Pengamat Terorisme : Medsos Punya Peran Sebarkan Paham Teror

Jakarta, MINA – Pengamat Terorisme Universita Indonesia (UI) mengatakan, kelompok ekstrimis, radikal, atau teroris di Indonesia memanfaatkan secara maksimal media sosial (medsos) untuk menyebarkan dan radikalisasi.

Hal itu disampaikannya saat diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB) bertema “Cegah dan Perangi Aksi Teroris” di Gedung Serbaguna Roeslan Abdoelghani, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta, Rabu (16/5).

“Sebenarnya, oleh kalangan akademisi sudah terlihat bahwa gerakan ekstrimisme menggunakan media online memang tengah nge-hits. Baik itu untuk peradikalisasian ataupun rekruitmen. Namun khusus di Indonesia, penggunaan media online oleh kelompok tersebut hanya terkait dengan upaya peradikalisasian,” katanya.

Solahudin menjelaskan, berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme (napiter), sebanyak 85 persen di antaranya, melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun, sejak pertama kali terpapar paham ISIS.

“Saya mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002-2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5-10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme,” tuturnya.

Solahudin mengatakan, dirinya juga menemukan bahwa hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. Sehingga, ia berkesimpulan semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media.

“Salah satu peran media sosial mendorong percepatan peradikalisasian, kita ambil contoh terpidana teroris bernama Anggi, yang ditangkap aparat pada Agustus 2017, terkait rencana peledakan bom di Bandung dan Jakarta,” katanya.

Anggi, kata dia, merupakan buruh migran di Hongkong, ditangkap pada Agustus 2017 karena merencanakan pemboman di Bandung, bahkan sebagai pengantinnya, dan Jakarta. Anggi itu berasal dari Klaten.

“Pada November 2016, Anggi masih diketahui bukanlah sosok perempuan yang agamis, bahkan tidak berhijab. Tapi, pada Desember 2016, teman-temannya mulai melihat adanya perubahan,” tuturnya.

Kemudian Solahudin membeberkan fakta-fakta pada rentang Februari – Maret 2017. Anggi meng-upload dirinya tengah dibaiat di sebuah taman di Hongkong oleh Abu Bakar Al-Baghdadi. Pada April 2017, sambung dia, Anggi ditangkap aparat Hongkong dan dideportasi ke Indonesia.

“Di Tanah Air, Anggi menjalani proses deradikalisasi selama 2-3 minggu oleh Kemensos. Dan kemudian, dipulangkan ke kampungnya di Klaten. Namun sebulan kemudian, Anggi menghilang dari kampungnya. Dan pada Agustus 2017, dia ditangkap Densus 88,” tuturnya.

Bagaimana hal itu terjadi, Solahudin mengungkapan, ternyata Anggi dalam kurun singkat bergabung dengan lebih dari 30 private chanel Telegram. Bahkan kemudian, kata dia, Anggi membuat chanel Telegram sendiri dan menjadi admin.

“Artinya, selama 24 jam Anggi terpapar pesan-pesan radikal sehingga proses radikalisasi ke dirinya berjalan sangat kencang. Inilah sebabnya sosial media sangat penting terkait radikalisasi. Bahkan, berperan sangat signifikan,” katanya. (L/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments: 0