Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Ketika ide pembangunan sebuah rumah sakit di Jalur Gaza ini pertama mengemuka dari dr Henry Hidayatullah, ide ini dianggap “gila”.
Bahkan komentar kedua menanggapi ide pembangunan rumah sakit di daerah konflik itu adalah “tidak mungkin terwujud”.
“Gila, itulah tanggapan pertama yang saya terima ketika pertama mencetuskan ide pembangunan RS Indonesia ini,” kata Henry yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Presidium MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) pada 1 Mei 2014 lalu.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
“Disebut ‘gila’ karena memang tidak mudah, di negeri orang, daerah konflik dan perang serta dengan dana yang tidak sedikit,” katanya.
Dr Joserizal Jurnalis, Anggota Presidium MER-C lainnya bahkan menyebut pembangunan RS Indonesia adalah “mission imposible”.
“Sangat sulit untuk masuk ke Gaza dan ketika berhasil masuk, sangat sulit untuk keluar, karena daerah ini diblokade sangat ketat, baik itu oleh penjajah Israel dan pemerintah Mesir. RS Indonesia dibangun di daerah yang tidak ada kepastian selamat, daerah yang sedang dibombardir kala itu oleh pesawat-pesawat tempur Israel,” ujar Joserizal kepada MINA.
Sementara itu, Anggota Presidium MER-C Ir. Faried Thalib mengungkapkan, ketika dirinya mendengar ide tersebut, dia tidak menentang, tapi pesimis.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
“Dalam hati saya bertanya-tanya, ‘Apa mungkin?’ Namun saya melihat ketulusan, ketawadhuan, keseriusan seluruh rekan dan masyarakat, semangat teman-teman begitu kuat, sehingga pembangunan ini pelan-pelan terwujud dan akhirnya terwujud. Kita hanya bergantung pada tali Allah,” kata Faried kepada MINA.
Menurut Henry, hal yang menyebabkan mimpi gila itu terwujud adalah karena kebutuhan yang sangat tinggi dan kondisi di sana membutuhkan sebuah sarana rumah sakit yang lebih baik dari yang sudah ada.
Adapun mantan relawan pembangunan gelombang pertama, Darusman, mengatakan bahwa ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, ternyata masyarakat Indonesia bisa berbuat yang tidak bisa dilakukan oleh negara-negara lain.
Tiga Relawan Terakhir Telah Pulang
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Pada Ahad, 14 Februari 2016, tiga relawan MER-C terakhir yang masih di Jalur Gaza akhirnya bisa keluar dari Palestina melalui perbatasan Rafah yang hanya dibuka selama dua hari saat itu.
Kesempatan itu muncul setelah beberapa bulan menunggu gerbang Rafah dibuka oleh otoritas Mesir. Ketiganya berada di Jalur Gaza selama 1,5 tahun.
Pada Selasa malam, 16 Februari, ketiga relawan yang terdiri dari Site Manager Proyek Pembangunan Rumah Sakit Indonesia Ir. Edy Wahyudi (46), Karidi (33) dan Miyanto (30), tiba di tanah air setelah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dengan pulangnya ketiga relawan ini, maka selesailah tugas para “mujahid profesional” dari jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah Indonesia, yang dalam era 2010 hingga 2016 jumlahnya puluhan orang yang dikirim ke Jalur Gaza membangun RS Indonesia untuk rakyat Palestina.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Sebelumnya, pada 15 Juni 2015, MER-C yang diwakili oleh para relawan di Gaza menyerahkan RS Indonesia kepada rakyat Palestina.
Pada 24 Desember 2015, RS Indonesia pun mulai beroperasi dengan melakukan operasi bedah pertama yang disiarkan langsung dari Gaza ke Jakarta, kantor pusat MER-C.
Pada 9 Januari 2016 di Jakarta, secara simbolis Pemerintah Indonesia menyerahkan RS Indonesia kepada rakyat Palestina yang diwakili oleh Menteri Kesehatan Palestina yang datang ke Jakarta, Indonesia.
