Oleh: Rudi Hendrik
Zaid bin Sa’nah adalah seorang pendeta Yahudi. Tidak ada tanda kenabian yang tidak diketahuinya ketika memandang wajah Muhammad, kecuali dua perkara, yaitu kesabaran yang dapat mengalahkan kemarahannya dan jika semakin marah justeru semakin sabar.
Suatu hari, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar bersama Ali bin Abi Thalib, tiba-tiba beliau didatangi oleh seseorang yang mirip orang Badui.
“Wahai Rasulullah, di desaku di Bani Fulan ada beberap orang yang sudah masuk Islam,” kata orang itu sambil tetap berada di atas untanya. “Akulah yang menyarankan mereka agar masuk Islam. Awalnya harta mereka sangat melimpah. Namun kali ini mereka ditimpa kekeringan, kesulitan dan paceklik. Aku khawatir mereka akan keluar dari Islam karena ketamakan terhadap harta, sebagaimana dulunya mereka masuk Islam juga karena tamak terhadap harta. Jika engkau berminat mengirimkan bantuan kepada mereka aku mau melakukannya.”
Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memandang Ali yang berdiri di sampingnya, meminta pendapat.
“Wahai Rasulullah, memang orang ini sudah tidak mempunyai apa-apa lagi,” kata Ali.
Mendengar itu, Zaid bin Sa’nah kemudian mendekat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Wahai Muhammad, maukah engkau berhutang kurma dengan jumlah tertentu yang sekarang masih ada di kebun Bani Fulan dengan tempo pembayaran yang sudah disepakati?” tanya Zaid menawarkan.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
“Tapi engkau tidak boleh menyebut-nyebut kebun Bani fulan,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Baiklah.”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah setuju, Zaid lalu mengeluarkan kantong-kantong miliknya, lalu diserahkan kepada Beliau sebanyak 80 takaran kurma. Hutang kurma itu akan dibayar oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada waktu yang telah disepakati.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu berpesan kepada orang Badui itu, “Berbuat adillah dan bantulah mereka.”
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Di hari kemudian, dua atau tiga hari sebelum jatuh tempo pembayaran, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar rumah bersama Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan serta beberapa sahabat lainnya untuk menshalati jenazah.
Seusai shalat jenazah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang bersandar ke sebuah dinding, tiba-tiba Zaid datang meraup baju dan mantelnya. Zaid memandangi Beliau dengan wajah garang, sambil membentak.
“Hai Muhammad! Apakah engkau tidak akan memenuhi hakku? Demi Allah, kalian semua sudah tahu bahwa Bani Abdul Muthalib memang suka mengulur-ulur pembayaran hutang. Kami sudah hapal karena kami sudah biasa bergaul dengan kalian.”
Peristiwa itu membuat sepasang mata Umar berputar-putar geram. Dengan berang ia menghujamkan pandangannya kepada Zaid.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
“Hai musuh Allah, engkau berani memaki Rasulullah dengan perkataan yang sama sekali belum pernah aku dengar!” seru Umar. “Apakah engkau berani bertindak lancang terhadapnya yang belum pernah aku lihat? Demi diriku yang ada di tangan-Nya, kalau saja Rasulullah mengijinkan, tentu kepalamu sudah kupenggal.”
Pada saat yang sama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasllam justeru memandang Zaid dengan tenang dan pandangan lembut. Kemudian Beliau bersabda kepada Umar.
“Hai Umar, aku dan dia memang sudah ada kesepakatan. Seharusnya engkau menyuruhku segera melunasi hutang dan menyuruhnya untuk selalu mengingatkannya. Pergilah wahai Umar dan penuhilah haknya, serta tambahilah pembayarannya sebanyak 20 takaran sebagai kompensasi atas ketakutannya terhadap gertakanmu.”
Kemudian Umar pergi bersama Zaid dan melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan Umar memberikan tambahan pembayaran sebanyak 20 takaran kurma.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
“Mengapa ada tambahan 20 takaran kurma, wahai Umar?” tanya Zaid.
“Rasulullah menyuruhku untuk menambahi 20 takaran kurma, sebagai kompensasi ketakutanmu terhadap ulahku tadi,” jawab Umar.
“Apakah engkau tahu siapa aku, wahai Umar?” tanya Zaid.
“Tidak.”
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
“Aku adalah Zaid bin Sa’nah.”
“Apakah engkau seorang pendeta Yahudi?” tanya Umar.
“Benar.”
“Apa yang mendorongmu berbuat seperti itu terhadap Rasulullah?”
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
“Wahai Umar, semua tanda kenabian bisa kuketahui pada saat aku memandangi wajah Rasulullah, kecuali dua perkara, yaitu kesabarannya saat marah dan pada saat Beliau harus marah justeru bersabar. Kini aku sudah mengetahui keduanya, maka aku bersaksi aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai nabi. Aku juga bersaksi, separuh kekayaanku, kuserahkan sebagai shadaqah untuk kaum Muslimin.”
“Sebaiknya engkau bagikan kepada sebagian mereka saja, karena engkau tidak bisa membaginya secara merata,” ujar Umar.
“Begitu pun boleh,” kata Zaid.
Akhirnya Umar dan Zaid kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di hadapan Rasulullah, Zaid mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat), beriman dan menyatakan sumpah setia.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Setelah itu, Zaid rajin mengikuti berbagai kegiatan dakwah, termasuk terjun ke medan perang. Ia menjadi pengikut setia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketika kaum Muslimin terjun ke medan Tabuk, melawan pasukan Romawi, Zaid bin Za’nah ikut serta. Dalam peperangan itu, ia tidak mau mundur selangkah pun. Ia terus merangsek maju dan akhirnya gugur sebagai syahid. (P09/R2).
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia