Nurhadis, Wartawan MINA, Ceritakan Pengalaman Tugas Meliput Misi Kemanusiaan ke Myanmar

Rimbo Bujang, Jambi, MINA – , wartawan Kantor Berita MINA menceritakan pengalamannya saat menjadi wartawan pada misi kemanusiaan Food Flotilla for Myanmar (FFfM) 2017 lalu.

Ia menyampaikan hal itu pada sesi “Asiknya Menjadi Jurnalis” pada Pelatihan Jurnalistik Dasar Syubban dan Fatayat (pemuda dan pemudi) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jambi, di Masjid Kompleks Ponpes Al-Fatah Desa Perintis, Kec. Rimbo Bujang, Kab. Tebo, Provinsi Jambi, Jum’at (9/9).

Nurhadis, Kepala Biro MINA Sumatera,  mengisahkan ketika ia tergabung bersama FFfM saat membawa bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan untuk warga .

FFfM digagas oleh Klub 1 Putra Malaysia dan Majelis Perundingan Pertubuhan Islam Malaysia (MAPIM), dengan 31 LSM dari 11 negara, diikuti 185 orang relawan terdiri dari aktivis, tenaga kesehatan, jurnalis, keamanan, dan awak kapal, membawa sejumlah 2.300 ton bantuan kemanusiaan.

“FFfM menghabiskan waktu perjalanan pulang pergi Malaysia-Myanmar-Bangladesh-Malaysia selama kurang lebih satu bulan di atas kapal Nautical Alya, dengan target bantuan bisa mencapai lokasi etnis muslim di Rohingya Myanmar yang ditindas oleh militer Myanmar selama bertahun-tahun,” ujar alumnis Pesantren Al-Fatah Muhajirun, Lampung itu, di hadapan 42 peserta training jurnalistik.

Berlayar mulai 3 Februari 2017, kapal memasuki perairan Myanmar pada 7 Februari. Saat itu Nurhadis menuturkan usai shalat Subuh di deck 5 kapal, ia menuju kafetaria di deck 2 untuk sekedar ngopi sambil membaca buku yang dipinjamkan oleh seniornya sebagai teman selama perjalanan misi kemanusiaan tersebut.

Menjelang pukul 09.00 pagi waktu setempat, ia menuju deck 4, di kamarnya untuk istirahat. “Saya agak ngantuk, masuk kamar kemudian tidur, tapi tak lama berselang terdengar pengumuman di speaker yang menggema di seluruh deck kapal,” ceritanya.

“Tidak ada yang keluar dan mengambil gambar, jangan memprovokasi pihak militer Myanmar, semuanya masuk, tutup jendela,” ujarnya bercerita setengah berapi-api.

Saat itu, lanjutnya, dia turun dari atas ranjang menuju kamar mandi. “Yang terfikir saat itu, saya akan berhadap-hadapan dengan militer Myanmar yang kejam menyiksa saudara saya etnis Muslim Rohingya, bisa saja mereka menggunakan cara-cara militer menghadapi relawan, nyawa jadi taruhan, kalaupun mati, berharap syahid,” lanjutnya.

Usai mandi, ganti pakaian, Hadis, begitu disapa, mengambil peralatan liputan berupa kamera. Namun ada larangan dari pimpinan misi kemanusian, Datok Seri Abdul Aziz Abdul Rahim agar seluruh relawan tidak ada yang menampakkan diri keluar deck supaya tidak memprovokasi militer Myanmar. Namun hal ini tidak menyurutkan dirinya untuk bisa mendapatkan gambar, dan video penampakan kapal perang Myanmar tersebut.

“Sejak awal menjadi wartawan, saya diajarkan untuk tidak mudah menyerah dan pasrah saat mencari berita, maka yang terpikir saat itu adalah bagaimana bisa dapat gambar meskipun sudah dilarang, maka saya cari celah jendela terbuka, tangan kiri pegang kamera SLR untuk photo, tangan kanan pegang HP untuk video,” kisahnya.

Namun, saat itu lanjut Hadis, pihak keamanan kapal berteriak memperingatkannya untuk tidak mengambil gambar, khawatir militer Myanmar terprovokasi dan melepaskan tembakan ke arah kapal tersebut.

“Saya jawab iya, tapi tangan tetap dalam kondisi mengambil gambar dan merekam video, saya pikir dari jarak sekitar 10 meter berjalan, ada jeda waktu bagi saya untuk tetap merekam sebelum pihak keamanan kapal menutup dengan keras jendela kapal di deck 2 kafetaria tersebut,” katanya.

