Perjuangan Tahanan Perempuan Palestina: Hana Shalabi, Mogok Makan 43 Hari (Seri 9)

Oleh : , Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Hana Yahya Shalabi (lahir 2 Juli 1982) merupakan salah satu tahanan di penjara pendudukan Israel, yang berjuang untuk pembebasannya melalui aksi mogok makan sampai 43 hari.

Ayahnya, Yahya, dan ibunya Badia, memiliki 10 anak, 6 perempuan dan 4 laki-laki.

Menurut data Wikipedia, Hana ditahan militer Israel di rumahnya di Jenin, di wilayah yang dikelola Palestina di Tepi Barat dalam penahanan administratif, 16 Februari 2012, saat usianya 30 tahun.

Otoritas penjara Israel mengatakan, Hana ditahan karena aktivitasnya melakukan aksi-aksi yang mereka sebut sebagai ‘teror menakutkan’. Termasuk dituduh terlibat keanggotaan aktif dalam organisasi perjuangan yang dicap “teror” oleh pendudukan Israel. Tuduhan yang disangkal oleh ayah Hana.

Maka, untuk memprotes ditahan tanpa tuduhan, Hana pun memulai melakukan aksi mogok makan, yang membuat pihak penjara panik.

Hana mengakhiri mogok makan selama 43 hari pada 29 Maret 2012, setelah kesepakatan dengan Israel. Walaupun dia harus dideportasi ke Jalur Gaza.

Sebelumnya, juga pernah ditahan pada 2009 saat usianya 27 tahun, dan dibebaskan dua tahun kemudian pada Oktober 2011, dalam pertukaran dengan tahanan Gilad Shalit, antara Israel dan Hamas.

Perjuangan dari Penjara

Saat penangkapannya tahun 2012, Hana Shalabi dibawa secara ilegal dari rumahnya di bawah todongan senjata oleh tentara pendudukan Israel tanpa surat perintah atau alasan yang diberikan.

Tentara mengurungnya selama lebih dari dua tahun tanpa pengadilan. Tentara juga menginterogasinya dari pagi hingga malam, hari demi hari, memukulinya dan menggunakan pelecehan seksual dan agama sebagai alat interogasi.

Untuk memprotes kondisinya, Hana pun melakukan mogok makan. Seperti dilaporkan media online Inminds, edisi 29 Maret 2012.

Ia menambahkan bagaimana dia dipukuli, dianiaya, ditutup matanya dan ditempatkan di sel isolasi penjara. Dia juga pernah didekati oleh seorang petugas penjara yang memintanya untuk menanggalkan pakaiannya, dengan dalih petugas itu akan mudah untuk menggeledahnya.

Hana saat itu menolak keras, “Ketika saya menolak, dia memanggil petugas lain yang mengikat saya dan mulai memukuli saya.”

Saat aksi mogok makan mulai berjalan berhari-hari, Zahra Shalabi, kakaknya berbicara tentang kekhawatirannya terhadap adik perempuannya, Hana yang mulai lemas dan sekarat di penjara Israel.

“Kakakku mulai sekarat. Tapi kami mengatakan itu adalah kemenangan dan menuju kesyahidannya. Insya Allah, itu akan menjadi kemenangan. Kami duduk di sini berpikir apakah akan melihat Hana atau tidak. Aku tidak tahu, tapi kami tetap bersemangat tinggi, alhamdulillah,” ujar Zahra saat itu.

Dilaporkan waktu itu, Hana telah melakukan mogok makan selama 40 hari. Seorang dokter independen yang memeriksanya saat itu menyimpulkan bahwa Hana Shalabi “dalam bahaya kematian”.

Denyut nadinya sangat lemah dan suhu tubuhnya rendah, dengan penurunan berat badan 14 kg.

Jantungnya mulai lemah karena tidak memiliki sumber energi yang mensupplainya. Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan gagal jantung sewaktu-waktu.

Sementara pemerintah pendudukan diam, protes dari masyarakat luas bermunculan di seluruh dunia.

Hana menyampaikan pesan semangat dalam kelemahan fisiknya, kepada orang-orang di dunia untuk “melanjutkan tindakan dalam menerapkan tekanan pada pendudukan Israel menuju pembebasan semua tahanan yang pemberani”.

Para pengunjuk rasa Palestina mengadakan pawai demonstrasi besar-besaran yang dimulai di al-Bireh dan berakhir di dekat Muqata’ah di Ramallah. Demonstrasi lain diadakan di Jalur Gaza, yang menyerukan pembebasannya.

Bahkan Perdana Menteri Palestina, saat itu Salam Fayyad mengatakan, Hana Shalabi sedang “memperjuangkan martabatnya.”

Organisasi hak asasi manusia Amnesty International menuntut pendudukan Israel untuk membebaskan Hana, dengan alasan “risiko kematiannya”.

Dideportasi ke Jalur Gaza

Hana Shalabi, tahanan perempuan yang melakukan aksi mogok makan, akhirnya keluar dari penjara pada 2 April 2012. Namun ia tidak dikembalikan ke keluarganya di Tepi Barat. Hana justru dideportasi ke Jalur Gaza selama tiga tahun.

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pun segera memfasilitasi pertemuan antara Hana Shalabi dan keluarganya di persimpangan Erez, sebelum memasuki Jalur Gaza, “dengan alasan murni kemanusiaan”.

Hana begitu tiba di Jalur Gaza, segera dirawat intensif di Rumah Sakit Asy-Syifa di Kota Gaza.

Ia disambut meriah di Jalur Gaza oleh warga setempat dengan mengibarkan poster fotonya.

“Perasaan kebebasan saya bercampur dengan rasa sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga dan tempat kelahiran saya,” kata Hana setelah tiba di Gaza.

“Saya dikirim ke Jalur Gaza, ini juga merupakan setengah dari tanah air saya, dan saya di sini bersama keluarga dan orang-orang saya juga,” ujarnya penuh haru.

“Apapun dan di manapun, saya akan terus mendukung bersama mereka yang berjuang untuk tanah air dan para tahanan,” lanjutnya.

Hal yang paling membuatnya bersemangat adalah ketika Pimpinan Tertinggi Hamas Ismail Haniyeh dan delegasi pemerintah mengunjunginya. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.