Pilihan Sulit Pengungsi Suriah di Lebanon (Oleh: Abby Sewell, Beirut)

Oleh: Abby Sewell, jurnalis lepas di Beirut

 

Dengan keadaan ekonomi yang semakin sulit di Lebanon, sekarang dilanda pula wabah virus corona, dan sementara hanya sedikit harapan untuk dimukimkan kembali bagi pengungsi, kian banyak yang memuat barang-barang mereka ke dalam bus dan kembali ke negara mereka serta pada nasib yang tidak pasti.

Sementara itu, para pengungsi yang tidak melihat ada pilihan untuk kembali ke negaranya yang dilanda perang, melakukan protes di depan kantor badan pengungsi PBB (UNHCR), meminta perhatian lebih pada kasus mereka.

Menurut statistik PBB, total ada sekitar 38.500 pengungsi terdaftar telah kembali dari Lebanon ke Suriah sejak 2016, termasuk sekitar 21.000 yang telah kembali dalam perjalanan ‘sukarela kembali’ yang terorganisir. Badan Keamanan Umum Lebanon telah berkoordinasi dengan Pemerintah Suriah sejak April 2018.

“Orang-orang ditekan untuk pulang dalam ‘pengembalian sukarela’,” kata Sawsan Kalash, salah satu dari sekelompok warga Suriah yang mulai melakukan aksi duduk harian di depan kantor UNHCR di Tripoli sejak Desember.

“Tapi tidak ada yang pulang dengan sukarela. Orang-orang kembali karena ketidakadilan, penindasan, kemiskinan dan penyakit,” katanya.

 

“Badai sempurna”

Jumlah warga Suriah yang kembali dalam perjalanan yang diatur oleh Keamanan Umum tampaknya telah meningkat sejak Lebanon dilanda ‘badai sempurna’ krisis keuangan dan protes massa yang melanda pada kuartal terakhir tahun 2019, sementara wabah terbaru virus corona (COVID-19) di negara kecil itu berisiko memukul mereka secara tidak proporsional, mengingat kondisi kehidupan mereka yang sulit.

Akhir Agustus 2019, 787 warga Suriah kembali dalam perjalanan ‘pengembalian sukarela’. Dalam perjalanan paling terbaru, pada 13 Februari, bus membawa 1.093 warga Suriah kembali melintasi perbatasan dari Lebanon.

Pada hari yang sama, beberapa lusin warga Suriah lainnya berdemonstrasi di depan kantor UNHCR di Tripoli, mereka melakukannya hampir setiap hari sejak Desember 2019.

“Jika orang Suriah dilarang untuk bekerja, bantuan tidak datang dari PBB dan dia tidak dapat kembali ke negaranya, apa solusinya?” tanya Kalash.

“Kami memutuskan untuk melakukan aksi duduk di depan gedung PBB agar suara kami didengar dan … menekan PBB untuk mempertimbangkan situasi kami,” tambahnya.

Pengungsi Suriah diberangkatkan pulang ke Suriah. (Foto: REUTERS/Mohamed Azakir)

Tidak ada harapan pemukiman kembali

Para pejabat PBB mengatakan, tangan mereka “terikat” oleh kurangnya tempat pemukiman dan dana yang tersedia.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan dalam menanggapi protes pengungsi, Mireille Girard, Perwakilan UNHCR di Lebanon mengatakan, “Sementara kami bekerja keras untuk memperluas bantuan, kami tetap sangat terkendala oleh keterbatasan dana. Ini memaksa kami dan lembaga kemanusiaan lainnya untuk memprioritaskan pengungsi yang paling rentan.”

“Banyak pengungsi berharap untuk dimukimkan kembali ke negara ketiga, karena mereka tidak melihat cara mengatasi situasi saat ini. Sementara kami memahami harapan mereka untuk solusi, penting untuk menekankan bahwa jumlah tempat pemukiman kembali masih sangat terbatas di seluruh dunia,” tambahnya.

Kurang satu persen dari pengungsi dunia menemukan tempat-tempat pemukiman kembali setiap tahun.

Perwakilan PBB mengkonfirmasi bahwa tekanan ekonomi tampaknya berkontribusi pada meningkatnya jumlah pemulangan. Banyak pengungsi menjadikan kenaikan harga pangan dan ketidakmampuan untuk membeli barang-barang penting sebagai alasan untuk pulang.

