Nekad Naik ke Tembok Apartheid Demi Sholat Jumat di Masjidil Aqsa

Yerusalem, MINA – Para pemuda tidak kekurangan cara untuk menantang otoritas pendudukan Israel, yang mencegah mereka memasuki kota Yerusalem, untuk shalat Jumat berjamaah di .

Banyak di antara mereka nekad naik ke , setinggi 4,5 sampai 9 meter, yang memisahkan Yerusalem dari kota-kota Tepi Barat lainnya.

Setelah memantau lengahnya petugas, para pemuda mempertaruhkan jiwanya mematahkan tembok pembatas itu dengan melewatinya. Quds Press melaporkan, Jumat (29/4).

Seorang pemuda, Ahmed (bukan nama sebenarnya), karena factor keamanan, dapat memasuki Bukit Bait Suci, sebelum Subuh pada Jumat, dengan bantuan pemuda lainnya.

Ia memanjat tembok apartheid yang mengelilingi Yerusalem dari sisi kota al- Ram, yang tingginya delapan meter, dan harus mengalami luka ringan di tangan kirinya.

“Kami semua lakukan untuk Al-Aqsa, syukurlah saya bisa sampai ke Al-Aqsa. Itu adalah petualangan dengan puluhan pemuda, setelah kami memanjat tembok, menggunakan tangga sekitar tiga meter, lalu meraih tali gantung dan naik ke atas, lalu kami menggunakan tali untuk turun ke sisi yang berlawanan,” ujarnya.

Upaya itu, menurutnya, memerlukan kehati-hatian yang tinggi, karena kesalahan sedikit saja berarti jatuh dari atas.

Belum lagi kalau menghadapi patrol pendudukan yang seringkali menyisir area dinding sepanjang waktu.

Setelah turun, secara bergelombang, tidak perlu saling menunggu, para pemuda segera berlari memotong jalan menuju bukit yang ditanami cemara.

Di balik bukit, mobil yang sudah dipersiapkan oleh sesama pemuda dari Yerusalem membawa mereka ke daerah Bab al-Amoud di Yerusalem, salah satu gerbang menuju Masjidil Aqsa.

“Saya segera diobati oleh penjaga Al-Aqsa, dengan mengoleskan salep khusus ke tangan saya, lalu saya membalutnya dengan perban. Saya tidak menyesalinya, justru sebaliknya saya bangga. Jika perlu saya akan terus mengulanginya setiap Jumat untuk mencapai Al-Aqsa,” ujarnya.

Tembok Aphartheid mulai dibangun oleh otoritas pendudukan pada tahun 2002, dengan ketinggian berkisar antara 4,5 hingga 9 meter, sepanjang 712 kilometer.

Berkejaran dengan Patroli Militer

Moayad, juga nama samaran, seorang pria berusia 40 tahunan, petualangannya tidak kalah berbahaya dari rekannya, Ahmed.

“Saya pergi bersama teman-teman saya ke salah satu tembok apartheid dekat kota Tulkarm di Tepi Barat utara. Setelah proses pemantauan yang ketat, yang dilakukan oleh para pemuda, dari pergerakan kendaraan militer Israel, mereka memberi kami sinyal untuk naik ke tembok,” ujarnya bercerita.

Para pemuda setelah turun dari tembok, segera lari menuju perbukitan, menunggu sinyal mobil yang akan menjemputnya.

Setelah ada kode khusus, baru mereka bergerak menuju kendaraan yang akan membawa mereka kami ke Yerusalem.

“Ketika kita mulai berlari, kita bertaruh dengan datangnya militer yang sedang melakukan manuver. Tidak segan-segan, pasukan menembak kami,” lanjutnya.

Operasi tersebut memakan dari waktu Subuh hingga waktu menjelang shalat Jumat, baru tiba di kompleks Masjidil Aqsa, lanjutnya.

“Demi Allah, hidup dan jiwaku terlalu murah untuk Allah. Saya pun berjalan kaki menuju Masjidil Aqsa. Begitu kaki saya menginjak gerbang Bab al-Silsila, dan saya melihat Kubah Sakhrah di depan mataku, aku bersujud kepada Allah, dan dengan sendirinya air mataku mengalir,” imbuhnya.

Gubernur Yerusalem, Adnan Ghaith, mengatakan puluhan pemuda Palestina menderita patah tulang dan memar akibat jatuh dari tembok apartheid. (T/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.