Ramallah, MINA – Mantan profesor pada Princeton University dan pendiri sekaligus mantan Direktur Institute of Modern Media Al-Quds University di Ramallah, Daoud Kuttab, menilai, apa yang dilakukan Presiden AS Donald Trump dan pemerintahannya terhadap Palestina, adalah tak lebih dari menghancurkan dirinya sendiri.
Asia Times dikutip MINA, Ahad (16/9), menguraikan, Pemerintah Donald Trump memutuskan bulan lalu untuk memotong semua pendanaan ke Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA), untuk pembiayaan sekolah, perawatan kesehatan dan bantuan lain untuk para pengungsi Palestina.
Pekan lalu, Pemerintah AS mengumumkan membatalkan bantuan pendanaan 25 juta dolar AS untuk enam rumah sakit di Al-Quds Timur, di mana mayoritas pasien adalah warga Palestina.
Terakhir pekan ini, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan penutupan segera kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington.
Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024
Tujuannya adalah memaksa para pemimpin Palestina membatalkan permintaan mereka untuk mendapat hak kembali ke rumah yang mereka tinggalkan ketika Israel didirikan pada 1948.
“Ini tidak akan berhasil. Sebaliknya, mungkin akan membuat kesepakatan tentang salah satu masalah yang paling diperdebatkan dalam konflik Israel-Palestina ini, hak untuk kembali, bahkan jadi lebih kecil kemungkinannya,” kata Kuttab.
Dipaparkan pula, Trump tahun lalu juga telah memberi ancaman finansial, melalui Duta Besar-nya untuk PBB, Nikki Haley, akan menjatuhkan hukuman finansial pada negara-negara yang menolak memberi pengakuan resmi pada Al-Quds sebagai ibu kota Israel. Sebagian besar negara anggota PBB menanggapi untuk mengutuk keputusan tersebut.
Prof. Kuttab menyatakan, menggunakan pemerasan keuangan untuk mengancam warga Palestina secara langsung mungkin akan lebih buruk akibatnya. Mengingat kepentingan pribadi mendalam yang dimiliki warga Palestina. “Para perunding sudah berjalan di jalur rumit karena memerlukan pendekatan yang bernuansa dan menghormati kepekaan dan aspirasi rakyat,” tuturnya.
Baca Juga: Setelah 20 Tahun AS Bebaskan Saudara Laki-Laki Khaled Meshal
Tetapi dengan tindakan intimidasi taktik pemerintah Trump, katanya selanjutnya, konsesi semacam itu menjadi tidak mungkin, karena Abbas tidak lagi dapat meyakinkan Palestina bahwa kesepakatan dibuat dengan cara yang adil dan setara yang tidak membahayakan kepentingan nasional.
“Bagi sebagian besar masyarakat Palestina, mengingkari hak untuk kembali dalam keadaan seperti itu hanya akan terlihat seperti kekalahan. Hal itu berarti meninggalkan apa yang orang Palestina lihat sebagai hak dasar mereka,” kata mantan Profesor di Princeton University ini.
Ia memaparkan, orang-orang Palestina adalah orang-orang yang bangga telah melakukan pengorbanan luar biasa dalam perjuangan mereka untuk bertahan hidup dari pemindahan, pekerjaan, dan pengepungan, kesengsaraan, yang berlarut-larut.
“Mereka tidak akan mau diperas untuk menerima diktat AS-Israel. Tidak ada perjanjian damai yang memungkinkan dapat dicapai, kecuali dan sampai semua pihak yang terlibat mengakui kenyataan fundamental itu,” demikian Prof. Kuttab. (T/Sj/P1)
Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel
Mi’raj News Agency (MINA)