Abu Dhabi, 14 Jumadil Awwal 1437/22 Februari 2016 (MINA) – Negara-negara Muslim harus menjadi yang terdepan dalam memerangi aksi terorisme, demikian Pangeran Turki Al-Faisal dari Arab Saudi Ahad (21/2) waktu setempat, di tengah berlangsungnya latihan militer bersama aliansi kontra terorisme dari negara-negara Islam yang berlangsung selama 18 hari.
Pangeran Turki yang banyak menangani masalah keamanan antaranya pernah menjadi Kepala Badan Intelijen Arab Saudi, menyatakan, aliansi kontraterorisme beranggotakan 34 negara Islam yang diumumkan baru-baru ini seharusnya dibentuk dan bekerja lebih cepat, Arab News melaporkan yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Pernyataan Pangeran Turki dikemukakan saat Kerajaan Saudi tengah menyelenggarakan latihan militer 18 hari dengan 20 anggota aliansi baru, yang mencakup Pakistan, Sudan, Yordania dan negara-negara Teluk.
Di samping itu para menteri pertahanan dari koalisi negara-negara mayoritas Muslim ini dijadwalkan akan mengadakan pertemuan pertama mereka di Arab Saudi sekitar Maret.
Baca Juga: Drone Israel Serang Mobil di Lebanon Selatan, Langgar Gencatan Senjata
“Saya menganggap langkah-langkah penting dan terpuji ini sebaiknya diimplementasikan lebih cepat dan kita bersyukur apa yang kita inginkan sudah berjalan,” ungkapnya kepada wartawan di Abu Dhabi.
“Bukan rahasia, sangat disayangkan, bahwa di dunia saat ini mayoritas tindakan yang berkaitan dengan terorisme, korbannya adalah Muslim,” tegasnya. “Oleh karena itu, tanggung jawab kita sebagai negara Muslim untuk memainkan peran utama dalam memerangi penyakit ini yang telah berdampak pada kita semua,” imbuh Pangeran Turki.
Setidaknya ada tiga negara yang tidak terlibat dalam koalisi ini, yaitu Iran, Suriah dan Irak, yang tengah berjuang untuk merebut kembali sejumlah wilayah mereka yang dikuasai oleh kelompok militan Islamic State (ISIS/Daesh).
Negara-negara Arab Sunni dan mayoritas Syiah seperti Iran memiliki sikap kontras atas sejumlah isu di kawasan dan mendukung sisi berlawanan dalam krisis peperangan di Yaman dan Suriah.
Baca Juga: Pasukan Israel Maju Lebih Jauh ke Suriah Selatan
Hubungan memburuk setelah massa Iran menyerang misi diplomatik Arab Saudi di Teheran dan Mashhad pada bulan Desember, memaksa Saudi untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Saat itu massa memprotes eksekusi tokoh Syiah, Nimr Al-Nimr, di Arab Saudi.
Pangeran Turki menegaskan, semua bergantung pada niat baik pengadilan Iran jika ingin menormalisasi atau membuat hubungan Teheran dan Riyadh kembali membaik.
“Kerajaan Arab Saudi telah menyatakan secara terbuka bahwa gangguan Iran dalam urusan negara-negara Arab adalah situasi yang tidak dapat diterima,” kata Pangeran Turki, yang pernah menduduki jabatan Duta Besar untuk Amerika Serikat, Inggris, dan Irlandia setelah lama bertugas membawahkan badan intelijen.
Arab Saudi pernah mengajak Indonesia untuk bergabung dengan koalisasi kontra terorisme ini, tapi Indonesia menolak dengan alasan bertrentangan dengan UUD 45. Politik luar negeri Indonesia berazaskan bebas dan aktif. Tidak bergabung dengan koalisi-koalisi militer manapun. (T/P022/P2)
Baca Juga: Warga Palestina Bebas setelah 42 Tahun Mendekam di Penjara Suriah
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)