Pernikahan Indonesia-Palestina Kokohkan Persaudaraan dan Persatuan

Hangat sinar matahari menyapa pagi yang cerah di kota Semarang nan asri. Pasalnya, hari itu, Ahad, 2 Dhul-Qo’dah 1439/15 Juli 2018 merupakan hari yang dinanti bagi pasangan Indonesia-Palestina yaitu Zulfa Salsabila binti H. Al-Farobi dan Muhamed Al-Massri bin Yahya Mustafa.

yang menyatukan dua insan berbeda bangsa, etnis, suku, berjarak ribuan kilo meter jauhnya, namun karena kedekatan iman dan suasana persaudaraan nan syahdu, akad nikah pun dilaksanakan dengan penuh kekhusyukan.

Upacara akad diselenggarakan di Masjid Al-Hikmah, Jl. Suyudono no.39 Semarang. Masjid yang menjadi saksi perjuangan sekaligus benteng para syuhada dalam peristiwa pertempuran Lima Hari Semarang. Masjid itu juga menjadi saksi dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mendukung kemerdekaan rakyat Palestina. Pasalnya, sudah banyak tokoh-tokoh Palestina, bahkan Imaam Masjid Al-Aqsha, Syaikh Mustafa Tawil beberapa kali berkhutbah di masjid tersebut.

Kini, masjid yang menjadi markaz dakwah bagi Jama’ah Muslimin (Hizbullah), sebuah jamaah yang senantiasa menggemakan persatuan umat Islam. Pagi itu suasana masjid penuh sesak oleh ribuah jamaah yang ingin menyaksikan ijab kabul pernikahan bersejarah itu.

Dengan diiringi kopi hangat dan makanan khas Semarang, Lumpia dan Wingko Babat, sembari menunggu acara ijab kabul dimulai, wartawan MINA berkesempatan berbincang serta turut mendampingi Sekretaris 1 Duta Besar Palestina untuk Indonesia H.E Taher Hammad dan guru besar Universitas Al-Quds, Gaza, Palestina, Prof DR. Mahmoud Anbar yang hadir bersama keluarga sebagai perwakilan dari pihak mempelai pria.

Pesan Persaudaraan dan Persatuan

Muhamed Al-Masri. (Foto: Sakuri/MINA)

Pernikahan Indonesia-Palestina ini merupakan kali ketiga setelah sebelumnya Abdillah Onim yang mempersunting putri Gaza dan Muhammad Husein yang merupakan santri dari pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Bogor. Ia mempersunting putri Gaza, Jinan pada 17 Agustus 2014 saat terjadi agresi militer pasukan Zionis Israel ke Gaza yang membuat penduduk kota itu semakin menderita setelah tujuh tahun dibawah blokade mereka.

Imaam Yakhsyallah Mansur dalam nasihat pernikahannya menyampaikan, pernikahan merupakan salah satu upaya mempersaudarakan antar suku, bangsa dan etnis sebagaimana telah dilakukan Rasulullah Muhammad Shallalallahu ‘Alaihi Wasalam dengan menikahkan para sahabatnya yang berbeda suku dan budaya. Bahkan untuk memuliakan salah satu suku yang kalah dalam peperangan, Rasulullah mempersunting anak dari kepala suku itu agar mereka dapat berdiri setara dan tidak merasa terhina karena kalah dalam perang.

Sementara itu, H. Al-Farabi, ayahanda Zulfa Salsabila sekaligus wali dari mempelai wanita berharap pernikahan ini dapat menjadi momentum bersejarah dalam peningkatan hubungan persaudaraan antara Indonesia dan Palestina serta menjadi bukti sejarah bahwa umat Islam di manapun berada bisa bersatu meski berbeda suku, etnis, bangsa bahkan berjarak ribuan kilo meter jauhnya.

Ia berharap dengan pernikahan putrinya itu melahirkan generasi-generasi yang mengharumkan nama bangsa Indonesia dan Paletina, juga Agama Islam yang mengajarkan kasih sayang, persaudaraan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat terirotial dan kebangsaan.

Dengan pernikahan putrinya itu, semakin jelas bahwa bangsa Indonesia adalah saudara dekat Palestina. “Kita disatukan oleh sejarah dan juga aqidah sehingga antara Indonesai dan Palestina, kita semua satu, dengan Tuhan yang satu, kitab Al-Quran yang satu, kiblat yang satu dan nabi kita pun satu, yaitu Muhammad SAW,” kata Prof. Mahmoud Anbar dalam sambutan mewakili keluarga mempelai laki-laki.

Lika-liku Perjuangan Pemuda Gaza Hingga Berlabuh ke Indonesia

Tahun 2015, Muhamed Al-Masri pada mulanya ingin melanjutkan kuliah ke Turki setelah mendapat beasiswa dari sebuah lembaga di negara itu. Dengan berbekal semangat membara, ia bersama sahabat karibnya, Mohamad Qolazen berangkat menuju Turki, meninggalkan Ayahanda dan Ibunda tercinta di Gaza. Setelah berpamitan, pemuda itu pun mantap meninggalkan kampung halamannya melewati perbatasan Rafah, menuju Kairo untuk bertolak ke Istambul.

Namun sayang, setelah sampai di Negara Transkontinental itu, ternyata berita informasi beasiswa dinyatakan hoax. Walhasil, ia harus pulang ke Gaza tanpa membawa hasil yang diharapkan.

Malangnya Al-Masri tidak hanya sampai di situ, setelah sampai Kairo, ia tidak diperbolehkan melewati pintu Rafah lagi karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Pihak otoritas pun tidak bisa memberikan tanggal pasti kapan ia bisa masuk Gaza.

Selanjutnya, pihak bandara menawarkan ia untuk memilih ke Indonesia atau Malaysia karena memang tidak boleh berlama-lama di bandara Kairo. Akhirnya ia memilih Indonesia karena ia tahu Negara Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim dan dikenal keramah-tamahannya.

Tibalah ia di Bandara Soekarno-Hatta setelah sekian lama terkatung-katung di Kairo. Ia pun bingung karena di Jakarta tidak ada teman, handai taulan, kerabat, apalagi sanak saudara. Yang ia tahu hanyalah masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara yang nama besarnya bergaung hingga bumi Palestina.

Selama dua pekan ia di Istiqlal, ia tak kunjung menemukan rekan untuk berbagi cerita. Tanpa putus asa, ia terus berdoa kepada Allah agar keberadaannya di Indonesia dapat menjadi manfaat bagi perjuangan bangsanya untuk mendapatkan kemerdekaan dan dapat mempersatukan Indonesia-Palstina sesuai niat awalnya dalam menimba ilmu.

Akhirnya, informasi keberadaan Al-Massri di Jakarta diketahui oleh Muhammad Husein, seorang relawan Indonesia yang telah lama tinggal dan menetap di Gaza. Lantas ia menginformasikan kepada keluarganya di Pesantren Al-Fatah untuk menyantuni Al-Massri sebagai bentuk persaudaraannya. Sejak saat itu, Al-Massri pun tinggal di Pesantren Al-Fatah.

Pertemuan dengan Sang Pujaan Hati

Setelah sekian lama hidup di Indonesia, tentu sebagai seorang lelaki, Al-Massri mengiginkan sosok pendamping sebagai tempat tambatan hati, tempat berbagi cerita dalam suka maupun duka dan membangun mahligai rumah tangga sebagai bentuk kesempurnaan keislamannya.

Hari berganti, bulan berlalu, tahun pun bergulir, Al-Masri semakin merindukan hal itu hingga ia pun memohon kepada Allah kiranya dalam pengembaraan di bumi Indonesia yang elok dengan kemolekan alamnya itu, ia dikaruniai seorang pendamping salehah, setia, serta taat dalam beragama.

Atas takdir dan kehendak Allah semata, adalah seorang pengusaha yang terkenal dengan kedermawanan dan semangat perjuangannya membela Palestina, seorang aghniya asli Kota Semarang, yaitu Bapak H Al Farabi rupanya telah lama memperhatikan dan mencermati setiap aktifitas dari sosok Al-Massri selama berada di Indonesia.

H. Al-Farabi akhirnya memantapkan hati untuk menjodohkan Al-Massri dengan putri pertama yang sangat dicintanya, yaitu Zulfa Salsabila. Salsa, begitu panggilan akrab Zulfa Salsabila dengan penuh ketaatan menerima pinangan Mohamed Al-Massri atas nasihat dari Ayahanda tercinta. Salsa pun sebenarnya telah menamatkan studinya di fakultas hukum Universitas Sultan Agung (Unisula) Semarang. Ia pun kini mantap untuk membangun biduk rumah tangga bersama pemuda Palestina itu.

Pucuk di cinta ulan pun tiba, hari yang dinanti kini telah di depan mata, akad suci nan sakral itu pun terucap dari lisan Muhammad Al-Massri ketika berjabat tangan dengan H. Al-Farabi dengan kalimat: Qabiltu nikahaha Zulfa Salsabila binti Al-Farabi,…”.

Dua insan berbeda bangsa itu kini dipersatukan dengan ikatan suci yaitu pernikahan. Pernikahan Indonesia-Palestina ini menjadi torehan sejarah bukti kecintaan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina sekaligus tonggak sejarah antar ke dua bangsa untuk terus menjalin kerja sama dalam membebaskan Masjid Al-Aqsha dari penjajahan Zionis Israel yang kini masih bercokol di bumi Al-Quds. (A/P2/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.