SYUHADA: DARI BESI TUA SAMPAI MODAL PALU MENUJU PALESTINA

Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ketika ujian Semester 2 Aliyah, muda memilih pergi, hanya karena alasan “pokoknya tidak mau ikut ujian”. Maka putuslah pendidikan resminya.

Dalam perjalanannya, pemuda Desa Mada, Kec. Kedondong, Selatan itu, menjalani berbagai profesi, dari mulai menjadi pedagang mainan anak-anak hingga mengajar di sekolah di desanya yang kekurangan pengajar. Bahkan ketika masih Madrasah Tsanawiyah (MTs), Syuhada pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah di SD tempatnya mengajar, sehingga mendapat pujian dari Camat. Ya, hanya sekedar pujian.

Dua Hari Mengayuh Sepeda

Setelah menikah, meski memiliki lahan untuk bertani, tapi pria bernama lengkap Syuhada Busyro Tosim tersebut memilih usaha rongsokan besi tua. Dengan modal Rp 10.000,- hasil hutang, usaha itu pun berjalan.

Dalam usaha itu, Syuhada pernah memilih mengayuh sepeda dari Tangerang menyeberang Selat Sunda sampai ke Lampung Tengah, selama dua hari perjalanan. Usaha rongsokan berjalan hingga tahun 1995.

Sehubungan mertua Syuhada bergerak di bidang medis, dia berinisiatif kursus di bidang medis. Dia memilih kursus kilat, dari 3 tahun minta yang 6 bulan, itu pun minta yang pertemuan sekali dalam seminggu. Setelah lulus, SK dari Yayasan turun.

Sejak bermodal SK pada tahun 1994 itu, Syuhada mencoba memakai keterampilan medisnya, ternyata berjalan.

Di desa, saat itu medis masih sangat diperlukan. Dokter di desa-desa masih sangat minim. Meski bukan dokter, tapi Syuhada berlaku seperti dokter dengan mengobati orang sakit, mengkhitan, operasi-operasi kecil dan sebagainya.

“Kemudian saya berpikir, masa saya memegang bidang medis sambil memegang usaha rongsokan? Sepertinya tidak layak, maka saya berhenti dari rongsokan,” kata Syuhada.

Pria kelahiran 1965 itu pun total terjun di medis.

Pada 1996, Syuhada pindah ke desa lain di Lampung Tengah. Kemudian di sana dia diminta untuk mengajar di SD oleh teman. Karena ketika di Tsanawiyah pernah menjadi guru honor di SD, jadi dunia mengajar tidak asing lagi.

Setelah satu tahun mengajar di SD, Syuhada ditarik lagi mengajar di sekolah SMP hingga tiga tahun. Di masa mengajar itu, medis masih berjalan tapi tidak full.

Karena anak sudah mulai besar, Syuhada ingin memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Al-Fatah Muhajirun. Namun apalah daya, dananya tidak kuat. Penghasilan dari mengajar per bulan tidak cukup, itu pun terkadang hanya catatan. Akhirnya Syuhada batal memasukkan anaknya ke pondok pesantren.

“Kemudian saya memilih keluar dari mengajar. Saya coba dagang dengan membuka lapak chiki (snack) di pasar, mulai tahun 2000,” kata Syuhada.

Dijebak

Ketika usaha dagang Syuhada sudah cukup lama berjalan dan anaknya sudah masuk sekolah Aliyah, suatu waktu dia mendapat panggilan pasien sebagaimana biasanya.

“Pasien saya periksa, darahnya lemah, waktu itu mestinya pasien saya suntik tapi tidak saya suntik. Cuma saya beri obat. Sebelum proses pengobatan selesai, tiba-tiba ada seorang polisi masuk,” cerita Syuhada. “Saya simpulkan bahwa saya dijebak oleh pihak yang tidak senang dengan saya. Saya menduga, dokter dan bidan di daerah itu tidak suka ada wirausaha bergerak di bidang medis juga.”

Setelah polisi memeriksa Syuhada, di tempat alat medis Syuhada ditemukan dua buah spet (alat suntik). Menurut aturannya, selain dokter dan bidan resmi, seseorang dilarang memasukkan obat ke dalam tubuh manusia melalui spet.

Syuhada mengaku memang dirinya banyak melanggar dengan menggunakan spet, sama seperti mantri-mantri yang biasa, tidak boleh menggunakan alat itu.

Syuhada diproses dari polsek hingga polres. Dia tidak berpikir panjang saat itu dengan mengatakan, “Jika memang tidak diperbolehkan, saya berhenti  saja dalam bidang ini.”

SK praktek  medis Syuhada pun dicabut dan dia membuat pernyataan berhenti dari kegiatan medis.

