Pekerja Anak di Irak Jadi Tulang Punggung Keluarga

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

“Aku punya teman.”

Itulah kata Abdul Karim, anak berumur delapan tahun. Dengan sejumlah minuman ringan di tangannya ia berdiri di kamp Ameriat, Fallujah, Irak.

“Tapi saya tidak bisa bermain bersama mereka karena saya harus bekerja untuk menghidupi keluarga saya,” katanya.

Karim adalah satu dari lebih dari setengah juta anak Irak yang terpaksa meninggalkan sekolah dan bekerja di saat negaranya tetap bergelut dalam krisis dan perang.

Abdul Karim harus menyelamatkan diri dari kampung halamannya di Fallujah setelah pasukan Irak melancarkan operasi militer untuk merebut kembali kota strategis itu dari kelompok Islamic State (ISIS/Daesh) pada Mei lalu.

Kampanye pengeboman telah membunuh ayahnya, memaksanya mencari pekerjaan.

Di kamp Ameriat yang bangun untuk menampung rakyat Irak yang terlantar, Karim berjualan minuman ringan dan air.

“Saya berharap bisa kembali ke sekolah, tapi sekarang kami tidak memiliki apa-apa. Kami telah kehilangan segalanya, dan saya harus berada di sini untuk memberikan sesuatu kepada keluarga saya,” katanya saat ditemui wartawan Al Jazeera.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Juni 2016 oleh lembaga anak-anak PBB, UNICEF, tercatat bahwa kekerasan dan hilangnya penghasilan, memaksa banyak orang tua di Irak mengirim anak-anaknya untuk bekerja. Laporan tersebut memperkirakan bahwa lebih dari 575.000 anak Irak telah dimasukkan untuk bekerja, dua kali lipat jumlahnya dari tahun 1990.

“Hari ini, Irak adalah salah satu tempat paling berbahaya bagi anak-anak untuk hidup, bukan negara di mana Anda ingin menjadi seorang anak,” kata Maulid Warfa, seorang petugas UNICEF.

Efek dari konflik di Irak terhadap anak-anak adalah jelas. Rata-rata satu dari lima sekolah di Irak telah ditutup, sementara lebih dari tiga juta anak berisiko kematian, kekerasan seksual, penculikan dan direkrut menjadi anggota kelompok-kelompok bersenjata.

“Anak-anak Irak yang terkena bahaya dari usia yang sangat dini (7-8 tahun),” kata Warfa. “Mereka bekerja di pabrik-pabrik kimia atau di tempat pengumpulan sampah tanpa jenis perlindungan. Mereka bekerja selama berjam-jam, dan Anda dapat melihat mereka kelelahan. Ini menghancurkan masa depan mereka, karena semua yang mereka inginkan adalah bermain, pergi ke sekolah, dicintai dan dilindungi oleh keluarga mereka. Kita masih tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka,” ujar Warfa.

Abdul Karim. (Foto: Al Jazeera)
Abdul Karim. (Foto: Al Jazeera)

Seoang ibu dari tiga anak Irak bernama Um Chehab mengungkapkan bahwa dia telah putus asa sejak suaminya hilang di Fallujah tahun lalu.

“Saya tidak tahu apakah dia dibunuh. Saya tidak mendapat penjelasan,” katanya. “Yang saya tahu adalah dia meninggalkan saya dengan tiga anak.”

Anak sulungnya yang bernama Chehab (11) bekerja sebagai penjual sayuran di jalan. pendapatan sehari-harinya bervariasi, dari 2.000 sampai 3.000 dinar Irak ($ 1,70 – $ 2,50). Ia adalah satu-satunya tulang punggung keluarganya.

“Kami, sebagai sebuah keluarga, kehilangan segalanya di Fallujah. Kami kehilangan rumah kami, tanah kami, kami kehilangan segalanya, anak saya harus bekerja sekarang untuk menguatkan kami,” kata Um Chehab.

Pengamat mengatakan, pekerja anak di Irak sangat sulit dikoordinir tanpa adanya kerjasama antara masyarakat, instansi pemerintah dan organisasi kemanusiaan.

“Kami berusaha untuk meningkatkan kesadaran di kalangan keluarga tentang pentingnya menempatkan anak-anak kembali ke sekolah, tapi pada saat yang sama kami harus bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu mereka,” kata Warfa. “Hal ini sangat menantang, karena sumber daya sedikit, tapi prioritas banyak.”

Raad Aldahlaki, anggota komite parlemen tentang hak asasi manusia di Irak mencatat bahwa pemerintah pusat memiliki tanggung jawab yang besar.

Dia mengatakan, penurunan yang signifikan dalam pendidikan dan bantuan lainnya dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekstremisme di negara itu.

Menteri Tenaga Kerja Irak Mohammed Shayaa Al-Sudani mengakui peningkatan dramatis jumlah pekerja anak di tengah konflik yang sedang berlangsung di negara itu.

Ia menekankan bahwa pemerintah telah “bekerja sama” dengan organisasi internasional dalam upaya untuk mengintegrasikan kembali anak yang bekerja kembali ke sekolah. Pemerintah juga mengesahkan undang-undang yang membatasi usia di tempat-tempat yang secara hukum anak dapat bekerja.

Bushra Amine, seorang pekerja bantuan LSM Bo-Peshawa yang berbasis Erbil mengatakan, banyak yang harus dilakukan.

“Seluruh generasi (Irak) telah ditinggalkan. Banyak dari mereka yang telah direkrut sebagai pembunuh. Mereka diculik oleh kelompok-kelompok bersenjata,” katanya. “Kami yang menciptakan penjahat ini. Kami tidak bisa menyalahkan mereka. Ini adalah hasil karena meninggalkan mereka di jalanan tanpa bantuan apa pun, memaksa mereka untuk Imemilih antara) mengumpulkan sampah atau melibatkan diri dalam siklus kekerasan tak berujung.” (P001/P4)

Sumber: tulisan Salam Khoder di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)