 

Bahaya di negeri sendiri

Sebagian besar warga Suriah yang berbicara kepada The New Arab mengatakan, mereka berbulan-bulan belakangan menghadapi masalah sewa dan penggusuran, atau sudah diusir.

Sebagian memiliki anggota keluarga dengan kondisi medis yang tidak tercakup oleh bantuan UNHCR, termasuk kanker. Beberapa dari mereka mengatakan telah menarik anak-anaknya keluar dari sekolah karena tekanan ekonomi yang meningkat.

Khadija Al-Omar, salah seorang ibu Suriah, mengatakan, dalam sembilan tahun sebagai pengungsi di Lebanon, keluarganya hanya menerima satu bulan bantuan tunai dari UNHCR untuk membantu biaya pemanasan.

“Anakku pergi dan menjual tisu di jalan,” katanya. “Apakah ini yang saya harapkan bagi putraku, pergi dan menjual tisu ketika dia berusia delapan tahun? Jika saya bisa kembali ke negaraku, saya akan melakukannya – saya tidak akan tinggal sampai sekarang.”

Seperti Omar, Ramez Mohammed Halabi mengatakan, keluarganya tidak menerima bantuan. Sementara empat anaknya yang berusia enam hingga 12 tahun, harus putus sekolah tahun ini karena ia tidak mampu membayar biaya transportasi dan biaya lainnya.

Terakhir kali dia pergi ke kantor UNHCR untuk memohon bantuan.

“Karyawan itu mengatakan kepada saya, ‘Pergilah dengan pengembalian sukarela, mendaftar dan pergi.’ Saya dari Idlib – Idlib sedang diserang.”

Juru Bicara UNHCR Lisa Abou Khaled mengatakan, mungkin ada “kesalahpahaman” dalam kasus ini.

“Tidak tergantung pada UNHCR atau siapa pun untuk membuat keputusan untuk kembali atas nama pengungsi,” katanya. “Staf kami sangat jelas tentang hal itu. Pengembalian pada dasarnya adalah keputusan manusia, setiap keluarga memiliki situasi yang berbeda. Bukan urusan kami untuk memberi tahu mereka atau memutuskan atas nama mereka.”

Nasib mereka yang telah pulang ke Suriah, dalam beberapa kasus, tidak jelas. Secara teori, Keamanan Umum Lebanon mengedarkan daftar calon pengungsi yang kembali berdasarkan data dari otoritas Suriah, guna memastikan bahwa tidak ada dari mereka yang dicari untuk ditangkap jika mereka pulang. Keamanan Umum juga menolak mereka yang namanya ada dalam daftar “buronan”.

Tetapi belum ada pelacakan komprehensif tentang apa yang terjadi pada para pengungsi yang pulang. Beberapa pejabat PBB mengeluh tentang kurangnya akses kepada pengungsi yang telah pulang ke Suriah.

Hiba Shinno, seorang wanita Suriah dari Hama yang tinggal di Tripoli mengungkapkan, keluarga pamannya yang mendaftar dan kemudian pulang, hilang tanpa kabar.

“Kami tidak dapat menemukan apa pun tentang mereka …. Saudara suami saya, mengalami hal yang sama. Dia juga sampai ke perbatasan Suriah dan hilang,” kata Hiba.

Karena pertimbangan itu, Hiba dan suaminya tidak mempertimbangkan untuk pulang, meskipun situasi mereka di Lebanon sulit. Mereka memiliki dua anak berkebutuhan khusus yang tidak bersekolah, sekolah umum yang mengajar anak-anak Suriah di kelas sore “shift kedua”, tidak akan menerimanya, dan keluarganya tidak mampu menempatkan anak mereka di sekolah swasta.

“Jika (sekolah untuk mereka) tidak tersedia di sini, beri kami dokumen untuk memungkinkan kami bepergian,” katanya. “Kami tidak bisa pergi ke Suriah. Jika saya pergi ke Suriah, saya tidak tahu apakah rezim akan membawa saya atau tidak – saya, suami dan anak-anak saya.” (AT/RI-1/RS1)

 

Sumber: The New Arab

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.