Perang Indonesia Melawan Kemiskinan (Oleh dr. Gamal Albinsaid)

(Foto: Istimewa)

Oleh : dr. Gamal Albinsaid, M.Biomed.; Motivator Muda Mendunia, CEO Medika

Anyone who has a burning spirit fighting poverty knows exactly how hard, expensive, and suffering lives in poverty. Siapapun yang punya semangat membara memerangi tahu persis betapa berat, mahal, dan menderitanya hidup dalam kemiskinan.

Ya, kemiskinan adalah sesuatu yang begitu berat dan mahal. Untuk anda yang tak pernah merasakannya, tanyakan pada mereka yang hidup dan bertahan dalam kemiskinan.

Apa itu kemiskinan? Menurut Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), “Kemiskinan adalah ketika pendapatan keluarga gagal memenuhi ambang batas yang ditetapkan pemerintah yang berbeda di seluruh negara”.

Selama satu dekade terakhir, pemerintah kita boleh berbangga telah mampu menurunkan angka kemiskinan secara bertahap mulai tahun 2007 dengan kemiskinan sekitar 37 juta penduduk Indonesia atau sekitar 16,6% dari total penduduk menjadi 28 juta penduduk Indonesia atau sekitar 10,9% dari total penduduk pada tahun 2016.

Dengan kata lain, hampir 10 juta orang telah berhasil meninggalkan garis kemiskinan di Indonesia. Namun, banyak lembaga menyatakan bahwa Indonesia menerapkan standar yang terlalu rendah untuk garis kemiskinan, sehingga laporan yang ada jauh lebih baik dari kenyataan yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Hal ini mengakibatkan kita memiliki angka masyarakat hampir miskin yang sangat tinggi dan mereka beresiko jatuh ke dalam kemiskinan ketika kondisi ekonomi negara menurun.

Bank Dunia menyatakan, hampir 40% dari seluruh populasi di Indonesia rentan jatuh ke dalam kemiskinan, hal ini dikarenakan pendapatan mereka sedikit di atas garis kemiskinan. Artinya 1 dari 10 orang Indonesia miskin dan 4 dari 10 orang Indonesia hampir miskin.

Tahun 2016, pemerintah Indonesia menetapkan garis kemiskinan pada pendapatan per kapita bulanan sebesar Rp 354.386 (sekitar USD $25,96) atau 11.812 per hari.

Bisa dibayangkan, jika masyarakat kita berpenghasilan Rp 12.000 maka sudah tidak termasuk masyarakat miskin. Kebutuhan apa saja yang bisa masyarakat kita penuhi dengan pendapatan tersebut?

Bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, angka ini terbilang rendah. Sebagai gambaran, Bank Dunia menetapkan US $ 1,25 per hari sebagai garis kemiskinan. Olah karena itu, saya berpendapat, saat ini banyak masyarakat miskin di Indonesia yang tidak diakui miskin jika kita menggunakan standar yang sangat rendah ini.

Ini tidak manusiawi, karena ketika pemerintah menentukan masyarakat masuk dalam kategori miskin, pemerintah bertanggung jawab secara konstitusional pada pemenuhan kebutuhan hidup dasar.

Menurut data statistitik, bagian timur Indonesia memiliki tingkat kemiskinan relatif sangat tinggi jika dibandingkan dengan jumlah keseuluruhan penduduk di provinsi tersebut. Jika kita lihat dari perpektif kemiskinan relatif, maka pada provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir seperempat masyarakatnya tergolong masyarakat miskin.

Hal ini menunjukkan bahwa selain besarnya jumlah kemiskinan, kita juga memiliki masalah pada pemerataan kesejahteraan. Namun, jika kita melihat angka kemiskinan absolut, menunjukan bahwa Jawa Timur memiliki angka kemiskinan tertinggi sebesar 4,78 juta penduduk.

