Pencaplokan Kashmir Seperti Yang Dilakukan Israel (Oleh: Azad Essa, Wartawan Senior)

Oleh: Azad Essa, Wartawan Senior Middle East Eye berbasis di New York City

Selama beberapa tahun terakhir, para sarjana telah membuat kesimpulan bahwa Kashmir yang dikelola harus diakui sebagai wilayah pendudukan.

Dengan lebih dari 700.000 tentara India, paramiliter dan polisi di wilayah paling termiliterisasi di dunia itu, mereka berargumen bahwa warga Kashmir hidup di bawah kekuatan militer India.

Sejak pemberontakan dimulai pada akhir 1980-an, lebih dari 70.000 orang telah terbunuh, 7.000 penghilangan paksa, sementara ribuan lainnya dibutakan dan dilumpuhkan oleh amunisi.

Tampil di parlemen, Menteri Dalam Negeri India Amit Shah menandatangani surat dari Presiden India yang mengumumkan bahwa negara itu akan mencabut klausul khusus Artikel 370 dalam konstitusi mengenai status khusus Kashmir.

Artikel 370 pada Konstitusi India itu menyebutkan status semi-otonom Kashmir di dalam Uni India, termasuk wewenang untuk menangani urusan sendiri (selain urusan pertahanan, keuangan, komunikasi dan luar negeri), hak atas konstitusi sendiri, kemampuan untuk membuat hukum, serta benderanya sendiri, akan segera dihapus.

Pemerintah India mengatakan akan mengubah konstitusi meskipun ada beberapa putusan pengadilan, termasuk Pengadilan Tinggi di Jammu dan Kashmir dan Mahkamah Agung di Delhi yang memutuskan bahwa klausul itu tidak dapat dibatalkan.

Sementara itu banyak orang India, menilai, “proyek” untuk mencabut “status khusus” Kashmir dalam konstitusi India, dimulai oleh Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok nasionalis Hindu sayap kanan.

“Proyek” ini kemudian menjadi isu utama pada pemilihan untuk Partai Bharatiya Janata dipimpin PM Narendra Modi yang berkuasa (BJP), dan akhirnya membuahkan hasil. Partai ini menang pemilu.

Dengan penghapusan status khusus Khasmir, maka India beralih dari administrator menjadi penjajah sepenuhnya. Ini mengikuti pola dan metode yang mengontrol penuh atas negara dan rakyatnya.

Selama beberapa dekade, pihak RSS telah menyerukan penghapusan Pasal Artikel 370 dalam upayanya untuk membangun kembali India Hindu.

Pada tahun 1980-an, BJP mulai berkampanye dengan janji kekuasaan mayoritas.

Maka, mencabut Artikel 370 berarti akan membuka jalan bagi proyek kolonial pemukim penuh di Kashmir, sama seperti pemukiman Yahudi di Tepi Barat.

Sebab, ini juga bermakna berakhirnya “hak istimewa” yang selama ini dinikmati oleh umat Islam. Walaupun mereka masih tetap menjadi komunitas termiskin dan paling tidak berkembang di India.

Ini juga termasuk upaya membangun Kashmir sebagai tempat yang dipenuhi kuil, seperti bagian dari masa lalu Hindu di Himalaya.

Bagian tak terpisahkan dari upaya ini adalah peningkatan ziarah Amarnath Yatra di Kashmir selatan.

Prof. Mona Bhan, guru besar di Universitas Syracuse, memandang Pemerintah India sedang berusaha memulihkan kuil-kuil untuk lebih “mengikat Kashmir ke India melalui koneksi spiritual dan agama”.

Jadi, membatalkan Artikel 370 adalah bagian dari pemenuhan janji untuk menghidupkan kembali Hindu India.

Prof. Sumantra Bose, guru besar ilmu politik di London School of Economics, menulis, “Jenis negara demokrasi yang dicontohkan Israel, dan bukan Pakistan, adalah model gerakan nasionalis Hindu, yang dipimpin oleh organisasi RSS. Mereka bercita-cita untuk membangun varian India,”

Lebih jauh lagi, langkah ini juga akan membuka jalan bagi proyek kolonial pemukim penuh di Kashmir. Tahap selanjutnya kemungkinan akan melibatkan kantong-kantong khusus Hindu, sama seperti pemukiman Yahudi di Tepi Barat.