Relawan Hadapi Kesulitan di Luar Kemampuan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Edy Wahyudi mengatakan bahwa seluruh relawan, terutama yang mengalami masa perang Gaza tahun 2012 dan 2014, mengalami kesulitan yang di luar dari kemampuan mereka.
“Yang banyak dilupakan, Gaza adalah blokade dunia, Gaza adalah tempat perang tingkat dunia, karena seluruh dunia hadir di sana,” kata Edy sehari setelah tibanya di tanah air.
“Kondisinya (Jalur Gaza) luar biasa, tapi dikecil-kecilkan oleh negara-negara yang ingin mengecilkan” katanya.
Menurut insinyur yang dua kali ke Gaza itu, membangun sebuah rumah sakit di daerah yang diblokade itu adalah yang paling sulit, karena kebutuhannya komplek. Di saat yang sama, kemampuan para relawan yang diutus untuk membangun sangat minim.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
“Kita mendapat jatah listrik hanya empat jam sehari. Untuk mendapatkan gas 60 kg harus menunggu selama dua bulan, itu pun belum tentu terisi,” kata Edy.
Menurut Edy, awalnya Pemerintah Palestina tidak percaya diri bahwa rumah sakit akan berhasil berdiri. Justeru para relawan yang mendukung dan meyakinkan Pemerintah Palestina di Gaza bahwa itu bisa.
Intervensi Manajemen Allah
Misi pembangunan menjadi “tidak mungkin” karena Jalur Gaza adalah daerah perang yang bisa hancur lebur oleh kebiadaban militer Israel, Jalur Gaza adalah daerah terblokade. Biaya pembangunan tidak kecil, sementara MER-C hanya bermodalkan dana bantuan dari donasi. Tidak ada jaminan keselamatan bagi para relawan yang diterjunkan membangun rumah sakit. Rumah sakit yang dibangun pun tidak ada jaminan akan selamat dari hujan bom jet tempur Israel ketika perang besar terjadi.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Karenanya, dengan selesainya RS Indonesia dibangun dan sudah beroperasi dengan jumlah pasien 400 jiwa per hari, Presidium MER-C Ir. Faried Thalib mengatakan bahwa kesuksesan itu tidak lepas dari intervensi “manajemen Allah”.
“Ini adalah satu prestasi dan keberhasilan yang betul-betul intervensi manajemen Allah. Ini tidak bisa dipungkiri,” kata Faried saat konferensi pers di kantor pusat MER-C pada Rabu, 17 Februari 2016.
Kini RS Indonesia yang awalnya dianggap proyek “mission inposible” berdiri megah dan indah di Gaza Utara, sebagai rumah sakit khusus untuk korban perang.
Hasil yang diberikan oleh para relawan dalam membangun sebuah bangunan yang megah dan kokoh yang belum pernah ada sebelumnya di sana, membuat jajaran MER-C yang mayoritas adalah aktivis medis, geleng-geleng kepala. Mereka tidak menyangka para relawan yang berasal dari berbagai latar belakang bisa membuat sebuah bangunan rumah sakit yang dikagumi oleh para insinyur di Palestina. Dan itu murni karya putera Indonesia.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Dokter-dokter Palestina dan dari negara-negara Barat yang berkunjung ke RS Indonesia, mengaku takjub. Terlebih RS Indonesia dilengkapi alat-alat kesehatan serba canggih. Bahkan pada 9 Februari 2016, untuk pertama kalinya bedah tumor otak yang tidak pernah dilakukan di Jalur Gaza, Palestina, sukses dilaksanakan di Rumah Sakit (RS) Indonesia. Hal bisa dilaksanakan karena tunjangan peralatan medis yang canggih dan modern.
Mantan menteri sekaligus Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat, Adi Sasono mengatakan, baru kali ini Indonesia melalui dana masyarakatnya sendiri mendirikan sebuah rumah sakit di Gaza, Palestina. (P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga