Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pentingnya Narasi dan Literasi dalam Perjuangan Palestina

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 37 detik yang lalu

37 detik yang lalu

0 Views

Ibu-ibu sedang membaca buku (foto: Good News from Indonesia)
Semangat membaca buku sebagai upaya meningkatkan literasi.(Foto: Good News from Indonesia)

DI TENGAH reruntuhan bangunan di Gaza, dalam kepulan debu yang mengepul dan jerit tangisan para ibu dan anak-anak di Gaza, ada satu senjata yang tidak pernah bisa dirampas penjajah, yaitu narasi perjuangan rakyat Palestina.

Dari rangkaian kata-kata, goresan pena, kumpulan buku, untaian puisi, dan laporan jurnalistik berupa berita dna artikel tentang kondisi riil di Gaza, itu semua telah menjadi denyut nadi perjuangan mereka bagi masyarakat dunia.

Dunia menyaksikan kehancuran infrastruktur dan bangunan-bangunan di Gaza, namun yang lebih menentukan dalam perjuangan adalah kemampuan sebuah bangsa menjaga narasi dan literasi untuk tetap hidup dalam pikiran dan hati umat manusia di manapun berada.

Seperti halnya bangsa lain yang pernah mengalami penjajahan, termasuk Indonesia, perjuangan Palestina membuktikan bahwa kesadaran kolektif lahir dari narasi dan liteasi (pengetahuan). Arah perlawanan rakyat Palestina ditentukan oleh cerita yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga: Ternyata Jadi Ayah Tak Seindah Cerita Film

Islam Merubah Peradaban dengan Literasi

Dalam sejarah peradaban Islam, ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Iqra’, bacalah. Sementara surah Al-Qalam menegaskan sumpah Allah atas nama pena, sebagai simbol bahwa tulisan memiliki kekuatan moral dan strategis dalam merubah peradaban manusia.

Sejarah membuktikan bahwa banyak revolusi dan perlawanan dimulai dari literasi. Salahuddin Al-Ayyubi menegaskan bahwa pembebasan Al-Quds tidak lepas dari tulisan Al-Qadhi, seorang ulama yang membangkitkan kesadaran umat sebelum pasukan Muslimin mengangkat senjata.

Di zaman modern ini, Palestina mengikuti jejak yang sama. Di tengah blokade dan tekanan militer, para jurnalis dan akademisi dan sastrawan menulis dan mendokumentasikan sejarah mereka, membuka fakta genosida dan penderitaan rakyat Gaza yang sering disembunyikan oleh propaganda penjajah.

Baca Juga: Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?

Narasi tentang Palestina bukan hanya menjadi alat melawan kebohongan dan propaganda, tetapi juga menjadi senjata yang menentukan persepsi dunia. Seperti halnya Theodor Herzl memulai kolonialisasi dengan bukunya Der Judenstaat.

Para penulis mengabadikan fakta dan peristiwa untuk menentang narasi palsu yang mencoba mengaburkan kebenaran sejarah. Wartawan yang berada di tengah reruntuhan Gaza, penyair yang menulis luka menjadi puisi, dan akademisi yang menguak arsip sejarah, semuanya menegaskan bahwa perlawanan yang bermakna lahir dari rangkaian kata-kata yang membentuk narasi, menguatkan literasi.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Buku dan tulisan para tokoh pergerakan, dari Habis Gelap Terbitlah Terang oleh RA Kartini, hingga pidato Indonesia Menggugat oleh Ir Soekarno telah menjadi senjata yang membangkitkan kesadaran rakyat dan membentuk arah perjuangan bangsa.

Narasi yang konsisten akan menjadi peta jalan perlawanan, sekaligus meruppakan jembatan membangun solidaritas global, menyatukan suara-suara yang menentang penjajahan dan berbagai bentuk kezaliman.

Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara

Buku dan tulisan sebagai sumber narasi dan literasi juga berperan sebagai benteng identitas dan memori kolektif, bahwa penjajahan tidak hanya merampas tanah dan sumber daya, tetapi juga berupaya menyingkirkan sejarah, bahasa, budaya dan identitas sebuah bangsa.

Di Palestina, narasi dan literasi menjadi sarana untuk menjaga memori kolektif tentang perjuangan mereka agar tetap hidup. Catatan tentang desa-desa yang hilang, jurnal akademik yang menyoroti tragedi Nakba, maupun puisi dan prosa yang mengekspresikan luka rakyatnya, semuanya berperan menjaga eksistensi identitas bangsa Palestina.

Ketika karya-karya jurnalistik dari para pemikir dan aktivis menyatukan hati dan suara rakyat, membangun rasa persaudaraan, dan mewariskan ideologi serta strategi perjuangan dari satu generasi ke generasi berikutnya, itu semua akan terus meneguhkan perjuangan yang tak mengenal batas ruang dan waktu.

Siapa Penjaga Narasi dan Leterasi Perjuangan?

Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Generasi muda memiliki peran strategis dalam menjaga dan melanjutkan perjuangan ini. Pendidikan, penelitian, karya jurnalistik, dan seni dalam berbagai macamnya menjadi senjata yang harus terus diasah dan dilanjutkan.

Seperti putra-putri bangsa Indonesia yang dahulu membaca surat RA Kartini atau karya Tan Malaka, generasi muda Palestina harus membaca, menulis, dan menyebarkan narasi agar dunia tidak melupakan sejarah perjuangan mereka dan para pendahulunya.

Di era digital, literasi berarti menguasai media, platform digital, dan publikasi internasional untuk menembus blokade wilayah. Aktivitas literasi yang dilakukan generasi muda Palestina juga membuka peluang bagi dunia internasional untuk menyaksikan fakta, memahami penderitaan mereka, dan membangun solidaritas nyata.

Dunia lebih mudah tergugah oleh fakta yang terdokumentasi daripada propaganda yang disebarkan penjajah. Sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan sebuah bangsa tidak hanya dimenangkan oleh senjata, tetapi oleh gagasan, narasi dan literasi tentang perjuangan.

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Indonesia merdeka karena narasi perlawanan dari para tokohnya membentuk kesadaran rakyat dan menyalakan semangat perjuangan. Palestina tetap bertahan karena narasi mereka tetap hidup, menembus batas blokade dan pengawasan penjajah.

Heroisme bangsa Palestina mengajarkan bahwa perjuangan sebuah bangsa bukan hanya soal tanah atau senjata, tetapi tentang narasi yang harus terus hidup dan berkembang. Dari puisi Mahmoud Darwish hingga laporan akademik Ilan Pappé, dunia menyaksikan bahwa kata-kata mampu menembus tembok penindasan.

Palestina akan tetap berdiri karena narasi mereka tidak mati. Setiap buku yang dibaca, setiap tulisan yang disebarkan akan menjadi bagian dari perjuangan panjang menuju tegaknya keadilan, kemerdekaan, dan kebebasan.

Pada akhirnya, kemerdekaan bukan sekadar soal merebut tanah, tetapi soal memenangkan narasi, membangun literasi, mempertahankan identitas sejarah, dan memastikan bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya. []

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda