Jakarta, MINA – Saat ini, jumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di dunia diperkirakan sudah lebih dari 4.800 kawasan. Strategi untuk membentuk KEK tidak terlepas dari keiginan untuk menarik investasi, membuka kesempatan kerja, mendorong ekspor, transfer teknologi, dan inovasi.
“Namun demikian, banyak juga ditemukan KEK yang gagal berkembang karena pendirian KEK lebih didominasi oleh tujuan politis, perusahaan yang masuk tidak memiliki keunggulan kompetitif dan lemahnya keterkaitan dengan ekonomi secara keseluruhan,” kata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo pada Media Briefing di gedung LIPI, Jakarta, Selasa (28/8).
Studi yang sudah dilakukan tim Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI saat ini yakni KEK pariwisata di Mandalika, Nusa Tenggara Barat dan Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung.
“Tim peneliti LIPI mengkajinya dari berbagai aspek, antara lain politik, ekonomi, dan tata kelola,” ungkapnya.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Max menjelaskan, aspek politik menjadi determinan penting untuk mengakselerasi KEK. Terdapat beberapa hal yang bisa menyebabkan KEK tidak berjalan dengan baik, salah satunya adalah adanya persaingan antara pemimpin menjelang pilkada dan pilpres sehingga KEK berpotensi menjadi alat politik baik itu negatif ataupun positif.
Sedangkan temuan yang terkait aspek ekonomi di sisi pariwisata, Max menuturkan, sebetulnya destinasi wisata telah terbangun jauh sebelum rencana KEK diusulkan.
“Inilah yang menjadi salah satu hambatan pada sektor pariwisata, yakni proses akuisisi dan perubahan kepemilikan lahan menjadi proses yang dinamis yang membuat lambatnya pengembangan zona wisata,” ujarnya.
Max menekankan, peran pemerintah sangatlah diperlukan khususnya melalui badan usaha milik negara untuk membantu mengakuisisi lahan pariwisata. “Dalam skema dominasi peran negara, maka kerangka permodalan dapat diperoleh dari APBN. Hal ini penting agar dominasi peran swasta tidak terlalu besar sehingga menghindari eksploitasi Sumber Daya Alam,” sambungnya.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Sementara terkait faktor tata kelola, Max menerangkan bahwa model KEK yang ada masih ‘kurang’ dalam mengadopsi peran organisasi formal (DPRD), bisnis dan masyarakat (civil society). Lembaga-lembaga itu diakui sangat penting dalam kemajuan KEK. Sayang, posisinya belum masuk ke dalam arus utama kelembagaan.
Lebih jauh posisi administrator KEK yang berada langsung di bawah Dewan Kawasan, dipegang oleh SKPD Kabupaten/Kota yang dalam hal ini biasanya oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP), maka posisinya terasa rancu. Sebab, PM-PTSP seharusnya masuk di dalam dewan kawasan (sebagai anggota dewan kawasan) dan tidak perlu ‘dihidupkan kembali’ dalam kelembagaan administrator.
Menurut Max, peran ganda yang dimiliki PM-PTSP secara psikologis menjadikan PM-PTSP menjadi lembaga ‘superbody’ yang mampu mengatur seluruh proses perizinan investasi baik di dalam dan di luar KEK. Dalam banyak situasi sangat memungkinkan administrator tidak memiliki kapasitas untuk melakukan verifikasi atas usulan atau permohonan izin. Ada indikasi, dinas lainnya di daerah melakukan ‘perlawanan’ atas kondisi ini, karena PM-PTSP cenderung bergerak sendiri dan kurang berkoordinasi dengan SKPD lainnya.
Max berharap, segala telaah yang telah dilakukan bisa memberikan jawaban mengapa sulit mengundang perusahaan menanamkan modalnya di KEK, bahkan yang sudah ada bukan tidak mungkin keluar dari KEK.
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia
“Pada sisi lain, pembangunan infrastruktur khususnya kelistrikan sudah disiapkan secara baik untuk menunjang KEK dan diharapkan dapat mendorong pembangunan ekonomi KEK,” pungkasnya. (L/R09/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Longsor di Salem, Pemkab Brebes Kerahkan Alat Berat dan Salurkan Bantuan