Puasa Ramadhan -8 (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Oleh: / Presiden Nusantara Foundation

“Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadaMu tentang AKU, sampaikan bahwa AKU sangat dekat. Saya menerima doa siapa yang meminta jika meminta kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi ajakanKu dan mengimaniKu. Semoga mereka mendapat petunjuk” (Al-Quran).

Ada satu hal yang menarik ketika Al-Quran menyampaikan tentang puasa. Ayat-ayat tentang puasa ada di Surah Al-Baqarah antara 183-187. Tapi menariknya ada satu ayat yang ditempatkan di antara ayat-ayat itu, selintas nampak tidak ada relevansinya dengan puasa itu sendiri. Ayat itu yang saya kutip di awal tulisan ini.

Pada ayat itu ada dua poin penting yang di sampaikan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya.

Pertama, “dan jika hamba-hamba Aku bertanya kepadamu tentang AKU, sampaikan kalau AKU dekat”. Sebuah penekanan kepada Rasul SAW agar meyakinkan umatnya bahwa Allah itu benar-benar dekat kepada mereka. Tentu penekanan ini sekaligus menandakan perhatian Allah kepada hamba-hambaNya. Perhatian yang menggambarkan kasih sayang (rahmah) Allah SWT.

Pertanyaannya kenapa kedekatan ini secara khusus diungkapkan di tengah-tengah ayat yang membicarakan puasa? Tentu jawabannya karena memang di sinilah relevansi antara puasa dan kedekatan (al-Qurbah) dengan Allah SWT. Bahwa puasa memang adalah ibadah yang menjadi instrumen terefektif dalam mendekatkan diri kepada sang Khaliq.

Selain memang puasa adalah ibadah yang paling “personal” antara seorang hamba dan Khaliqnya, juga puasa bermakna menekan atau mengesampingkan hawa nafsu duniawi. Dan pengekangan terhadap hawa nafsu inilah yang menjadi kunci kedekatan itu.

Kenapa demikian? Karena memang Al-Quran sendiri mengingatkan bahwa kendala terbesar dalam relasi (sholat) dan mengingat Allah (dzikir) adalah “berlebihan dalam mencintai dunia”. Berlebihan yang dikenal dalam bahasa Al-Quran sebagai “iitsaar al-hayat ad-dunya”.

Surah Al-A’la menegaskan: “beruntungkah dia yang mensucikan diri. Dan mengingat Asmq Tuhannya dan sholat. Tapi kamu berlebihan dalam hidup dunia. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi kamu” (Al-Quran).

Kegagalan manusia dalam mengingat Allah dan menegakkan sholat (hubungan) denganNya adalah karena hatinya telah tertutupi oleh kecintaan dunia. Cinta dunia yang berlebihan itu menjadikan hatinya kehilangan sensitifitas keilahian, tumpul dalam dzikir.

Ketika hati telah kehilangan sensitifitas Ilahi, tumpul dalam mengingat Allah, maka dengan mudah terjatuh ke dalam dosa-dosa dan kesalahan. Dosa-dosa inilah yang kemudian menjadi “hijaab” kedekatan antara seorang hamba dan Rabbnya.

Oleh karena puasa memang substansinya mengindahkan hawa nafsu dunia sementara, maka di sinilah relevansinya kenapa puasa menjadi kunci kedekatan dengan Allah SWT (Al-Qurba minallah).

Kedua, konsekwensi langsung dari kedekatan adalah “Aku mengabulkan doa hamba yang meminta”. Maknanya bahwa kedekatan kepada Allah sebagai hasil dari “menahan diri” dari kecintaan dunia yang berlebihan tadi menjadikan doa itu dikabulkan oleh Allah SWT.

Memang tidak dapat diingkari bahwa jika seorang hamba berdoa dengan ikhlas dan manis hati, Insya Allah dikabulkan. Allah menjamin hal itu: “Mintalah kepadaKu, niscaya AKU kabulkan” (Al-Quran).

Yang menjadi masala kemudian adalah ketika kita berdoa, ada ketidak seriusan meminta. Dengan kata lain meminta tapi terkadang merasa bahwa hasil dari doa itu adalah kita yang menentukan.

Atau biasa juga meminta tapi sekaligus mendikte Allah karena inginnya kita yang menentukan hasilnya. Padahal harusnya meminta itu juga berarti tahu diri. Meminta itu bukan memerintah, apalagi memaksa.

Di sinilah Allah mengingatkan: “maka hendaklah mereka memenuhi ajakanKu dan beriman kepadaKu”.

Memenuhi ajakan Allah untuk meminta dan memenuhi prasyarat permintaan itu. Jika anda meminta sesuatu dari atasan anda maka kemungkinan prasyarat untuk dia kabulkan permintaan anda adalah lakukan tugas dengan baik. Jadikah bawahan yang baik, disiplin, rajin, professional, komitmen, berkarakter, dan seterusnya.

Demikian pula ajakan Allah sebagai prasyarat terpenuhinya atau terkabulkannya doa. Jadilah hamba yang baik, taat, penuh komitmen dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ajaranNya. Sebab “bagaimana mungkin doanya dikabulkan jika makanan, minuman, pakaian dan semuanya yang dilakukannya haram” (Hadist).

Lalu Allah juga mengingatkan: “dan hendaklah mereka percaya kepadaKu” (Al-Quran).

Kerap kali kita berdoa tapi setengah hati jika Allah menerima atau tidak. Percayalah Allah itu menyikapi hambaNya sesuai prasangka hamba itu. Kalau prasangka Allah jauh, Allah menjadi. Tapi jika sebaliknya berprasangka Allah dekat, Allah lebih mendekat dari yang disangkakan.

Oleh karenanya “trust” atau percaya dengan kekuasaan dan kemaha bijakan Allah dalam memberikan apa yang kita minta adalah prasyarat terkabulkannya doa.

Jangan sampai berdoa tapi bermentalitas superman. Minta tapi merasa yang menentukan adalah diri sendiri.

Kesimpulannya di bulan puasa ini mari perbanyak doa. Karena di bulan inilah kita bermujahadah mendekatkan diri dengan mengesampingkan nafsu duniawi kita. Dan dengan kedekatan itu “doa orang yang berpuasa tidak ditolak” (Hadist). Insya Allah!

Jamaica Hills, 25 Mei 2018

(R07/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments: 0