Jakarta, MINA – Tim peninjau yang ditunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninjau kembali komitmen Indonesia dalam mengimplementasi Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC).
Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada 2006 melalui Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2006. Ratifikasi ini mewajibkan Indonesia mengimplementasikan pasal-pasal UNCAC, seperti pemidanaan dan penegakan hukum, pencegahan korupsi, kerja sama internasional, dan pemilihan aset.
Peninjauan komitmen Indonesia ini merupakan salah satu mekanisme untuk memastikan implementasi UNCAC oleh setiap negara yang menjadi pihak konvensi tersebut.
Tahun ini adalah kali kedua Indonesia di-review terkait pencegahan dan pemulihan aset, meliputi pencegahan pencucian uang, kerja sama internasional untuk tujuan perampasan, unit intelijen keuangan, dan deteksi transfer hasil-hasil kejahatan.
Baca Juga: Jawa Tengah Raih Penghargaan Kinerja Pemerintah Daerah 2024 untuk Pelayanan Publik
Penilaian sebelumnya dilakukan pada kurun 2010-2015 di bidang pemidanaan dan penegakan hukum dan yang berkaitan dengan kerja sama internasional.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengatakan ada 32 rekomendasi yang disampaikan UNCAC pada review sebelumnya untuk memperbaiki sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Laode mengakui hingga saat ini baru delapan dari 32 rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti atau terlaksana. Sisanya menitikberatkan pada aspek regulasi seperti UU Tipikor, KUHP dan KUHAP. KPK melihat kendalanya justru datang dari DPR.
“Drafnya sudah ada di DPR. Cuma enggak masuk prolegnas. Jadi itu enggak dijadikan prioritas, padahal itu seharusnya prioritas,” kata Laode di Hotel Fourth Points, Jakarta Pusat, Senin (9/10), seperti dilaporkan MINA.
Baca Juga: Cuaca Jabodetabek Berawan Jumat Ini, Hujan Sebagian Wilayah
Indonesia hingga saat ini baru menyelesaikan delapan rekomendasi dari total 32 rekomendasi dari review periode sebelumnya. Mayoritas rekomendasi yang belum terlaksana tersebut berkaitan dengan regulasi atau Undang-Undang.
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemeterian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard, mengatakan kerja sama internasional merupakan salah satu elemen penting dalam kampanye pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Tidak satu negara pun bisa bekerja sendiri, karena sifat dari korupsi adalah borderless. Ketika aset tindak pidana korupsi sudah ke mana-mana maka upaya rekoveri pun akan lintas batas,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Kemenlu, ia melanjutkan, berkomitmen untuk menyelesaikan masalah kerja sama internasional dari segi substansi, semisal pembuatan Mutual Legal Assistance (MLA).
Baca Juga: Bedah Berita MINA, Peralihan Kekuasaan di Suriah, Apa pengaruhnya bagi Palestina?
“Semakin banyak MLA semakin banyak kita punya alat untuk mendapatkan bantuan dari negara lain dalam upaya pemberantasan korupsi dan pemulihan aset,” kata Febrian.
Tanja Santucci, perwakilan PBB, mengatakan sejak Indonesia meratifikasi UNCAC pada 2006, pemerintah telah berkomitmen melaksanakan syarat-syarat prinsipil dari konvensi tersebut dan aktif berpartisipasi dalam mekanisme internasional terkait eradikasi dan pencegahan korupsi.
Director (Anti-Corruption) Commision of Human Rights and Administrative Justice Ghana, Charles Adombire Ayamdoo, mengatakan review bukan untuk mencari-cari kesalahan negara yang di-review.
“Tetapi untuk berbagi informasi dan pelajaran-pelajaran penting dan bertukar pengalaman, yang pada akhirnya akan memberkan kontribusi pada upaya global memerangi korupsi,” ujarnya. (L/R11/P1)
Baca Juga: Jurnalis Antara Sampaikan Prospek Pembebasan Palestina di Tengah Konflik di Suriah
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan