Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Universitas Birzeit (BZU) adalah sebuah universitas publik non-pemerintah yang terletak di Birzeit, dekat Ramallah, Tepi Barat, Palestina. Didirikan pada 1934 yang awalnya sebagai Sekolah Dasar untuk anak perempuan, kemudian Birzeit menjadi universitas pada 1975.
Universitas Birzeit termasuk yang tertinggi di antara universitas Palestina lainnya, menawarkan program sarjana di bidang teknologi informasi, teknik, sains, kebijakan sosial, keperawatan dan pascasarjana ilmu kesehatan, ekonomi, dan manajemen.
Pada Ahad, tepatnya 1 Mei 2016, ratusan perempuan melambaikan bendera Hamas, membagikan permen dan meneriakkan slogan-slogan sepanjang jalan-jalan di desa Birzeit. Aksi mereka itu adalah merayakan kemenangan kelompok blok-Hamas dalam pemilihan Dewan Mahasiswa di Universitas Birzeit untuk dua tahun berturut-turut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
“Kami berterima kasih kepada mahasiswa atas kepercayaan mereka kepada kami, dan kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk membantu mereka melalui tahun akademik berikutnya,” kata Jihad Arman, seorang juru bicara untuk kelompok mahasiswa Hamas.
Terkait hasil pemilihan Dewan Mahasiswa itu, kepemimpinan Hamas di Gaza merilis sebuah pernyataan yang mengatakan kemenangan itu menunjukkan dukungan rakyat untuk pemberontakan Yerusalem dan kesetiaan mereka kepada jalan perlawanan.
Pemilihan Dewan Mahasiswa di Birzeit, universitas tertua Palestina, secara luas dianggap sebagai barometer bagi politik nasional negara itu, mengingat sudah satu dekade lamanya sejak pemilihan nasional terakhir yang diadakan pada 2006.
Dalam penilaian Ahad ini, kelompok mahasiswa blok-Hamas memenangkan 25 dari 51 kursi yang tersedia, mengungguli blok-Fatah yang memenangkan 21 kursi. Sisa kursi diperoleh oleh Front Populer untuk Pembebasan Palestina.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Para pengamat mengatakan, kemenangan pengulangan kelompok blok-Hamas menunjukkan ketidakpuasan publik yang berkelanjutan terhadap Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah (PA).
“Pemilihan umum terakhir terjadi lebih dari satu dekade lalu, pemilihan mahasiswa mengambil makna tambahan sebagai satu-satunya manifestasi yang dilihat dari partisipasi demokratis,” kata Grant Rumley, seorang peneliti politik Palestina di lembaga cendekiawan Yayasan Pertahanan Demokrasi di Washington.
Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah melihat Otoritas Palestina semakin otokratis di bawah kepemimpinan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang menekan wartawan, serikat buruh, guru dan rival politiknya.
“Pemilihan di universitas terlihat menjadi salah satu benteng terakhir. Kemenangan kedua berturut-turut blok-Hamas di universitas Palestina tertua itu mungkin lebih lanjut menghalangi pejabat PA dan Fatah untuk mempersiapkan pemilu di masa depan yang bisa diduga hasilnya,” kata Rumley.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Meski menang kembali, tapi blok-Hamas kehilangan satu kursi dibandingkan setahun lalu. Sementara kelompok blok-Fatah menambah dua, mempersempit kesenjangan hasil.
Seorang pejabat Uni Eropa yang memiliki hubungan dekat dengan pembuat kebijakan Palestina, berbicara kepada Al Jazeera pada kondisi anonimitas. Ia mengatakan, jika kelompok blok-Fatah bisa menang langsung, itu akan menjadi bukti kemampuan partai untuk mempengaruhi dunia politik di Tepi Barat.
“Kemenangan di Birzeit memberi sedikit kenyamanan kepada Hamas,” tambah pejabat itu. “Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar pemuda Palestina telah menyerahkan kepercayaannya pada dua partai politik utama, Fatah dan Hamas.”
