mendorong reformasi liberal yang bersahabat, dan merepresentasikan sebagai diri yang tidak memihak sayap kanan atau kiri, tidak seperti Le Pen yang membawa retorika anti-Eropa, anti-Imigran, anti-Muslim, anti-Globaliasi.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana nasib Muslim di bawah kepemimpinan sang mantan bankir itu?

Di samping mempromosikan globalisasi ekonomi dan deregulasi nasional, Macron juga dikenal akan melonggarkan kebijakan terkait imigrasi dan menangani serta mempersatukan kaum imigran dengan pengungsi.

Salah satu kebijakan Macron terkait imigran adalah menambah lima ribu pasukan penjaga perbatasan Uni Eropa, melakukan pelatihan kepada semua pemimpin agama untuk mengenali faham sekuler yang diterapkan Perancis, menjadikan bahasa Perancis sebagai kualifikasi utama untuk menjadi warga negara.

Sementara saingan terbesarnya, Le Pen, mengatakan akan membatasi imigran dengan ketat setiap tahun, dan pencari suaka hanya akan dilayani pengurusannya di luar Perancis. Dia bahkan menyebut imigran adalah tragedi bagi Perancis. Imigran utamanya datang dari negara-negara timur tengah yang mengalami konflik seperti Suriah, Libya, Irak, dan negara lainnya di Afrika.

Pria yang akan melarang penggunaan telepon bagi pelajar SD di sekolah itu pernah memuji Kanselor Jerman Angela Merkel karena membuka pintu bagi para pengungsi. Dia mengatakan Perancis harus menerima pengungsi dengan alasan “perlindungan”, namun akan menindak pencari suaka dengan mengembalikan mereka ke negaranya.

Pada 2015, Le Pen pernah membuat sakit hati umat Islam di Perancis saat menyamakan Muslim yang tengah melakukan shalat berjamaah di jalan dengan Nazi. Macron menyebut Le Pen datang dari “Partai Kebencian” . Dalam kampanyenya, Macron mengatakan, “saya tidak menerima orang dihina karena mereka percaya Islam.”

Le Pen juga berencana melarang hijab di seluruh tempat umum di Perancis. Dia juga akan melarang penyembelihan hewan di hari idul adha Muslim, namun tradisi kurban Yahudi akan tetap diperbolehkan.

Melihat hal itu, Muslim di Perancis mengaku lebih setuju memilih Macron yang dianggap akan menerima mereka sebagai minoritas. Macron dikatakan sebagai “Obama” nya Perancis, sementara Le Pen sebagai “Trump” nya Perancis.

Namun, tidak sedikit juga yang berpikir dukungan Macron terhadap Muslim dalam kampanye-kampanyenya tidak akan berlangsung lama. Muslim Perancis tidak pernah lupa dengan mantan Presiden Nicolas Sarkozy. Saat kampanye pilpres tahun 2009, Nicolas mengelu-elukan Muslim dan membela hijab wanita seperti yang dicitrakan Macron saat ini. Sembilan tahun kemudian, Nicolas melarang pemakaian hijab di negara itu.

Meningkatnya pengungsi di Perancis juga tidak dipungkiri menambah angka pengangguran di negara itu. Macron yang belum dketahui dengan detail programnya, tentu akan membuat cara untuk menekan angka ini. Salah seorang aktivis anti Islam terkemuka di Perancis, Yasser Louati, mengatakan Macron tidak akan membawa perubahan berarti untuk kelas pekerja dan minoritas.(RE1/RS3)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)