Hindu Kashmir

Meskipun puluhan ribu umat Hindu Kashmir, yang dikenal sebagai Pandit, meninggalkan Kashmir pada 1990-an dalam ketakutan pada masa depan kehidupan mereka ketika terjadi pemberontakan. Para pemimpin Muslim Kashmir sebenarnya telah berulang kali menyerukan agar mereka kembali dan akan aman.

Namun kemudian, PM Narendra Modi dengan ambisinya menjadikan kegagalan ekonomi di Kashmir, yang berada di luar proyek nasional, sebagai cara meraih wilayah itu secara mutlak.

Padahal Kashmir selama ini tidak memiliki sejarah ketegangan komunal antara Muslim dan Hindu. Adanya ipaya membawa Pandit dan India lainnya kembali sebagai pemukim dan bukan penduduk yang sama, dipandang sebagai langkah provokasi.

Ini pun sama seperti yang telah dilakukan berulang kali oleh pemerintah Israel, ketika pemerintah India berusaha semaksimal mungkin untuk membingkai masalah di Kashmir sebagai masalah agama (antara Muslim dan Hindu), dengan mengesampingkan perselisihan politik.

Modi juga telah melebih-lebihkan sebutan ekstremisme Islam sebagai tipu muslihat, membuat penumpasan militer tidak hanya perlu tetapi tidak dapat dihindari.

Tetangganya, Pakistan telah mendukung gerakan bersenjata. Walaupun agen keamanannya juga takut akan kemerdekaan Kashmir seperti halnya India.

Dalam pandangan BJP, yang akan mengubah demografi di Kashmir dengan orang-orang Hindu India, dipandang akan menghindari aspirasi politik Muslim-Kashmir dan dapat menyelesaikan masalah Kashmir yang tampaknya tidak bisa diselesaikan selamanya.

Waktu PM Modi menjabat, baik sebagai Kepala Menteri Gujarat pada awal 2000-an, dan sebagai PM negara itu sejak 2014, menunjukkan bahwa popularitasnya meningkat setiap kali ketegangan Hindu-Muslim meningkat di negara itu.

Dia disebut sebagai dalang ambisi mayoritas, yang menjadikan kegagalan ekonomi di luar proyek nasional sebagai isu utama. Termasuk menekan mereka yang berani mengekspresikan perbedaan pendapat.

Demokrasi Gelap

Kashmir digunakan untuk perselisihan di lembah Himalaya. Tetapi pada hari-hari menjelang pemilihan, pemerintah menimbulkan serangkaian trauma psikologis pada penduduk lokal.

Pemerintah India pernah menginstruksikan peziarah Hindu di Kashmir selatan dan wisatawan untuk pergi, atas dasar ancaman keamanan.

Ini tentu memicu tingkat kepanikan yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah ini. Ditambah pemberitaan masiv oleh media arus utama (mainstream) India. Ini ternyata hanya tipu muslihat untuk membersihkan non-Kashmir dari wilayah tersebut sebelum pengumuman.

Pemerintah India kemudian mengerahkan 35.000 pasukan tambahan ke wilayah itu, memutus semua komunikasi, termasuk internet, telepon dan televisi kabel tertentu.

Para pemimpin Kashmir yang bekerja atas perintah India, tapi menunjukkan sedikit kesetiaan atau minat pad Kashmir, ditempatkan di bawah tahanan rumah.

Hingga akhirnya, jam malam pun diberlakukan, jalanan dibersihkan, tentara mengambil alih pos polisi, dan pasukan keamanan dikirim ke sudut-sudut jalan.

Termasuk juga ada pembatasan signifikan pada wartawan saat ini di lapangan.

Sampai sekarang, bahkan tidak jelas berapa banyak warga Kashmir tahu bahwa pemerintah India telah mengubah kontrak sosial mereka dengan negara.

Inilah gambaran sebagai hari paling gelap dalam demokrasi India, dan Kashmir adalah pihak yang menanggung beban beratnya. (AT/RS2/P1)

Sumber: Middle East Eye

Mi’raj News Agency (MINA)