Pengawasan Terhadap Muslim Jepang Timbulkan Ketakutan

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Mohamed Fujita mengadakan kelompok belajar agama di rumahnya yang terbuka untuk semua umat Islam. Tapi belakangan ini dia dilanda rasa takut jika mengundang orang asing, khawatir orang asing tersebut adalah informan polisi.

Mata-mata yang tersebar luas telah membuat banyak Muslim di Jepang cenderung menyembunyikan ciri keimanannya.

Mohamed Fujita masuk Islam sejak lebih dari 20 tahun lalu. Ia adalah salah satu dari 17 penggugat dalam gugatan yang menentang pemantauan yang mencari pengikut kelompok Islamic State (ISIS/Daesh).

Dalam kisah ini, Fujita bukanlah nama aslinya untuk melindungi identitasnya, setelah dokumen polisi menyebutnya sebagai ancaman keamanan dalam data yang bocor secara online.

“Mereka membuat kami jadi tersangka teroris,” katanya. “Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, justeru sebaliknya.”

Istri Fujita, pertama kali melihat bahwa ia dan suaminya sedang diikuti oleh penegak hukum pada awal 2000-an.

Pada 2010, terjadi kebocoran 114 data polisi yang mengungkapkan profil keagamaan umat Islam di seluruh Jepang. Dokumen-dokumen itu memuat sejumlah informasi pribadi, termasuk nama individu, deskripsi fisik, hubungan pribadi dan nama masjid yang mereka datangi.

Data itu juga mencantumkan informasi tentang KTT G8 2008 yang diadakan di Hokkaido, Jepang utara. Setidaknya 72.000 warga dari negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah diprofilkan, termasuk sekitar 1.600 siswa sekolah umum di dan sekitar Tokyo.

Dokumen itu menunjukkan, polisi di ibukota juga telah mengawasi tempat ibadah, restoran halal, dan organisasi terkait Islam.

Dalam beberapa minggu kebocoran, data itu telah diunduh lebih 10.000 kali di 20 negara dari situs yang menyebarkan data yang bocor tersebut.

Fujita dan penggugat lainnya yang banyak dari Timur Tengah atau negara-negara Afrika Utara, menggugat dengan harapan pengadilan akan mengakui praktek-praktek ilegal polisi tersebut. Pengacara mereka mengatakan, polisi telah melanggar hak konstitusional mereka dalam hal privasi, perlakuan yang sama, dan kebebasan beragama.

Setelah dua kali banding, Mahkamah Agung Jepang telah menolak kasus tersebut pada 31 Mei.

Namun hakim sependapat dengan pengadilan yang lebih rendah bahwa penggugat layak mendapatkan total ¥ 90.000.000 (lebih Rp 11 miliar) sebagai kompensasi karena kebocoran itu melanggar privasi mereka.

“Kami diberitahu bahwa kami tidak memiliki kasus konstitusional,” kata Junko Hayashi, seorang pengacara dari penggugat. “Kami masih mencoba untuk mencari tahu, bagaimana itu tidak melanggar konstitusil?”

Penegak hukum sebagian besar mengabaikan kasus ini. Salah satu pernyataan publik sebagian mereka sampai kepada sidang komite HAM PBB tentang masalah ini pada tahun 2014.

Seorang pejabat dari Badan Kepolisian Nasional mengatakan, “Rincian pengumpulan informasi kegiatan bertujuan mencegah terorisme di masa depan yang tidak bisa diungkapkan.”

Kepolisian berdalih bahwa polisi mengumpulkan informasi menurut hukum.

Muslimah Jepang berpakaian Yukatta. (Foto: Khairuddin Safri/Tajuk.co)
Muslimah Jepang berpakaian Yukatta. (Foto: Khairuddin Safri/Tajuk.co)

Pembelaan untuk

Beberapa kalangan telah membela Muslim Jepang terkait itu. Salah satunya adalah Naofumi Miyasaka, seorang profesor di Akademi Pertahanan Nasional Jepang. Dia menjelaskan kebocoran data adalah kegagalan terbesar dalam sejarah kontraterorisme Jepang, karena itu akan mencederai kemampuan penegak hukum untuk mengumpulkan data intelijen tentang ancaman potensial melalui sikap saling percaya dan kerja sama antara polisi dan informan.

Keputusan Mahkamah Agung menjadi berita utama dan debat publik kecil di Jepang. Media lokal telah meliput proses hukum dengan berfokus pada isu kebocoran informasi dan sekitar masalah pengawasan polisi terhadap komunitas Muslim.

Tokoh publik yang paling menonjol dalam mengomentari keputusan Mahkamah Agung itu adalah pembocor data NSA (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat) Edward Snowden, yang berbicara melalui video telekonferensi pada simposium tentang pengawasan pemerintah di Tokyo pada 4 Juni.

“Orang-orang dari agama Islam lebih cenderung menjadi sasaran meskipun tidak memiliki kegiatan kriminal atau asosiasi atau sesuatu seperti itu di latar belakang mereka, hanya karena masyarakat takut,” kata Snowden, yang pernah bekerja di Tokyo barat di bidang penghubung fasilitas antara intelijen Amerika dan Jepang.

“Tapi di Jepang, mari kita lihat serius. (Sekte) Aum Shinrikyo adalah yang terakhir melakukan tindakan teroris yang signifikan di Jepang, dan itu lebih dari 20 tahun yang lalu,” tambahnya, mengacu pada serangan gas sarin 1995 di kereta bawah tanah Tokyo yang menewaskan 13 orang dan melukai 6.000 lainnya.

Ia mengatakan, sekte Aum Shinrikyo bukan sebuah kelompok ekstremis Islam fundamental, mereka adalah penganut kultus kiamat gila yang ingin menciptakan kaisar baru di Jepang.

Pengamat lain juga mempertanyakan apakah pemantauan kelompok agama tertentu secara massal merupakan strategi kontraterorisme yang efektif.

“Jerman memiliki program serupa. Mereka menyelidiki dan menyimpan data 30.000 Muslim di Jerman, tapi tidak menemukan seorang teroris tunggal di antara mereka,” kata Jeff Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University di Tokyo. “Jadi itu tidak jelas bahwa pengawasan tanpa pandang bulu ini berguna.”

Hiroshi Miyashita, seorang profesor hukum di Universitas Chuo yang ahli tentang isu-isu privasi, mengatakan, hukum rahasia negara yang mulai berlaku pada 2014 akan melindungi masalah ini dari pengawasan masyarakat dan pengadilan di masa depan.

Miyashita mengatakan, bahkan hakim tidak dapat mengakses informasi tentang praktik polisi di bawah undang-undang baru.

Polisi Metropolitan Tokyo dan Badan Kepolisian Nasional menolak permintaan untuk mengomentari keputusan pengadilan, dan tidak akan mengkonfirmasi apakah benar mereka terus memantau komunitas Muslim Jepang.

Tapi pengacara penggugat, Hayashi mengatakan bahwa dia yakin pengawasan terus diintensifkan. (P001/P2)

Sumber: Dari tulisan Ian Munroe di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.