Usai mengambil gambar, dia segera membuat berita dan mengirimkannya ke redaksi di Jakarta. Setelah berita publish, tiba-tiba sinyal internet hilang, dugaan Hadis sinyal diblok oleh militer Myanmar melalui kapal perangnya.

Situasi di atas kapal sangat tegang, wajar saja, karena sejak awal sebelum keberangkatan kapal ini, pemerintah Myanmar tidak juga memberikan izin kepada aktivis untuk masuk ke Myanmar menggunakan kapal milik Petronas Malaysia ini.

“Yang terbayang saat itu, 7 kapal militer Myanmar akan menyerang kapal kami sebagaimana Israel menyerang kapal Flotilla, Mavi Marmara pada 2010 yang menimbulkan 9 orang aktivis syahid saat itu, itulah kenapa saya bersiap, sampai harus mandi besar dulu,” katanya.

Pimpinan misi, Datok Seri Aziz mencoba menghubungi Menteri Pertahanan Malaysia saat itu, Dato’ Seri Hishammuddin Tun Hussein namun tidak juga tersambung. Sampai akhirnya menghubungi istrinya dan tersambung. Menteri Pertahanan Malaysia meyakinkan relawan bahwa militer Myanmar tidak akan berani mengambil tindakan militer.

Namun situasi tegang belum juga mereda, karena dua kapal kecil militer Myanmar semakin mendekat ke kapal. “Melalui kontak radio, pihak Militer Myanmar mengatakan akan naik ke kapal kami dan bertemu langsung dengan pimpinan misi kemanusiaan, Datuk Seri Aziz,” katanya.

Sejumlah 7 orang militer, tampak diantaranya 3 orang perwira dikawal masuk ke ruangan pertemuan. Sejumlah aktivis termasuk Hadis bersiaga dan bertanya-tanya di dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya.

Usai pertemuan tertutup di ruangan yang hanya dihadiri pimpinan misi bersama beberapa pihak militer. Datuk Seri Aziz keluar bersama pihak militer Myanmar dan membuat statemen bahwa kapal dalam kondisi aman.

“Alhamdulillah semua aman, Militer Myanmar hanya ingin memastikan dan akan mengawal kapal kita sampai ke Pelabuhan Thilawa, Yangon, Myanmar, untuk kemudian menurunkan bantuan makanan dan obat-obatan,” katanya.

Di sini, Hadis memotivasi peserta diklat jurnalistik ketika menjadi seorang wartawan untuk tidak mudah menyerah dan pasrah dengan situasi. “Wartawan dilatih untuk bagaimanapun caranya berita harus didapat, bagi kita sikap tidak mudah menyerah itu sangat penting dimiliki,” tegasnya.

Tidak sampai disitu, usai menurunkan bantuan di Myanmar, sebagian bantuan menurut Hadis direncanakan akan diturunkan di Bangladesh. Bangladesh merupakan negara tetangga Myanmar yang paling banyak menampung pengungsi asal Rohingya.

“Kami melanjutkan perjalanan kembali, sampai di Pelabuhan Chittagong pada 14 Februari, kami berencana akan menurunkan bantuan di pelabuhan dan meminta izin untuk menyampaikan langsung bantuan ke beberapa titik kemp pengungsian di Bangladesh, namun pemerintah Bangladesh tidak memberi izin,” ujarnya.

Itupun menurut Hadis, hanya 30 orang yang diizinkan turun dari kapal untuk serah terima bantuan di kemp pengungsian dan kesemuanya adalah relawan asal Malaysia sebagai leader misi kemanusian  bersama wartawan dan hanya wartawan Malaysia yang mendapatkan izin, yang lain tidak diberikan izin.

“Sekali lagi saya tidak menyerah, meski beberapa wartawan lain terlihat lesu karena tidak diizinkan turun meliput serah terima bantuan, saya mencoba melihat celah dan peluang untuk juga bisa ikut turun dari kapal,” lanjutnya.

Hadis kemudian menyelinap diantara 30 orang relawan Malaysia itu dan berhasil megelabuhi skrining pihak militer Bangladesh, sehingga menjadi satu-satunya wartawan dari luar Malaysia yang turun dan meliput serah terima bantuan tersebut.

Nurhadis menutup ceritanya dengan menekankan, menjadi seorang wartawan mengajarkannya untuk mempunyai jiwa yang tidak menyerah dan pasrah terhadap situasi. Baginya, pelajaran tidak mudah menyerah dan pasrah terhadap situasi ini dia dapatkan dari guru jurnalistik pertamanya yaitu Muhyiddin Hamidy (alm), pendiri Kantor Berita MINA, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA. (A/bad/B03/RS2).

Mi’raj News Agency (MINA)