Hari Rabu (27/4) sebelum pemungutan suara, mahasiswa mengadakan jam debat publik yang panjang di tengah hari terik di kampus Birzeit, dengan isu-isu yang dominan termasuk partisipasi politik perempuan dan persaingan lama antara Hamas dan Fatah.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Ada lebih tiga perempat dari hampir 10.000 mahasiswa yang layak mencoblos tahun ini.
“Pemerintahan universitas selalu berharap bahwa mahasiswa akan lebih memperhatikan kehidupan mahasiswa, kebutuhan mahasiswa, sebagai persyaratan (dan) prestasi selama kampanye pemilu,” kata Wakil Presiden Universitas Birzeit Ghassan Khatib kepada Al Jazeera. “Tapi pemimpin mahasiswa cenderung menyampaikan isu-isu politik selama kampanye, dan ini terjadi dengan mengorbankan urusan universitas atau mahasiswa.”
Ketua Program Studi Arab Palestina Ahmad Azem Hamad menggambarkan pemilu Dewan Mahasiswa itu sebagai “event nasional” di mana setiap orang berperan serta.
“Para pemimpin dari berbagai pihak luar universitas sangat tertarik pada hasil dan intervensi dengan memberikan mahasiswa dukungan moral dan material,” kata Hamad.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Serupa dengan tahun lalu, jumlah pemilih dalam pemilu kali ini juga tinggi, dengan lebih dari tiga-perempat dari hampir 10.000 mahasiswa yang layak memberikan suara.
Mengundang Ancaman Keamanan
Sementara itu, seorang mahasiswa ekonomi Dina Elayyam (19) dari Yerusalem yang tidak ikut serta mengatakan, kelompok-kelompok politik di kampus lebih peduli menerapkan ide-ide dari faksi dan pemimpin mereka di luar kampus daripada memikirkan cara meningkatkan kehidupan mahasiswa.
Tahun lalu Elayyam memberikan suaranya untuk kelompok blok-Hamas karena kelompok itu “bekerja keras” melakukan perbaikan di kampus universitas, termasuk membeli sebuah mobil ambulans dan mengganti bangku.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Namun sekarang, menurutnya, seperti “perang politik, perang dingin, antara kedua belah pihak”. Ada juga risiko keamanan lebih luas yang melekat pada partisipasi dalam politik mahasiswa di Tepi Barat.
Pada tahun lalu, menurut Human Rights Watch, setelah kelompok blok-Hamas memenangkan pemilihan Birzeit, 25 mahasiswa pendukung dipanggil untuk diinterogasi atau ditahan oleh pasukan keamanan PA.
Jihad Salem, anggota dari kelompok blok-Hamas mengatakan ia dipukuli, ditahan hingga stres dan ditolak perwakilan hukumnya selama penahanan 24 jam setelah hasil pemilu. Human Rights Watch menyebut perkembangan itu “sangat mengkhawatirkan”.
Samia Al-Botmeh, seorang profesor ekonomi di Universitas Birzeit yang mengkoordinasi hak atas kampanye pendidikan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa 77 mahasiswa Birzeit dan dua staf saat ini dalam tahanan Israel, termasuk Presiden Dewan Mahasiswa yang terpilih tahun lalu, Seif Al-Islam Daghlas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Pihak PA pun saat ini menahan lima mahasiswa Birzeit setelah mereka ditangkap terkait berafiliasi dengan kelompok mahasiswa blok-Hamas.
“Hal ini sangat berkaitan bagi kami sebagai administrator dan pendidik. PA juga menahan mahasiswa yang menyuarakan ide-ide politiknya yang berbeda atau menentang PA,” kata Botmeh. “Ini adalah tantangan yang sangat sehat untuk status quo, dan mahasiswa harus didorong untuk memiliki banyak pendapat dan praktek politik.” (T/P001/R02)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)