Pengunjuk Rasa Antikudeta Sudan Ditembaki Gas Air Mata

Khartoum, MINA – Pasukan keamanan di ibu kota Khartoum menembakkan gas air mata ke kerumunan besar pengunjuk rasa anti-kudeta yang menuntut transisi pemerintah ke pemerintahan sipil.

Ribuan pengunjuk rasa berbaris di depan Istana Presiden pada Sabtu (25/12). Mereka mengibarkan bendera dan meneriakkan slogan-slogan menentang kepala junta Abdel Fattah al-Burhan dan pemerintahan yang didominasi militer, meskipun pasukan keamanan dikerahkan secara besar-besaran.

Para pengunjuk rasa menentang kudeta militer Oktober dan ingin tentara “kembali ke barak,” The New Arab melaporkan.

Sebelumnya, pasukan keamanan memblokir jembatan yang menghubungkan Ibu Kota dengan daerah pinggiran kota, memutus saluran telepon dan membatasi internet menjelang protes yang direncanakan.

Menurut saksi, ada juga unjuk rasa protes di kota Madani, hampir 85 mil tenggara Khartoum.

Gubernur Provinsi Khartoum memperingatkan bahwa pasukan keamanan “akan berurusan dengan mereka yang melanggar hukum dan menciptakan kekacauan.” Dia mengatakan “mendekati atau menyerang bangunan kedaulatan strategis dapat dihukum oleh hukum.”

Sementara itu, Volker Perthes, Utusan Khusus PBB untuk Sudan, mendesak pihak berwenang untuk “melindungi” pemrotes dan tidak menghentikannya.

“Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia” kata Perthes. “Tidak seorang pun harus ditangkap karena niatnya untuk memprotes secara damai.”

Komite Sentral Dokter Sudan meminta komunitas internasional untuk “memantau apa yang terjadi di Sudan terkait isu gerakan revolusioner untuk kebebasan dan demokrasi.”

Lebih dari dua tahun lalu, demonstrasi anti-pemerintah besar-besaran melanda Sudan, sebagian besar karena ekonomi. Para pengunjuk rasa yang sebagian besar pemuda, menuntut pengunduran diri Presiden Omar al-Bashir.

Bashir akhirnya digulingkan melalui kudeta militer pada April 2019, setelah memerintah negara itu selama tiga dekade. Pada bulan Agustus tahun yang sama, pemerintahan sipil-militer transisi didirikan untuk menjalankan negara.

Namun, kudeta militer, yang dipimpin oleh panglima militer Sudan dan pemimpin de facto, Burhan, dilakukan pada 25 Oktober yang membubarkan pemerintah yang rapuh itu. Perdana Menteri Abdalla Hamdok ditahan dan dijadikan tahanan rumah dalam sebuah tindakan yang membuat marah orang Sudan dan memicu kecaman internasional, termasuk dari Dewan Keamanan PBB. Para pemimpin sipil lainnya juga ditahan di tahanan militer.

Tindakan keras berikutnya terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta telah menyebabkan sedikitnya 45 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.

Hamdok kemudian dibebaskan dan pada 21 November menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan dengan junta yang dipimpin Burhan. Menurut Hamdok, ia akan melanjutkan jabatannya sebagai perdana menteri, semua tahanan politik yang ditahan selama kudeta akan dibebaskan, dan deklarasi konstitusional 2019 akan menjadi dasar transisi politik.

Menurut kesepakatan itu, Juli 2023 telah ditetapkan sebagai tanggal pemilihan bebas pertama Sudan sejak 1986. (T/RI-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.