Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

OKI Sambut Resolusi PBB Mengutuk Pelanggaran HAM atas Muslim Rohingya di Myanmar

Rana Setiawan - Selasa, 31 Desember 2019 - 20:58 WIB

Selasa, 31 Desember 2019 - 20:58 WIB

2 Views

Jeddah, MINA – Sekretariat Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Senin (30/12), menyambut baik resolusi Majelis Umum PBB yang mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap warga rohingya/">Muslim Rohingya dan kelompok minoritas lainnya di Myanmar.

Bentuk-bentuk pelanggaran HAM itu, menurut PBB, termasuk penangkapan orang secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan serta tewas saat berada dalam tahanan.

PBB yang beranggotakan 193 negara itu memberikan suara 134 yang mendukung Resolusi, 9 yang menolak, serta 28 negara abstain.

Resolusi yang disahkan pada Jumat (27/12) itu mengikuti laporan Misi Pencari Fakta Internasional Independen (FFM) PBB di Myanmar pada 22 Oktober 2019.

Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan

Isi Resolusi ini mendesak Pemerintah Myanmar untuk segera mengambil langkah-langkah dalam memerangi ujaran kebencian terhadap orang Rohingya dan minoritas lainnya di Rakhine, Kachin dan Shan.

Laporan tersebut menyatakan bahwa Myanmar gagal dalam kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida untuk mencegah, menyelidiki dan memberlakukan undang-undang yang efektif yang mengkriminalisasi dan menghukum genosida.

Meskipun merupakan produk PBB, namun Resolusi Majelis Umum itu tidak mengikat secara hukum.

Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha selama ini menganggap orang Rohingya sebagai “orang Bengali” dari Bangladesh. Padahal keluarga mereka itu umumnya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar

Hampir semua orang Rohingya di Myanmar ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982, sehingga menjadi tak berkewarganegaraan (stateless). Kebebasan mereka untuk bergerak dan hak-hak dasar lainnya juga sangat dibatasi.

Krisis Rohingya yang telah lama mencapai puncaknya pada 25 Agustus 2017. Saat itu aparat militer Myanmar melancarkan “kampanye pembersihan” di Rakhine dengan dalih membalas serangan kelompok pemberontak Rohingya.

Aksi tersebut menyebabkan eksodus massal orang Rohingya ke Bangladesh. Aparat keamanan Myanmar dituduh melakukan perkosaan massal, pembunuhan serta pembumihangusan ribuan rumah orang Rohingya.

Perlu diingat bahwa Republik Gambia, sebagai Ketua Komite Menteri Ad Hoc OKI tentang Pertanggungjawaban atas Pelanggaran HAM terhadap Rohingya, telah mengajukan kasus hukum di Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap Myanmar karena telah melanggar kewajiban berdasarkan Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida.

Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam

Pada November 2019, negara Muslim di Afrika, Gambia, menuntut Myanmar ke di ICJ di Den Haag dengan tuduhan genosida.

Gambia menuduh Myanmar melakukan pembunuhan, kerusakan fisik dan mental, menimbulkan kondisi yang menyebabkan kehancuran fisik, memaksakan tindakan mencegah kelahiran, dan transfer paksa terhadap minoritas.

Tindakan pihak berwernang Myanmar, menurut gugatan itu, merupakan genosida karena dimaksudkan untuk menghancurkan penduduk Rohingya secara keseluruhan atau sebagian.

Gambia dan Myanmar merupakan negara penandatangan Konvensi Genosida 1948.

Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan

Konvensi itu tidak hanya melarang suatu negara melakukan genosida tapi juga memaksa semua negara penandatangan untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi datang sendiri ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag untuk membela negaranya dari segala tuduhan.

Dia berdalih bahwa orang Rohingya telah terperangkap dalam konflik internal bersenjata.

Sementara itu Dubes Myanmar untuk PBB Hau Do Suan menyebut Resolusi PBB sebagai standar ganda penerapan norma-norma HAM dirancang untuk memberi tekanan politik pada Myanmar.

Baca Juga: Polisi Mulai Selidiki Presiden Korea Selatan terkait ‘Pemberontakan’

Dia menilai Resolusi ini tidak berusaha menemukan solusi bagi situasi kompleks di Rakhine serta tidak mengakui upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini.

“Resolusi akan menabur benih ketidakpercayaan dan menciptakan polarisasi dalam masyarakat di wilayah ini,” kata Hau Do Suan.

Dalam sebuah pernyataan pada Ahad (29/12), OKI menegaskan kembali seruannya pada komunitas internasional untuk memperluas dukungannya pada upaya hukum untuk keadilan dan pertanggungjawaban bagi orang-orang Rohingya.

OKI juga meminta untuk melipatgandakan semua upaya diplomatik dan politik guna mengakhiri kekerasan dan penganiayaan terhadap warga minoritas Rohingya.(T/R01/P1)

Baca Juga: Korut Tegaskan Dukungan kepada Rusia dalam Menghadapi Ukraina

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Menlu Iran: Asia Barat Mustahil Damai Tanpa Diakhirinya Pendudukan Zionis

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Indonesia
Internasional
Wapres RI Ma'ruf Aamiin menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-44 dan ke-45 di Vientiane, Laos, Rabu (9/10/2024) (Foto: Setwapres RI)
Asia
Asia
Internasional