Jakarta, 23 Rajab 1435/22 Mei 2014 (MINA) – Anggota Panja Halal DPR Raihan Iskandar mengharapkan, Rancangan Undang-undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) dapat disahkan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2009-2014.
Dia mengungkapkan, sebenarnya pengesahan RUU JPH itu tinggal menunggu keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena masalahnya ada di tangan eksekutif.
“Pengesahan RUU JPH ini kuncinya ada di presiden. Tinggal diputuskan. Permasalahannya ada di eksekutif,” kata Raihan dalam diskusi publik “Mencari Presiden yang Pro UU Jaminan Produk Halal” di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, pengesahan RUU JPH ini masih tersendat karena ada pertentangan di eksekutif.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
“Jika pembahasan RUU yang bertentangan di legislatif maka bisa diselesaikan dengan voting. Namun jika pertentangan ada di eksekutif, Presiden lah yang harus turun tangan,” tegas dia.
Menurut Raihan, RUU JPH telah dibahas oleh DPR dengan pemerintah pada periode anggota DPR tahun 2004-2009 yang terpaksa diberhentikan di penghujung masa jabatan anggota DPR Periode 2004-2009.
Pada 13 Desember 2011 lalu, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui Draf RUU JPH menjadi RUU inisiatif DPR.
Pembahasan Tingkat I RUU JPH dimulai pada 8 Maret 2012 antara DPR dan pemerintah. Namun, hingga kini RUU JPH yang sudah dibahas belum menunjukkan tanda-tanda akan disahkan menjadi UU.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
“Terjadi Deadlock hingga akhirnya kami mendesak Presiden SBY untuk mengambil kebijakan terkait kelanjutan RUU JPH ini,” ujar Raihan.
Dia juga menjelaskan titik buntu pembahasan RUU JPH terjadi pada badan/lembaga yang berperan dalam melakukan pemeriksaan produk halal dan mengeluarkan sertifikasi halal.
Perdebatan eksekutif dengan legislatif juga terjadi pada mekanisme dan konsekuensi sertifikat halal apakah ditandatangani oleh pimpinan badan/lembaga dan MUI atau cukup salah satu fihak.
Belum lagi posisi lembaga sertifikasi halal di bawah menteri atau presiden serta sifat pengaturannya voluntary (sukarela) atau mandatory (wajib).
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Indonesia Pusat Halal Dunia
Sementara, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Maruf Amin, mengatakan, pihaknya menginginkan agar sertifikasi halal itu wajib karena bertujuan untuk melindungi penduduk Muslim dari produk-roduk non halal. Dia juga menyatakan, isu sertifikasi halal sudah menjadi isu internasional bukan lagi nasional.
Menurut Maruf, fihaknya menegaskan, jika RUU JPH disahkan hanya menginginkan kewenangan audit, fatwa, dan sertifikasi.
“Indonesia sudah memimpin produk halal dunia, namun ironisnya tidak ada UU-nya,” tegas Ma’ruf.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
MUI melalui Lembaga pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) telah melakukan sertifikasi halal selama lebih dari 25 tahun dan membawahi lembaga sertifikasi di 45 negara juga telah menjadi pemimpin Dewan Pangan Halal Dunia (World Halal Food Council/WHFC).
“Sertifikasi halal MUI sudah diakui dunia. Indonesia sudah menjadi pusat halal dunia,” tegas Maruf.
Abdul Nasier, Ketua Pokja Halal Kadin Timur Tengah, mengatakan, fihaknya tengah mendorong fungsi peranan LPPOM MUI sebagai salah satu lembaga resmi pemerintah Indonesia untuk memberikan sertifikasi halal bagi eksportir Indonesia ke Timur Tengah.
Fihaknya juga mendorong terjadinya sinergi antar lembaga pemerintah dalam rangka meningkatkan ekspor produk halal ke negara-negara Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
Nasier juga menyatakan sertifikasi halal sangat penting mengingat prospek yang sangat besar dalam peningkatan perekonomian global, khusunya perekonomian Islam.
Dia mengungkapkan, Populasi Muslim dunia 1,8 milyar jiwa pada 2010, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. “Indonesia, Pakistan, India, dan Bangladesh menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar,” ujar Nasier.
Hal itu juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang relatif signifikan di negara-negara Muslim, dengan rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita sekitar 6,8 %.
“Pasar produk halal dunia diperkirakan mencapai US$ 2,3 triliun, di antaranya yang terbesar adalah pasar negara-negara Teluk,” jelasnya. (L/P02/P04/P015)
Baca Juga: LPPOM Tegaskan Sertifikasi Halal Bagi Retailer
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)