Hal yang tidak kalah pentingnya untuk kita kaji dan perhatikan adalah perbandingan angka kemiskinan di desa dan kota. Tahun 2016, 7,8% dari masyarakat kota dan 14,1% dari masyarakat desa dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, dari total sekitar 27.485.320 penduduk miskin, sekitar 10..485.640 berada di kota dan sekitar 17.278.680 berada di desa. Hal ini menyebabkan kesulitan pemerintah dan berbagai lembaga internasional dalam mengentaskan berbagai masalah kemiskinan.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apa penyebab utama kemiskinan di Indonesia?

Banyak kajian menyebutkan,
keterbatasan pendidikan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan keterbatasan lapangan kerja adalah akar utama kemiskinan di Indonesia.

Pertama adalah keterbatasan pendidikan diakibatkan oleh banyaknya orang yang putus sekolah akibat biaya pendidikan, sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan. Selain itu banyaknya kejadian putus sekolah dikarenakan tuntutan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk menekan kemiskinan, kita butuh political will di bidang pendidikan.

Kedua adalah kualitas sumber daya manusia kita yang masih tertinggal. Hal itu tercermin dari Global Human Capital Report kita yang menempat Indonesia di urutan 65. Walauapun angka ini naik 7 peringkat dari tahun lalu, namun kualitas SDM kita masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga kita seperti Singapura di peringkat 11, Malaysia di peringkat 33, Thailand di peringkat 40, dan Filipina di peringkat 50.

Ketiga adalah kurangnya lapangan kerja juga dianggap menjadi penyebab kemiskinan di Indonesia. Lapangan kerja di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. BPS menunjukkan bahwa pada Agustus 2016 pengangguran kita mencapai 5,61% dari total angkatan kerja sebesar 108,13 juta orang.

Melambatnya penciptaan lapangan kerja adalah tantangan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dan mempengaruhi sekitar 1,7 juta pemuda yang masuk angkatan kerja baru setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pertumbuhan lapangan kerja saat ini lebih lambat dari pertumbuhan jumlah penduduk.

Kita sebagai bangsa tidak boleh meremehkan kondisi ini, sebagaimana pesan Marcus Aurelius bahwa “Poverty is the mother of crime”, dampak dari kemiskinan ini adalah kriminalitas, konflik, dan berbagai permasalahan horizontal lain.

Dalam hal ini, saya percaya bahwa prinsip-prinsip kewirausahaan sosial akan mampu memberikan nilai utama berupa penyelesaian berbagai masalah ekonomi di masyarakat, khususnya kemiskinan.

Dengan mendorong lahirnya wirausaha sosial, maka pemerintah akan mampu melibatkan sektor swasta dalam penyelesaian masalah kemiskinan.

“Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka” pesan lantang sang proklamator untuk kita, Bung Karno. Ketika kita mengumandangkan kemerdekaan sejatinya kita memberikan sebuah pesan bahwa Bangsa Indonesia menyatakan perang melawan kemiskinan.

Namun, hari ini setelah lebih dari 70 tahun berlalu kita menyaksikan kemiskinan menang, janji kemerdekaan tak tertunaikan, dan kita Indonesia kalah dalam perang panjang melawan kemiskinan.

Oleh karena itu, hari ini, saatnya kita mengerahkan semua sumber daya kita dan kemampuan kita dalam bingkai persatuan untuk bersama-sama memerangi kemiskinan.

Kita harus yakin kawan-kawan. Bonus demografi, nilai-nilai ke-Indonesian, dan kerja nyata pemuda kita hari ini adalah tiga kunci utama untuk menjadikan kita mampu menghapuskan kemiskinan dari bumi pertiwi.(AK/R01/RS1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

*dr. Gamal Albinsaid adalah dokter muda kelahiran Malang peraih Gelar Kehormatan Kerajaan Inggris, 50 inovator sosial paling berpengaruh dunia, dan pembicara 15 negara-4 benua.