Setelah proses di polisi, Syuhada pergi ke Jakarta. Sementara dagangan di pasar tidak ada yang mengurus. Akhirnya lapak itu diputuskan untuk dilelang. Dagang pun akhirnya berhenti.

Pura-pura Pintar Nukang

Pulang dari Jakarta Syuhada menganggur.

“Ada teman jualan martabak, akhirnya saya belajar martabak dan jualan martabak. Saya jualan di tontonan. Jadi kerja saya adalah mencari tontonan, seperti ada acara organ tunggal, acara pesta-pesta di lapangan, dan lain-lain,” ujar Syuhada.

Setelah selama dua tahun dagang martabak dan langlang buana memburu tontonan sebagai tempat dagang, Syuhada kemudian beralih ke dunia bangunan.

“Menjadi tukang di bangunan, saya belum memiliki keahlian sama sekali. Bahkan ngenekin tukang pun belum pernah. Saya pura-pura pintar saat itu. Modal saya cuma sendok, palu dan siku,” aku Syuhada.

Pada suatu ketika Syuhada disuruh jadi mandor, maka dia pun kelabakan. Namun Syuhada tidak menyerah dengan situasi, caranya dia bertanya kepada orang yang bisa hingga profesinya berjalan terus.

“Saya tidak mau tinggal diam. Prinsip saya saat itu, saya tidak mau dibangunan selama saya dibayar harian.”

Maka Syuhada mendekati mandor dan kontraktor yang bisa memberinya pekerjaan borongan. Setelah satu tahun harian, berikutnya dia beralih jadi pemborong. Di borongan pun dia tidak full, hanya mengambil item tertentu, yaitu plafon, instalasi, dan kamar mandi.

Iseng Daftar ke

Syuhada mulai menetapi Jamaah Muslimin (Hizbullah), pada tahun 1996. Jamaah Muslimin (Hizbullah) adalah sebagian Muslimin yang bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam dengan menganut sistem Khilafah yang mengikuti contoh kenabian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasllam.

Pada 2012 ada acara Taklim Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) di Cileungsi Bogor. Syuhada berangkat hadir dengan meninggalkan sementara pekerjaan bangunannya di Lampung.

Setelah selesai acara taklim, ada pengumuman peluang untuk mendaftar ke Palestina.

“Waktu itu saya iseng saja, saya tidak ada pengetahuan sama sekali tentang Palestina. Hanya dari dulu saya memiliki keinginan di hati pergi ke luar negeri. Ketika melihat formulir, ternyata yang dibutuhkan ada pada diri saya. Saya mengisi formulir untuk bidang listrik dan plafon. Setelah sudah, saya kembali pulang ke Lampung,” ujar Syuhada.

Setelah itu Syuhada mengaku bersikap cuek, tidak terlalu memikirkan persiapan bahwa dirinya sudah mendaftar untuk ke Palestina. Sepulangnya ke  Lampung, karena masih ada kerjaan yang ditinggal sebelumnya, dia pun kembali menyelesaikan pekerjaan bangunan.

Setelah beberapa minggu, Syuhada ditelepon seseorang bahwa dia diminta ke Cileungsi lagi untuk seleksi berangkat ke Palestina.

Di Cileungsi, tepatnya di Pondok Pesantren Al-Fatah Pusat, Syuhada dan calon relawan lainnya ditegaskan untuk mengurus paspor.

“Bikin paspor juga saya cuek-cuek saja, karena memang pada saat itu, hati saya belum sampai ke Palestina. Dengan alasan saya belum punya uang, saya tenang-tenang saja tidak mengurus paspor,” kata Syuhada.

Waktu dan hari berlalu, masa keberangkatan pun kian dekat. Ir. Abu Fikri yang mengkoordinir para Relawan Al-Fatah, sebutan bagi para relawan, mendesak Syuhada agar segera membuat paspor.

“Demi untuk keantusiasannya, satu-satunya jalan untuk ke Palestina adalah membuat paspor,” kata Abu Fikri melalui telepon.

Syuhada pun jadi bingung. Dia berpikir, untuk membuat paspor harus ada KTP, padahal dalam beberapa tahun terakhir Syuhada tidak memiliki KTP dengan alasan-alasan tertentu, tapi SIM ada.

Saat yang bersamaan, ada juga desakan dari Pak Hery Budianto, tokoh Jamaah Muslimin (Hizbullah) asal Lampung.

“Saya sampaikan alasannya ke Pak Hery. Untuk buat mendesak pun tidak bisa, karena di desa-desa, masyarakat sedang mengurus KTP Elektrik,” kilah Syuhada. (P09/R2).

(Bersambung….)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Comments: 0